Daftar Isi Biografi Habib Abdurahman bin Ali Al-Habsyi (Putra Habib Kwitang)
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Nasab Habib Abdurahman bin Ali Al-Habsyi
1.4 Wafat
2. Sanad Keilmuan Habib Abdurahman bin Ali Al-Habsyi
2.1 Guru-guru Habib Abdurahman bin Ali Al-Habsyi
3. Perjalanan Dakwah
3.1 Diangkat Menjadi Ketua Tarekat Naqsabandiyah Al-Qodriyah Dunia
4. Karomah Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
4.1 Menjadi Pembawa Pesan Ketika Akan Berkunjung ke Suatu Tempat
4.2 Berada di Beberapa Tempat dalam Waktu Bersamaan
4.3 Mempersiapkan Makam Sebelum Meninggal
5. Teladan Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
6. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga Habib Abdurahman bin Ali Al- Habsyi
1.1 Lahir
Habib Abdurrahman lahir di Jakarta diperkirakan pada tahun 1890, Habib Abdurahman bin Ali Al-Habsyi merupakan putra Habaib sangat terkenal dan berpengaruh di tanah Betawi yang diistilahkan bapaknya majelis taklim Jakarta yang berasal dari Kwitang yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Habib Abdurahman memiliki berbagai julukannya yaitu oleh masyarakat dipanggil Wan Aman dan dikeluarga dipanggil Atung (jantung hati). Julukan Wan Atung dikisahkan karena beliau memiliki kebiasaan tidak mau memakai baju selain yang sudah dipakai abahnya Habib Ali Kwitang.
1.2 Riwayat Keluarga Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Di dekat Pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda mulai membolehkan mereka tinggal diluar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota. Habib Abdurrahman Al-Habsyi sering mendatangi kawan–kawannya di sana dengan berjalan kaki, mengenakan sarung, serta kopiah dan berbaju putih.
Dari seringnya menyambangi kawan–kawannya itulah beliau bertemu dengan jodohnya, yaitu Maria Van Engels, seorang gadis Belanda yang bekerja di sebuah perusahaan jahit milik orang Belanda. Setiap kali beliau ke Gang Abu, melewati tempat Maria bekerja. Awalnya Habib Abdurrahman tak dihiraukan. Tapi lama– kelamaan hati Maria pun terpikat, hingga kemudian mereka berdua sepakat menikah. Maria terlebih dahulu menyatakan setuju menjadi muslimah dan mengganti nama jadi Maryam. Ibunya, yang biasa disebut encang, ikut bersama anak gadisnya.
Menjelang pernikahan mereka di kediaman Habib Ali Kwitang (kini Majelis Ta’lim). Tersiar isu serombongan tentara Belanda siap mendatangi Kampung Kwitang untuk menggagalkannya. Namun, rupanya penduduk Kwitang tak kalah gesitnya. Sejumlah jagoan dan jawaranya, seperti Haji Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap menyambut kedatangan mereka. Mereka menunggu di Warung Andil, perempatan Jalan Kramat II (dulu Gang Adjudant) dan Kembang 1, siap menyambut kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.
Setelah pernikahan secara Islam, Maryam jadi menantu kesayangan Habib Ali Al-Habsyi dan tinggal di samping rumah mertuanya dan cepat dapat bergaul, berpartisipasi dengan masyarakat sekitar. Orang–orang kampung Kwitang menyebut Wan Non. Non adalah kependekan dari Noni, sebutan khas gadis gadis Belanda, di kemudian hari, cucunya memanggil Jidah Non. Setelah berkeluarga, oleh Habib Abdurrahman, Wan Non diminta kesediaannya untuk tidak keluar kamar selama 2 tahun. Hal itu dimaksudkannya untuk melatih dan mendidik agama kepada istrinya, yang muallaf dan dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai putra yang bernama Habib Muhdor
Sejak saat itu Wan Non tidak pernah melepaskan busana muslim. memakai kain dan kebaya, serta berkerudung, dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih. Sampai akhir hayatnya, Wan Non pun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan mahram. Sedang ibunya, yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu shalihah. Bahkan diberangkatkan ke Tanah Suci.
Suatu malam di tahun 1961, Wan Non, yang sedang sakit, menginginkan semua keluarga berada didekatnya. Dan di malam itu juga ia wafat. Jenazahnya dibaringkan di dekat kamar mertuanya, Habib Ali Kwitang. Sejumlah ulama terkemuka Jakarta, seperti KH. Abdullah Syafii, KH. Tohir Rohili, KH. Nur Ali, hadir di antara ribuan pelayat. Wan Non, yang meski terlahir dari keluarga Non Muslim, menjadi satu contoh keberhasilan didikan agama yang ketat dari seorang suami dan kepala rumah tangga. Meski suaminya kemudian wafat lebih dulu (1941), Wan Non tetap menjalankan kehidupannya dengan penuh taqwa, hingga akhir hayatnya.
1.3 Nasab Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW, dengan silsilah sebagai berikut :
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra wa Ali bin Abi Thalib, binti
- Al-Imam Al-Husain
- Al-Imam Ali Zainal Abidin
- Al-Imam Muhammad Al-Baqir
- Al-Imam Ja’far Shadiq
- Al-Imam Ali Al-Uraidhi
- Al-Imam Muhammad An-Naqib
- Al-Imam Isa Ar-Rumi
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
- As-Sayyid Ubaidillah
- As-Sayyid Alwi Alawiyyin
- As-Sayyid Muhammad
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
- As-Sayyid Ali
- As-Sayyid Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad
- As-Sayyid Ali
- As-Sayyid Hasan Atturabi
- As-Sayyid Muhammad Assadillah
- As-Sayyid Ahmad
- As-Sayyid Ali
- As-Sayyid Abubakar Al-Habsyi
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Muhammad Asghor
- As-Sayyid Ahmad Al-Habsyi Shahib Syi’ib
- As-Sayyid Hadi
- As-Sayyid Abdurrahman
- As-Sayyid Husein
- As-Sayyid Abdurrahman
- As-Sayyid Husein
- As-Sayyid Muhammad
- As-Sayyid Abdullah
- As-Sayyid Abdurrahman
- As-Sayyid Habib Ali Kwitang
- As-Sayyid Abdurrahman
1.4 Wafat
Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi wafat di Jakarta pada Tahun 1940 , Beliau dimakamkan di daerah taman pemakaman umum Wakaf Said Naum di daerah Tanah Abang, lokasi makam ini pada tahun 1970-an di era gubernur Ali Sadikin terjadi relokasi makam ke daerah Karet.
Saat makamnya dibongkar, sebagaimana halnya pada makam Habib Ustman Mufti Betawi, Jasad beliau tidak ditemukan sama sekali. Namun, secara simbolis tanah bekas kuburannya pun dipindahkan ke jeruk purut. Keanehan lagi-lagi terjadi, beberapa hari setelah dipindahkan,”makam”nya menghilang tanpa bekas.
Pesan Habib Abdurrahman dalam mimpi tersebut lewat sejumlah benda peninggalannya memiliki makna yang dalam, di antaranya dakwah yang harus terus berlanjut. Itu selaras dengan salah satu pesan Habib Ali Kwitang, sebagaimana dikisahkan kembali oleh seorang keturunannya, hendaklah salah seorang dari keturunannya menjadi khatib dalam pelaksanaan shalat id di Masjid Al-Riyadh, Masjid yang didirikannya.
2. Sanad Keilmuan Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Habib Abdurrahman dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak keistimewaan. Ayahnya adalah guru yang pertama baginya. Selain kepada ayahnya, ia juga menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Empang Bogor, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas Pekalongan dan guru non habaib yaitu Guru Mughni Sulaiman Kuningan.
Meski tidak sempat lama, belliau pernah pula menuntut ilmu di negeri leluhurnya, Hadramaut. Disana beliau berguru kepada sejumlah ulama besar Hadramaut di masa itu. Diantaranya Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab, Kakek Abdullah bin Muhammad Syahab, salah seorang ulama besar Hadramaut saat ini yang digelari Galbur Tarim, Jantungnya kota Tarim. Disebutkan pula, gurunya yang lain disana adalah Habib Syekh bin Abdurrahman Al-Kaf dan Habib Sahil bin Abdullah bin Sahil.
2.1 Guru-guru Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Ayah Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
- Habib Abdullah bin Muhksin Al-Attas Empang Bogor
- Habib Ahmad bin Abdullah Al Attas Pekalongan.
- Guru Mughni Sulaiman Kuningan
- Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab
- Habib Syekh bin Abdurrahman Al-Kaf
- Habib Sahil bin Abdullah bin Sahil
3. Perjalanan Dakwah Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Perjalanan hidup Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi berada di akhir abab ke 19 hingga pertengahan abad 20, sepanjang hidupnya beliau lebih banyak beraktifitas mendalami dan mengamalkan ilmu tasawufnya.
Habib Abdurrahman adalah seorang yang sangat taat dan berbakti kepada sang ayah. Bila menjumpai ayahnya, beliau selalu bertutur kata dengan halus. Sewaktu berpisah pun beliau berjalan mundur, karena tidak ingin membelakangi ayahnya.
Dikisahkan pula, bila beliau dibelikan baju baru oleh ayahnya, beliau terima sepenuh hati hadiah itu dengan wajah berseri–seri. Tapi baju baru itu tidak segera dikenakannya. Tidak berapa lama, beliau berikan baju itu kepada orang lain. Beberapa kali kejadian itu terjadi, hingga suatu saat Habib Ali bertanya kepadanya, ”Wahai Abdurrahman, mana baju yang baru kuberikan kepadamu kemarin?”
Habib Abdurrahman menjawab, “Abah, alangkah lebih senangnya lagi hatiku bila baju yang kukenakan adalah baju yang bekas abah pakai”. Selain mencerminkan rasa ta’zimnya yang begitu besar kepada sang ayah, kisah diatas juga menunjukkan hatinya yang pemurah kepada sesama.
Habib Abdurrahman juga aktif dalam mengikuti berita berita pergerakan yang tengah marak pada saat itu. Diantara kawan akrab beliau adalah KH. Agus Salim, seorang tokoh pergerakan nasional yang terkenal. Sewaktu terjadi ikhtilaf antara Jami’at Kheir dan Al-Irsyad, beliau mengkliping berita–berita dari berbagai surat kabar dan tulisan–tulisan yang terkait dengan itu. beliau memang seorang yang gemar membaca. Sementara itu, akhlaq mulia Habib Abdurrahman kepada orang tuanya menjadi faktor utama yang dikemudian hari membuahkan maqam yang tinggi bagi beliau disisi Allah SWT. Banyak kisah yang beredar terutama bagi warga Kwitang yang menyebutkan kelebihan diri beliau.
Dalam karya tulis dan intelektualnya beliau memiliki kesenangan mentahkik kitab-kitab yang membahas bidang keilmuan tasawuf. Diantara kitab yang terkenal yang beliau kupas yaitu kitab karangan Syaikh Yusuf bin Ismail Nabhani. Kitab-kitab beliau saat ini berada di di perpustakaan Anto Jibril yang berjumlah tidak kurang ada 2 kitab.
3.1 Diangkat Menjadi Ketua Tarekat Naqsabandiyah Al-Qodriyah Dunia
Semasa hidupnya beliau merupakan Ulama Tasawuf tingkat dunia, dengan karakter yang tidak menampakan dirinya. Pada tahun 1930 beliau diangkat sebagai ketua tarekat Naqsabandiyah Al-Qodriyah dunia. Habib Abdurahman bin Muhdor bin Abdurrahman dan Anto Jibril bercerita bahwa di dalam kitab Tarekat Naqsabandiyah Al-Qodriyah terdapat nama beliau sebagai salah satu mursyid, sehingga dikisahkan bahwa pernah ada seorang mursyid dari Amerika Syaikh Hisam mencari-mencari nama Abdurahman bin Ali Al-Habsyi di Indonesia, beliau mencari-cari sampai ke abah Anom dan kemudian dari sana beliau di arahkan untuk ke Jakarta Kwitang untuk mencarinya.
4. Karomah Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Habib Abdurahman bin Muhdor bin Abdurrahman (cucu) yang tinggal di daerah Jakarta Timur bercerita, semasa hidupnya beliau lebih banyak dikenal ulama dengan karomahnya dan sudah banyak karya wirid yang sudah ditulis oleh beliau, diantara cerita karomah itu adalah
4.1 Menjadi Pembawa Pesan Ketika Habib Ali bin Abdurrahman Akan Berkunjung ke Suatu Tempat
Suatu saat, ketika diri beliau tengah sakit, kebetulan sang ayah hendak mengunjungi Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas Empang Bogor, guru beliau sekaligus guru ayahnya pula. “Ya Abdurrahman, abah mau ke Habib Abdullah, nanti sekalian Abah minta air untuk didoakan Habib Abdullah agar sakitmu lekas sembuh.” Sesampainya di Bogor, Habib Ali mengutarakan hajatnya terkait dengan kondisi putra nya kepada Habib Abdullah. Sambil menunjuk secangkir kopi di hadapannya, Habib Abdullah mengatakan, “ini kopi anakmu.” Rupanya Habib Abdurrahman baru saja beranjak pulang dari tempat Habib Abdullah. Aneh memang, padahal tadi Habib Ali meninggalkan Habib Abdurrahman yang tengah berbaring sakit. Habib Ali pun memahami bahwa putranya ini memiliki kedudukan khusus di sisi Allah SWT.
Kisah lainnya membawa pesan kedatangan orang tuanya di Solo. Mengetahui mereka akan kedatangan ulama besar , maka tersebarlah info tersebut kekalangan ulama dan habaib sehingga banyak yang menyambut kedatangannya, Habib Ali ketika sampai kaget bahwa sudah banyak yang menyambutnya sehingga beliau bertanya kepada gurunya, “siapakah yang memberitahukan kedatangannya”, dijawab, “bahwa sehari sebelumnya anakmu Abdurrahman sudah datang memberi kabar ke saya”
4.2 Berada di Beberapa Tempat dalam Waktu Bersamaan
Sekali waktu, pernah Habib Muhammad, adiknya, terlambat pulang kerumah, sedang hari sudah larut malam. Dari kejauhan Habib Muhammad melihat kakaknya sedang berdiri di depan rumah. Karena pulang agak larut, beliau sungkan kepada sang kakak. Maka diambil jalan memutar kepintu samping. Ternyata di pintu samping rumahnya itupun ada Habib Abdurrahman, yang tengah berdiri. Ia memutar lagi lewat pintu belakang. Aneh, lagi–lagi dipintu belakang rumahnya itu ia lihat Sang kakak. Habib Abdurrahman kemudian memanggilnya dengan lembut ia berkata, ”Ya Muhammad, jangan takut kepadaku. Sekarang masuklah, ini waktunya sudah malam. Nati ente sakit, masuk angin. Lain kali jangan pulang terlalu larut. Jangan sampai abah yang membukakan pintu. Kasihan, Abah sudah sepuh.”
4.3 Mempersiapkan Makam Sebelum Meninggal
Suatu hari, ditahun 1941, Habib Abdurrahman mengundang sejumlah orang untuk membaca tahlil bersama pada suatu malam yang ia telah tentukan. Beberapa hari kemudian, ia juga mendatangi seorang penggali kubur di kompleks pekuburan Tanah Abang. Saat itu ia memesan sebuah kuburan dengan ukuran tertentu, seraya mengatakan kepada si penggali kubur bahwa kuburan itu di pesan untuk seorang putra Habib Ali Kwitang yang wafat, yang bernama Abdurrahman.
Pada hari acara tahlil yang telah ditentukan, pada hari itu pula Habib Abdurrahman wafat. Ternyata Habib Abdurrahman sendiri. Begitu pula saat si penggali kubur hendak berta’ziyah ke Habib Ali Kwitang, betapa kagetnya ia melihat jenazah. Ternyata orang yang memesan lahan kuburan itu adalah Habib Abdurrahman sendiri. Rupanya Habib Abdurrahman sudah beroleh kabar terlebih dulu dari Yang Menciptakannya, Allah SWT, akan masa akhir hidupnya.
5. Teladan Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi
Perjalanan hidup Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi berada di akhir abab ke 19 hingga pertengahan abad 20, sepanjang hidupnya beliau lebih banyak beraktifitas mendalami dan mengamalkan ilmu tasawufnya. Beliau mendapat julukan Wan Atung (Jantung Hati) dikisahkan karena beliau memiliki kebiasaan tidak mau memakai baju selain yang sudah dipakai abahnya Habib Ali Kwitang.
Habib Abdurrahman adalah seorang yang sangat taat dan berbakti kepada sang ayah. Bila menjumpai ayahnya, beliau selalu bertutur kata dengan halus. Sewaktu berpisah pun beliau berjalan mundur, karena tidak ingin membelakangi ayahnya.
Semasa hidupnya beliau merupakan Ulama Tasawuf tingkat dunia, dengan karakter yang tidak menampakan dirinya. Pada tahun 1930 beliau diangkat sebagai ketua Tarekat Naqsabandiyah Al-Qodriyah dunia. Akhlaq mulia Habib Abdurrahman bin Ali Al-Habsyi kepada orang tuanya menjadi faktor utama yang dikemudian hari membuahkan maqam yang tinggi bagi beliau disisi Allah SWT memiliki banyak karomah yang beliau pergunakan membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan beliau tanpa di ketahui oleh orang lain.
6. Referensi
- Buku 27 HABAIB BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya Intelektual dan Karya Sosial Habaib Betawi dari Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor: H. Rakhmad Zailani Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh : JAKARTA ISLAMIC CENTRES.
- Diambil dari berbagai sumber lainnya.