Daftar Isi Biografi Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam Afrika Selatan
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Nasab
1.4 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Guru-guru
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Perjuangan Imam Abdullah di Tidore, Maluku Utara
3.2 Perjuangan Imam Abdullah di Cape Town, Afrika Selatan
4. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam merupakan anak dari seorang Qadhi Kesultanan Tidore, Maluku Utara. Beliau lahir pada tahun 1100 Hijriah atau 1712 Masehi dari pasangan Qadhi Abdussalam dan Boki. Masyarakat Afrika Selatan lebih mengenal beliau dengan nama Tuan Guru.
Selama masa kecilnya, Tuan Guru dikenal sebagai seorang yang cerdas yang hidup dalam kehidupan keluarga yang taat pada Agama. beliau berhasil menghafalkan Al Quran ketika umurnya masih belia, 12 tahun. Dan memahami banyak ilmu-ilmu lain seperti fikih dan tasawuf. Sehingga tidak heran, pada masa dewasa, selain dikenal sebagai Qadhi dan imam, beliau juga dikenal sebagai sufi, bahkan mujahid.
Realitas kehidupan Tidore masa itu, berada dalam jajahan Belanda, Imam Abdussalam menyaksikan kebiadaban Belanda yang menjajah, menjarah dan ingin memurtadkan masyarakat Tidore yang mayoritas beragama Islam dengan misi God, Glory dan Gold yang terkenal itu.
1.2 Riwayat Keluarga
Setelah dibebaskan dari pulau Robben pada 1793, Tuan Guru menetap di Dorp Street. Beliau lalu menikah dengan Kaija atau Khadija van de Kaap dan dikaruniai dua orang putra yaitu:
- Abdul Rakiep
- Abdul Rauf
1.3 Wafat
Qadhi Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam diperkirakan wafat pada tahun 1807 dan dimakamkan di Cape Town Afrika Selatan.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Semenjak kecil beliau di dididik dan diasuh oleh ayahanda beliau yang bernama Qadi Abdussalam yang pada masa itu menjabat menjadi Qadhi Kesultanan Tidore, Maluku Utara. Selain belajar kepada ayahandanya, beliau juga belajar kepada para Ulama terkemuka pada waktu Itu.
2.1 Guru-guru Beliau
Guru-guru beliau selama hidupnya adalah sebagai berikut:
- Qadhi Abdussalam (Ayah Qadhi Abdullah)
- Oemar Farouk Rahmatullah (Kakek Qadhi Abdullah)
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Perjuangan Imam Abdullah di Tidore
Perjuangan Imam Abdussalam dan Imam Abdullah melawan penjajah Belanda sangat terasa. Kemampuan beliau dalam orasi dan menggalang massa dari mimbar ke mimbar, membuat pihak Belanda kewalahan. Hal demikian dilakukan beliau karena tidak rela menjadi budak di negeri sendiri dibawah pemerintahan kolonial yang dzalim.
Imam Abdullah memulai aktifitas perjuangannya dengan melakukan dakwah dari desa-desa di Tidore untuk menentang Belanda dengan sekutunya. Agama yang melatari gerak juang beliau (Jihad fi sabilillah), umat Islam tidak boleh di pimpin oleh orang kafir, dasar gerak ini mendapat simpatik dari masyarakat Tidore dan pengaruhnya meluas sampai di daerah Weda, Patani, Gebe bahkan sampai di Raja Empat.
Semangat juang dan jiwa Patriotis yang ada pada diri Imam Abdulah dalam melakukan perjuangan di Tidore akhirnya meluas sampai ke wilayah-wilayah lain. Bersama Ayahandanya Qadi Abdussalam bergabung dalam pasukan Kesultanan Jailolo Dibawah Kepemimpinan Sultan Jailolo Dala. Perang Jailolo Yang merambat sampai ke daerah Paton (Patani) sekitar tahun 1770. Kolonial Belanda dibawah kepemimpinan Gubernur Hermanus Munik di Ternate yang memegang kendali semua negeri Jajahan Moloku Kie Raha (1771-1772)
Kehebatan beliau sebagai pemimpin juga dirasa ketika dia menjadi panglima dalam perang menghadapi Belanda. Pada tahun 1770 suatu Peristiwa besar dalam sejarah Patani Yakni sejarah PERO atau potong Tali di semenanjung Ngolopopo, banyak serdadu Belanda dan sekutunya tertangkap dari perangkap batu yang digantung. Banyak serdadu Belanda Yang Tewas dari petempuran itu. Belanda kewalahan, dan banyak dari mereka yang berguguran. Semangat perjuangannya ini juga meluas ke wilayah-wilayah lain. Dari sinilah beliau menjadi musuh utama Belanda.
Kebencian Belanda yang sangat mendalam kepadanya membuat beliau dijuluki sebagai Baditen Rollen atau seorang bandit, sebagimana Gelar yang de berikan kepada Sultan Nuku “Prins Robel” yang artinya Pangeran Pemberontak.
Banyak cara dan upaya yang Belanda lakukan untuk menumpasnya. Upaya-upaya itu kebanyakan tidak menemukan hasil. Hingga pada suatu saat pada tahun 1763 di Tidore, beliau ditangkap bersama ketiga saudaranya, Abdul Rauf, Badaruddin, dan Nurul Imam.
Belanda tentunya bisa saja menjatuhinya hukuman yang sangat berat. Bisa saja dia dieksekusi mati ataupun disiksa. Namun banyak pertimbangan yang mereka pikirkan karena posisinya yang sangat kuat di masyarakat Tidore. Sehingga apabila mereka membunuhnya, tentu saja akan ada perlawanan dan bekas gejolak yang sangat besar pada para pengikutnya dan masyarakat Tidore umumnya. Karena itulah beliau dibawa ke tempat yang sangat jauh dan tidak dikenalnya sebelumnya. Dibawa ke Ternate kemudian ke Ambon dan Batavia kemudian Ke Cape Town Afrika selatan dan di Penjarakan di Kandang Kuda, setelah itu di pindahkan ke Pulau Robbin / Robbin Island, pulau terpencil ± 50 mil dari Cape Town dan di bebaskan pada tahun 1792.
3.2 Perjuangan Imam Abdullah di Cape Town Afrika
Tidak dapat dibayangkan sebelumnya bahwa seorang Ulama Indonesia asal Tidore Maluku Utara ikut berjasa menebarkan benih Islam di Benua kulit hitam Afrika Selatan Pada Abad 17 dan 18 mereka adalah Syekh Yusuf (1626-1699) dan Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam (1712-1807) Keduanya di buang ke Afrika Selatan karena kegiatan Politik dan mengangkat senjata melawan Kolonial Belanda.
Belanda membawa beliau ke Tanjung Harapan atau Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope), di Afrika Selatan dan dipenjara di Pulau Robben (Robben Island) selama dua belas tahun. Tempat yang sama dimana Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan dan tokoh revolusioner Antiapartheid, dipenjara selama dua puluh tujuh tahun. Di penjara inilah beliau menghabiskan waktunya dan berhasil menulis Alquran dengan tulisan tangan dari hafalan beliau. Tulisannya terbukti akurat dan tidak ditemukan kesalahan satu pun dengan Al-Quran yang telah dicetak. Subhanallah.
Setelah dua belas tahun dipenjara di Pulau Robben, akhirnya Tuan Guru dibebaskan. Tuan Guru hidup bersama orang-orang Afrika Selatan di Cape Town yang kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang Islam, hanya saja banyak dari mereka adalah budak dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama Islam. Mereka memeluk Islam secara tertutup menurut kepercayaan mereka dan hanya mempraktekan ajaran agama di rumah, tetapi tidak bisa mempraktekannya di depan Pemerintah Kolonial.
Kerakusan Belanda juga sangat biadab di Afrika Selatan, Peraturan Pertama yang harus di taati adalah tidak di perbolehkan melaksanakan ibadah maupun aktifitas keagamaan selain Kristen Protestan yang tergabung dalam Calvinist Reformed Church Gereja Belanda, jika ada kedapatan atau mendapat laporan bahwa ada yang mengajarkan agama maka hukumannya adalah bunuh langsung. Luar biasa kejam, biadab dan sangat tidak berperikemanusiaan. Dengan aturan tersebut misi Kristenisasi di Afrika Selatan berjalan mulus dibawah kendali Gereja Belanda dan VOC.
Kondisi yang begitu sadis namun tak surut Jiwa Patriotisme Imam Abdullah Bin Qadi Abdussalam, seorang Imam yang berakhlak baik, sederhana dan penyayang. Beliau sangat disegani sekaligus disayangi masyarakat kulit hitam.
Hal ini karena peraturan Pemerintah Kolonial Pada saat itu yang sangat kejam. Pemerintah Kolonial Belanda melarang pelaksanaan ritual keagamaan apapun kecuali kristen. Dengan hukumannya yang sangat berat jika dilanggar. Karena itulah tidak terdapat masjid di sana dan tidak dilaksanakan pula shalat Jumat. Hal ini membuat Tuan Guru sangat marah. Dalam hatinya dia merasa hal ini salah dan harus diluruskan. Bagaimana bisa salah jumat tidak dilaksanakan, padahal banyak orang Islam di sana. Melihat kondisi tersebut Imam Abdullah Bin Qadi Abdussalam nekad mengajukan permohonan untuk mendirikan masjid, jelas saja ini ditolak mentah-mentah oleh Belanda.
Sebagai seorang imam yang hebat, Tuan Guru mengerahkan massa untuk melaksanakan salat jumat untuk pertama kalinya di lapangan terbuka tempat kerja paksa, tempat penggalian batu di Chiappini Street. Banyak di antara mereka yang ikut, ada pula yang masih merasa takut dan hanya melihat dari kejauhan. Takbir dikumandangkan dan salat dilaksanakan. Hal ini membuat Pihak Belanda menjadi gempar dan tidak nyaman. Polisi mengepung umat islam yang melaksanakan shalat jum’at tersebut sehingga suasana menjadi tegang. Polisi dikerahkan untuk menangkap beliau dan mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Tuan Guru dengan entengnya menjawab, “tapi hukum Tuhanku lebih besar daripada hukummu.” Tuan Guru ditangkap dan dipenjara, untuk kedua kalinya.
Setelah Pemerintahan Belanda berakhir, Inggris datang dan memerintah Afrika Selatan. Berbeda dengan Belanda yang melarang pelaksanaan ritual keagamaan secara umum, Inggris memperbolehkan pelaksanaan ritual keagamaan apapun. Selain itu, Pemerintah Kolonial Inggris juga memandang Tuan Guru sebagai pahlawan. Mereka menawari beliau hadiah sebagai keberaniannya melaksanakan Shalat Jumat, dengan memberi tanah untuk didirikan rumah. Hal ini ditolaknya, bagi beliau, hal terpenting untuk saat itu adalah masjid, Imam Abdullah lebih rela tidak memiliki tempat tinggal, daripada tidak memiliki rumah Allah. Ajaibnya, pemerintah kolonial Inggris mengiyakannya.
Masjid pun dibangun dan ibadah dilaksanakan disana. Masjid ini pun diberi nama “The Auwal Mosque” atau masjid Auwal atau bisa diartikan lagi sebagai masjid pertama. Dari sinilah peribadatan umat Islam dilaksanakan dengan bebas dan tanpa ketakutan sedikitpun.
Selain membangun masjid, Tuan Guru juga mendirikan madrasah sebagai tempat menempa ilmu dan pendidikan. Tuan Guru tidak memilih-milih murid di madrasah ini, siapa saja bisa belajar di tempat ini, bahkan non muslim. Sehingga banyak orang-orang non muslim yang belajar di madrasah ini. Hal ini karena budak dan orang-orang kulit hitam pada waktu itu tidak diperbolehkan belajar di sekolah. Karena inilah banyak diantara mereka yang akhirnya memeluk Islam. Madrasah tersebut menggunakan referensi wajib Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta Kitab karangan Tuan Guru Kitab Ma’rifat Al-Islam Wal Imam.
Apa yang diperjuangkan oleh Tuan Guru merupakan bukti bahwa perjuangan atas nama Allah tidak akan pernah bisa dikalahkan. Ketika Tuan Guru tidak bisa memperjuangkan kebebasannya di Tidore, Allah memindahkan arah perjuangan beliau di tempat lain. Begitulah bagaimana perjuangan seorang mujahid sejati di mata Allah. Subhanallah.