Biografi Gus Miftah (KH. Miftah Maulana Habiburrahman)

Daftar Isi Biografi Gus Miftah (KH. Miftah Maulana Habiburrahman)

1.         Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Riwayat Keluarga 

2.         Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1       Masa Menuntut Ilmu
2.2       Mendirikan dan Mengasuh Pesantren 

3          Karier 
3.1       Pengasuh Pesantren 

4.         Teladan
4.1       Dakwah yang Gaul dan Fleksibel

5.         Perjalanan Dakwah

 

1.        Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1      Lahir

KH. Miftah Maulana Habiburrahman atau lebih dikenal dengan Gus Miftah lahir 5 Agustus 1981, di Desa Adiluhur, Jabung, Lampung Timur Lampung. Beliau merupakan keturunan ke-9 Kiyai Ageng Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari, Ponorogo.

1.2      Riwayat Keluarga 

Gus Miftah menikah dengan Hj. Dwi Astuti Ningsih. Dan buah dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai dua anak.

2.        Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1      Masa Menuntut Ilmu

Gus Miftah merupakan lulusan santri Pondok Pesantren (Ponpes) Bustanul Ulum Jayasakti, Lampung Tengah. Setelah menyelesaikan jenjang Madrasah Aliyah dengan predikat peraih nem tertinggi sebagai santri Madrasah se-Provinsi Lampung, selanjutnya Gus Miftah hijrah pada tahun 1999 ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Beliau mendaftarkan diri kuliah di kampus UIN Sunan Kalijaga, masuk Fakultas Tarbiyah, Jurusan Kependidikan Islam.

2.2      Mendirikan dan Mengasuh Pesantren 

Pada tahun 2011, Gus Miftah mendirikan Pondok Pesantren Ora Aji. Nama pondok tersebut memiliki filosofi tersendiri yang sangat menarik, yaitu bahwa tak ada seorang pun yang berarti di mata Allah selain ketakwaannya.

3.        Karier

3.1      Pengasuh Pesantren 

Gus Miftah mendirikan dan mengasuh pesantren pada tahun 2011. Pesantren ini dinamakan Ora Aji yang berarti “tak memiliki harga diri atau tak berarti”. Filosofi nama pesantren ini adalah bahwa tak ada seorang pun yang berarti di mata Allah selain ketakwaannya.

Pesantren unik yang dirikan oleh beliau tersebut menampung dan mengasuh berbagai macam latar belakang santri. Di antara santri beliau bahkan tidak sedikit yang merupakan mantan napi, mantan pegawai salon plus-plus hingga mantan pegawai tempat hiburan malam. Meski demikian, semua santrinya dianggap mempunyai kesempatan yang sama untuk kembali menuju Allah SWT. Karena itu, Gus Miftah selalu menanamkan optimisme dalam beribadah dan selalu memberikan sentuhan dakwah yang penuh keikhlasan dan sangat inspiratif.

4.        Teladan 

4.1      Dakwah yang Gaul dan Fleksibel

Sikap fleksibel dalam bedakwah, terjun langsung dan mau bergaul dengan banyak orang, lintas profesi, membuat Gus Miftah diterima oleh banyak kalangan. Misalnya, ketika netizen viral menghujat Gus Miftah, mengatakan tidak pantas berdakwah di dunia remang-remang diskotik, maka muncullah pembelaan dari para pekerja malam itu. Mereka membalas hujatan orang yang pedas mengkritik Gus Miftah dengan bahasa sindiran yang justru membuat simpati banyak orang. Misalanya ada yang menjawab hujatan tersebut dengan mengatakan begini, “apakah orang seperti kami tidak pantas mendapatkan pencerahan dan ilmu agama?!” Tentu saja dengan pernyataan demikian itu banyak yang justru mengapresiasi Gus Miftah atas perjuangannya dalam memberikan pencerahan kepada umat yang mungkin dipandang sebelah mata oleh kalangan masyarakat.

Dari sini, fleksibilitas Gus Miftah mengantarkannya mampu bergaul dengan semua pihak, mulai orang-orang di klub malam, para artis, hingga pejabat publik. Tidak bisa dipungkiri bahwa Da’i NU yang seperti ini dibutuhkan oleh generasi milenial. Metode dakwah yang terus memposisikan diri dengan perkembangan zaman.

Alhasil, paham keislaman, nasionalisme, fleksibilitas manhaj dakwah, penguasaan teknologi, keaktifannya di media sosial, membuat Gus Miftah menjadi gambaran figur ideal seorang Da’i NU hari ini. Tidak berlebihan jika sekiranya kita berharap muncul gus-gus lain yang meneladani jejak langkah keberanian dan keunikan dakwah Gus Miftah.

5.        Perjalanan Dakwah

Perjalanan dakwah Gus Miftah dimulai saat usianya masih 21 tahun. Pada sekitar tahun 2000-an, Gus Miftah sering melaksanakan shalat Tahajjud di sebuah mushalla sekitar Sarkem, sebuah area lokalisasi di Yogyakarta. Dari sinilah kemudian beliau mempunyai niat untuk berdakwah. Saat itu beliau ditemani Gunardi atau Gun Jack sosok yang menjadi penguasa di tempat tersebut.

Bermula dari kegiatan dakwah sederhana itu, kajian agama mulai rutin digelar oleh Gus Miftah. Meski awalnya banyak tantangan, tapi saat ini sejumlah pekerja dunia malam sudah menerima kehadirannya. Tidak jarang, ketika beliau menyampaikan pengajian, sejumlah jamaah meneteskan air mata dan mulai mengubah perilakunya secara perlahan.

Perjalanan dakwah Gus Miftah kemudian berlanjut ke kelab malam dan juga salon plus-plus. Awalnya beliau masuk lantaran mendapati keluh kesah para pekerja dunia malam yang kesulitan mendapat akses kajian agama. Ketika hendak mengaji di luar mereka mengaku menjadi bahan pergunjingan. Sebaliknya di tempat kerjanya tidak ada kajian agama yang bisa didapatkan. Dan dari sinilah kemudian Gus Miftah memutuskan untuk mengisi pengajian di tempat seperti itu, meski tidak sedikit yang menghujatnya. 

Berbeda dengan dulu saat mendapat penolakan ketika hendak memberi kajian, kini banyak pekerja malam yang merasa butuh untuk mendapat pengajian. Tidak jarang beberapa pekerja malam kemudian berhijrah menjadi lebih baik. Sejak lima tahun terakhir langkahnya pun didukung oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya asal Pekalongan dan banyak Kiyai sepuh NU lainnya.

Sampai saat ini, dakwah yang disampaikan oleh Gus Miftah dirasa masuk dan diterima di berbagai kalangan masyarakat. Jangankan dakwah di tengah-tengah kaum sarungan, dakwah di tengah-tengah kaum remang-remang pun beliau juga diterima. Jika memang Tuhan sudah menghendaki kebaikan seseorang diterima oleh masyarakat secara umum, siapalah yang bisa menghentikannya. []


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 16 November 2020, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 05 Agustus 2023.

https://www.laduni.id/post/read/67418/biografi-gus-miftah-kh-miftah-maulana-habiburrahman.html