Ada babi di cerita George Orwel berjudul Animal Farm, Eka tengah bersama seorang Lelaki Harimau. Jangan lupakan kucing–kucingnya Haruki Murakami. Lalu Anjing Anjing Menghilang pada goresan cerita Umar Affiq. Ia bertemu dengan Kambing milik Makhfud Ikhwan di temani Percakapan Burung Burung, Nurul Hanafi. Ada suara Burung Burung Pegas di rumah Haruki Murakami.
Penulis karya sastra gemar menggunakan binatang. Barangkali binatang itu dekat dengan kehidupan manusia. Binatang sering berdampingan, beberapa juga interaksi langsung. Binatang itu cukup peka, seperti manusia indra yang dimiliki binatang hampir serupa, beberapa lebih canggih ketimbang manusia.
Seorang filsuf besar Yunani bernama Aristoteles pernah berkata Human Is Zoon Politicon, manusia itu hewan yang bermasyarakat. Teori juga pernah menerangkan jika manusia itu hasil evolusi dari kera, manusia masih kerabat dengan kera. Bagi sebagaian ada yang percaya akan dalih itu, sebagian yang lain lebih percaya pada kodrat keperyaan. Yang patut menjadi simpulan, bahwa binatang atau hewan itu dekat dengan manusia sedari zaman ke zaman.
Pada beberapa kisah buku sastra, binatang bahkan jadi topik paling mencolok. Kita lekat dengan Animal Farm, yang sudah diterjemah oleh banyak orang, yang paling banyak dikenal mungkin terjemahan Mahbub Djunaidi. Tulisan karya George Orwell yang sarat akan politik. Orwell peka, jika sindiran politik akan menarik disampaikan melalui perbandingan hewan.
Buku Orwell menekankan pada pembahasan ideologi, dalam karyanya itu Orwell menuliskan Semua Hewan Adalah Sama, Tapi Beberapa Lebih Sama Daripada Yang Lain, kutipan yang membuat kita kian jelas apa yang hendak Orwell sampaikan melalui dunia binatang. Dunia binatang itu samar, Babi jadi simbol Kamerad yang menandakan betapa cerdasnya seekor babi lebih mulia dari wakil rakyat di zaman karya itu dikarang.
Orwell secara sembunyi ide memakai istilah babi untuk menyebut wakil rakyat yang menyalahgunakan kuasa. Karena itu dalam pandangan sederhana kita akan beranggap bahwa babi adalah hewan yang lebih mulia daripada wakil rakyat yang menyalahgunakan kuasa itu.
Kita lalu dibawa ke Kisah Kambing dan Hujan, gubahan Makhfud Ikhwan. Perdebatan akan menjadi perkelahian apabila dipenuhi prasangka (hal 331).Cerita tersaji dalam deretan kata yang menjadikan pelajaran penting bahwa dialog sosial antara pihak yang berbeda sangatlah penting. Makhfud ingin potret sosiologis penting dalam lingkup yang sangat mikro yaitu di suatu desa yang sangat kecil. Kisah yang menyajikan bahwa sesungguhnya perbedaan yang harus disikapi secara dewasa.
Beda Orwell dan Makhfud, Eka Kurniawan lalu mencari sosok binatang seram, Harimau. Dalam Lelaki Harimau, kita akan bertemu dengan sosok Margio. Tokoh utama cerita realis magis, yang menghanyut pembaca. Margio merasakan di dalam tubuhnya bersemayam seekor harimau yang diperoleh dari kakeknya. Cukup aneh.
Karya sastra binatang boleh membawa kita pada cerita aneh, tapi cerita Haruki tentang Kota Kota Kucing, membuat logika sulit dipahami. Kucing terkenal sebagai hewan lucu, menggemaskan, kadang kala menggelikan. Di cerita Haruki, kucing punya kota sendiri layaknya kota penuh penjahat, kucing itu antipati pada kehadiran manusia. Kita mungkin kewalahan jika berbayang akan tinggal di kota Kucing milik Haruki, kucing itu hewan sadis di Kota Kota Kucing.
Membaca Murakami kadang kali membawa kita seolah sedang membaca diri sendiri, dan terkadang Murakami menyeret kita ke suatu tempat yang entah di mana. Suatu tempat yang asing, magis, tetapi manis — seperti pengalaman kita yang kita dapatkan ketika terbangun dari mimpi aneh. Masih serumpun dengan Eka Kurniawan, Haruki Murakami pandami berrealisme magis.
Haruki gemar bermain binatang! Ia dikenal sebagai penulis yang amat menyukai Kucing. Novel berjudul Kronik Burung Pegas (The Wind-Up Bird Chronicle) setebal hampir seribu halaman itu menyajikan cerita komploks. Entah apa yang tengah berada di dalam pikiran Haruki saat mengarang novel itu, ia seperti cerita sederhana yang membawa kita keliling ruangan.
Kadang kala melihat dari sisi atas, bawah, tengah atas, atau sisi yang bahkan tidak sama sekali dalam ruangan itu. Haruki masih dengan kucing, hanya saja itu telah menambah varian hewan baru yaitu burung-burung pegas. Burung pegas jadi perlambangan feminis, tokoh utama perempuan selalu dominan ia memaikan burung yang tersangkar dalam kurungan, si suami yang tidak bekerja.
Burung juga jadi simbol dalam tulisan Nurul Hanafi, buku yang diklaim penulisnya sebagai cerpen, namun memiliki panjang yang cukup membuat mata penat. Buku itu tentu bukan sekedar kumpulan cerita, tapi satu cerita utuh yang panjang dan dianggap sebagai cerita pendek.
Di kumpulan cerita Umar Affiq, “Hari Anjing-Anjing Menghilang,” judul berunsur binatang hanya jadi pemanis. Cerita itu penuh kelam, menceritakan peristiwa Mei 1998, kita tahu peristiwa itu banyak terjadi ‘penggelapan’ masal. Umar Affiq ingin menjadikan anjing itu dikenang sebagai hewan yang turut menjadi pelacak dalam peristiwa penghilangan tahun 1998.
Binatang menjelma berbagai genre karya sastra. Ada yang mengkritik gelitik, masalah hidup melingkup dunia percintaan , ada yang sekompleks Margio. Karya sastra yang menceritakan tentang binatang lazim disebut fabel. Tapi kita tidak sedang membaca sebuah fabel dalam karya Haruki, Eka, Makhfud Ikhwan, atau bahkan Orwell. Binatang hanya menjadi simbol pengantar untuk cerita dan amanat sebenaranya yang ingin disampaikan penulis melalui karyanya.
Sebagai penutup, karya sastra yang amat menyimbolkan binatang adalah puisi Chairil Anwar berjudul “Aku Ini Binatang Jalang,” aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang. Binatang itu simbol, agar manusia tidak lepas dari evaluasi sebagai makhluk yang memiliki posisi cukup prestisius. Simbol yang menguatkan jika manusia tidak layak bersifat seperti binatang.
https://alif.id/read/maal/binatang-menjelma-karya-sastra-b238321p/