Biografi Habib Mundzir Bin Fuad al-Musawa

Daftar Isi Profil Habib Mundzir Bin Fuad al-Musawa

  1. Kelahiran
  2. Silsilah
  3. Wafat
  4. Pendidikan
  5. Berjuang Melalui Dakwah
  6. Bertemu Dengan Presiden Ke-4
  7. Mengunjungi KH. Maimoen Zubair

 

Kelahiran

Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa atau lebih dikenal dengan Mundzir Al-Musawa atau Munzir lahir pada 23 Februari 1973  di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.

Habib Mundzir adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim al-Musawa. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-saudaranya, Ramzy Fuad al-Musawa, Nabiel Al Musawa, Lulu Fuad al-Musawa serta Aliyah Fuad al-Musawa.

Ayahnya lahir di Kota Palembang dan dibesarkan di Mekkah al-Mukarromah, setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan luar negeri selama sekitar 40 tahun, berawal dari harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita buana. Pada tahun 1996 ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.

Habib Mundzir berkata “Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lainnya.”

Silsilah

Mundzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-Musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah SAW.

Wafat

Habib Mundzir memiliki penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-masuk rumah sakit. Pada tahun 2012 ia pernah dirawat di RSCM Jakarta karena penyakit radang otak. Habib Mundzir dinyatakan wafat secara medis saat berada di RSCM pada taggal 15 September 2013 jam 15:30 WIB pada usia 40 tahun. Sebelum meninggal, Habib Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di perutnya.

Penyakit tersebut sempat menganggu aktivitas Habib Mundzir dalam berdakwah. Meskipun sedang dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib Mundzir, menurut kakaknya Nabil, tidak pernah memikirkan sakitnya. Habib Mundzir pernah memakai kursi roda saat berdakwah, bahkan pernah memakai tempat tidur khusus dari rumah sakit. Di tahun 2012 sempat dilakukan penyedotan lemak pada tubuhnya.

Menurut penuturan yang ditulis di blog beliau, Habib Mundzir sempat bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. “Saya sangat mencintai Rasulullah SAW, menangis merindukan Rasulullah SAW, dan sering dikunjungi Rasululullah SAW dalam mimpi, Rasul selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau dan berkata wahai Rasulullah SAW aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini”.

Rasulullah SAW menepuk bahu saya dan berkata, “Mundzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku maka saya terbangun”.

Saat sedang berkumpul bersama keluarga di rumahnya, Habib Mundzir masuk kamar mandi sejak siang namun sampai sore hari tidak juga keluar. Keluarganya mendobrak pintu kamar mandi dan menemukan Habib Mundzir sudah tergeletak di lantai tidak sadar. Ia pun dilarikan ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo, namun satu jam kemudian para dokter menyatakan ia telah tiada.

Menurut penuturan kerabatnya, habib Munzir meninggal karena serangan jantung. Habib Mundzir dimakamkan di pemakaman umum Habib Kuncung di Kalibata, Jakarta pada hari Senin 16 September 2013 sekitar jam 13:00 WIB, setelah disholatkan di masjid Al-Munawwar Pancoran. Puluhan ribu umat muslim mengantarkan jenazahnya dan menyaksikan prosesi pemakaman dengan takzim

Pendidikan

Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA), Habib Mundzir mulai mendalami Ilmu Syariat Islam di Ma’had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Syari’ah Islamiyah di Ma’had al-Khairat, Bekasi Timur.

Keilmuan Syariahnya kemudian lebih didalami di Ma’had Dar-al Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat tahun, disana Habib Mundzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur’an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari’ah lainnya.

Dimasa baligh, ia pernah putus sekolah, Mundzir muda lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Al-habib Umar bin Hud al-Attas, dan Majelis taklim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu membahas kajian Fathul Baari oleh Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas. Sementara pada masa yang hampir bersamaan saudara-saudara kandungnya berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih prestasi wisuda Hal ini mengundang kekecewaan kedua orangtua Mundzir muda.

Ayahnya pernah berkata “kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.”

Menurut Habib Mundzir, itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih memilih hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa barat. Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman al-Musawa) lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Mundzir merasa sangat mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti, dunia tidak akhiratpun tidak.

Beliau masuk pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi Timur, ia selalu menangis dan berdo’a kepada Allah swt dan rindu kepada Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasulullah SAW saat mahal qiyam maulid.

Dalam beberapa bulan kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al-Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu, kunjungan pertama ia yaitu pada 1994.

Habib Munzir berkata “selepas ia menyampaikan ceramah, ia melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat ia sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa ia ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid ia”

“Guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin ia salah pilih..?.Maka guru mulia menunjuk saya. Itu.. anak muda yang pakai peci hijau itu..!, itu yang saya inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa ia, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak paham, maka guru saya Habib Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum..”

Keesokan harinya Habib Mundzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin Hafidz di kediaman Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, saat itu banyak para Habaib dan Ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata Habib Munzir “maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu ia berkata pada almarhum Habib Umar Maula Khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yang pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar, seraya berkata : wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.”

Dua bulan setelah pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah Almarhum Al-Habib Umar Mulakhela ke pesantren dan menanyakan Habib Munzir, Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela berkata pada Al-Habib Nagib:

“Mana itu Mundzir, anaknya Al-Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya.”

Saat itu Habib Nagib berkata: “saya belum siap”

Namun Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela dengan tegas menjawab : “Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama”.

Kemudian Habib Mundzir bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya. Ayahnya sempat keberatan dan berkata: “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu ?”.

Menanggapi hal ini Habib Mundzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan kemudia berkata: “Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah”.

Setelah mendengar nasihat Al Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Mundzir menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya berat melepas keberangkatan Habib Munzir.

Ketika berada di Tarim, Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan, hal ini memicu kekurangan pasokan makanan, matinya listrik, semua pelajar ketika itu menempuh perjalanan untuk taklim dengan jarak sekitar 3-4 km.

Dua tahun kemudian setelah di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-al Musthafa, pesantren yang di asuh oleh Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan bahwa ayahnya sakit dan menelepon dengan berkata: “Kapan kau pulang wahai anakku..?Aku rindu..?”

Habib Mundzir menjawab: “Dua tahun lagi insya Allah ayah”

Ayahnya menjawab: “duh…masih lama sekali”.

Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.

Berjuang Melalui Dakwah

Habib Mundzir kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah sendiri di Cipanas. Namun karena kurang berkembang, ia memindahkan dakwahnya ke Jakarta pada Majelis Malam Selasa, dengan mengunjungi rumah-rumah murid sekaligus teman, murid-muridnya lebih tua dari ia, dan berasal dari kalangan awam.

Ketika kemudian dimulai Maulid Dhiya’ullami jama’ah semakin banyak, selanjutnya majelis mulai berpindah-pindah dari musholla ke musholla, semakin terus bertambah banyak, maka mulailah majelis dari masjid ke masjid. Sehingga Habib Munzir mulai membuka majelis di malam lainnya dan menetapkannya di Masjid Al-Munawar. Majelis semakin berkembang hingga mulai membutuhkan kop surat, undangan dan sebagainya.

Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan memberikan nama Majelis Habib Mundzir, namun ia menolak lantas menetapkan nama Majelis Rasulullah.

Dakwahnya Habib Mundzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.

Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan ia banyak dicintai oleh Ummat Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Mundzir adalah murid yang begitu disayangi oleh gurunya Umar bin Hafidz, sedangkan kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan ia sebagai panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali , Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-lain.

Bertemu Dengan Presiden Ke-4

Pada suatu ketika, Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa hendak dakwah ke Papua. Sampai di bandara Soeta, ternyata ada Gus Dur juga di bandara. Gus Dur ditemani Kang Maman Imanul Haq. Melihat Gus Dur duduk nyantai, Habib Mundzir menghampiri dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di hadapan Gus Dur.

Lalu Kiai Maman bertanya, “Ada apa Bib?”

“Kalau Gus Dur itu wali  ya Kang Maman.” Jawab Habib Mundzir al-Musawa.

Kang Maman kagum dan penuh takdzim kepada Habib Munzir. Sosok habib muda yang menjadi panutan umat. Takdzimnya kepada para kiai luar biasa, sehingga Habib Mundzir sangat dihormati dan ditakdzimi para kiai di Nusantara.

Lalu Gus Dur bertanya kepada Kiai Maman, “Itu siapa?”

“Habib Mundzir, Pak,” jawab Kiai Maman.

“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak panjang,” kata Gus Dur kemudian.

Dan ternyata betul apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, Pimpinan Majelis Rasulullah Saw. Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa itu kemudian meninggal dalam usia yang masih muda.

Mengunjungi KH. Maimoen Zubair

Pada suatu hari, almarhum Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa datang ke ndalem KH. Maimoen Zubair Sarang Rembang. Kedatangan Habib Mundzir ini dalam rangka mengundang Mbah Maimoen untuk hadir dalam acara Majlis Rasulullah. Majlis Rasulullah rutin mempunyai acara besar setiap tahun dalam rangka Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ketika Habib Mundzir menyampaikan undangan, Mbah Maimoen langsung memegang dan mencium undangan tersebut.

“Hadzihi min Rasulillaah, hadzihi min Rasulillaah, Ini dari Rasulullah.. Ini dari Rasulullah,” kata Mbah Maimoen dengan penuh takdzim.

Setelah dirasa cukup dalam pembicaraan, Habib Mundzir minta undur diri. Kemudian Habib Mundzir pamit dengan Mbah Maimoen sembari kembali berharap Mbah Maimoen bisa hadir dalam acara tersebut.

Subhanallah! Akhlaq Habib Mundzir luar biasa. Ketika keluar dari rumah Mbah Maimoen, Habib Mundzir berjalan mundur dengan pelan, tak mau membelakangi Mbah Maimeon, sebagai wujud ekspresi adab terhadap orang alim.

Itulah Habib Mundzir, sosok keturunan Rasulullah SAW yang menjadi teladan bagi umat manusia. Kini Habib Mundzir telah tiada, tapi jejak hidupnya menjadi warisan bagi generasi saat ini untuk menjadi pribadi yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.

Mbah Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan menghormati para habaib. Setiap bertemu habaib, Mbah Maimoen selalu mendahului cium tangan.

https://www.laduni.id/post/read/67864/biografi-habib-munzir-bin-fuad-almusawa.html