Biografi KH. Ahmad bin Syu’aib, Pengasuh Pesantren MUS Sarang, Rembang

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendiidkan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1   Menjadi Pengajar
3.2   Menjadi Pengasuh Pesantren

4.    Teladan
5.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Kyai Ahmad bin Syu’aib lahir di Sarang pada abad ke-14, tahun 1301 H/1884 M. beliau dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Beliau mempelajari membaca Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam dari ayahnya dan juga dari para masyayikh di Sarang, terutama KH. Umar bin Harun dan KH. Murtadha bin Muntaha.

1.2 Riwayat Keluarga
Pertama-tama, KH. Ahmad bin Syu’aib menikah dengan putri KH. Abdul Lathif Lasem, tetapi pernikahan tersebut tidak dikaruniai seorang anak. Setelah tiga tahun, beliau menceraikan istrinya dan menikahi Khadijah bin H. Usman Tuban, keturunan KH. Ma’ruf yang dikenal alim. Dari pernikahan tersebut, beliau diberkahi dengan beberapa anak, di antaranya:
1. Ibu Nyai. Mahmudah (Istri Kyai. Zubair Dahlan)
2. Kyai Abdul Jalil
3. Ibu Nyai. Hamidah (Istri Kyai. Ridwan)
4. Kyai Abdul Hamid
5. Ibu Nyai. Muhammadah (Istri K. Zubaidi)
6. Kyai Abdurrahim.

1.2 Wafat
Sebelum wafat, KH. Ahmad bin Syu’aib menderita penyakit demam sejak bulan Jumadil U’la. Rasa sakitnya terus bertambah hingga menjelang akhir hayatnya pada tanggal 10 bulan Rajab. Pada malam Selasa tanggal 20 Rajab 1386 H/5 November 1966 (jika dikonversikan), beliau akhirnya kembali ke rahmatullah dalam usia sekitar 85 tahun. Semoga Allah SWT memberikan rahmat yang luas kepada K. Ahmad bin Syu’aib dan menempatkannya di surga bersama orang-orang yang shaleh. Amiin ya rabbal alami.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Pada usia 20 tahun, beliau melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu di Makkah Al-Mukarramah selama dua tahun. Di sana, beliau belajar dari ulama-ulama terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu dan kealiman.

Selama tinggal di Makkah, Kyai Ahmad bin Syu’aib menjadi santri di tempat yang dipimpin oleh Sayyid Umar Syatha, yang juga dikenal sebagai Sayyid Syatha. Meskipun mengabdikan waktunya untuk belajar, Kyai Ahmad juga tertarik untuk memperdalam pemahamannya dalam bidang thoriqaoh atau tarekat. Namun, ketika beliau meminta izin kepada Sang Guru untuk mempelajari tarekat, permintaannya tidak direspons dengan baik.

Sebagai gantinya, Sang Guru memberinya dua kitab penting: Yawaqiit Wajawahiir karya Syaikh Abdul Wahab As-Sya’rani, dan Risalatul Imam Assyufiyyi Assyaikh Al Imam Al Qusyairi, seraya memberi instruksi untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Kitab-kitab tersebut tidak hanya diberikan kepada Kyai Ahmad, tetapi juga disertai dengan ijazah khusus yang menguatkan otoritas beliau untuk mempraktikkan dan mengajarkan isi kitab-kitab tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah dua tahun di Makkah, KH. Ahmad bin Syu’aib kembali ke tanah kelahirannya. Meskipun memiliki pengetahuan dari Makkah, beliau tidak langsung mengajar, melainkan melanjutkan pencarian ilmu. beliau kemudian pergi ke Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, yang dipimpin oleh pendiri Nahdhatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim memberinya perhatian khusus dan beberapa kitab yang digunakan selama studinya di Makkah, terutama dari Syaikh Mahfudz At-Turmusy.

2.2 Guru-Guru
1. KH. Syu’aib (ayah),
2. KH. Umar bin Harun,
3. KH. Murtadha bin Muntaha,
4. Sayyid Umar Syatha,
5. KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng Jombang.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Kyai Ahmad bin Syu’aib tekun dalam mencari ilmu, memusatkan perhatian pada ibadah malam dan puasa di siang hari, menjauhi godaan hawa nafsu. Setiap saat, waktu disisihkan untuk aktivitas yang bermanfaat, berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi melalui ilmu dan kesadaran spiritual.

3.1 Menjadi Pengajar
Setelah belajar di Jombang, KH. Ahmad bin Syu’aib kembali ke kampung halamannya untuk mengajar santri di Sarang. beliau tidak hanya ahli ibadah, tetapi juga dikenal dengan doa yang mustajab, sering mendekatkan diri kepada Allah di malam hari dan berpuasa secara rutin, terutama pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. beliau menjalankan praktik tersebut secara konsisten kecuali pada satu tahun saat sakit parah menjelang wafatnya.

Beliau tidak hanya ahli ibadah dan berilmu, tetapi juga aktif dalam pertanian, perdagangan, dan industri. Hasil usahanya memberi keberkahan bagi dirinya dan keluarganya. Beliau dermawan, penuh kasih, dan suka berbagi tanpa mengharapkan imbalan. Hartanya digunakan untuk kebaikan dan kemajuan agama Islam.

Pada tahun 1369 H, KH. Ahmad bin Syu’aib melakukan perjalanan ke tanah suci Makkah lagi, namun kali ini tidak sendirian. Beliau ditemani oleh beberapa anaknya dan cucunya, Syaikhona KH. Maimoen Zubair. Semua biaya perjalanan ditanggung olehnya, menunjukkan kecintaannya pada agama dan komitmen untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarganya.

3.2 Menjadi Pengasuh Pesantren
Setelah kembali dari Makkah, upaya besar KH. Ahmad bin Syu’aib dalam memperjuangkan agama Islam semakin terlihat, terutama setelah wafatnya KH. Fathurrahman Ghozali. Beliau bersemangat untuk mengembalikan pesantren Sarang ke keadaan yang pernah dibangun oleh KH. Umar bin Harun, menunjukkan dedikasinya dalam mendukung pendidikan agama dan tradisi keilmuan Islam di masyarakat.

4. Teladan
KH. Ahmad bin Syu’aib rutin mengerjakan shalat tahajjud dan shalat malam, terutama intensif di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Saat Ramadhan, beliau memanfaatkan seluruh malam dengan shalat sunnah, shalat tasbih, dan dzikir yang disyariatkan.

5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: ppalanwar.com dikutip dari buku Syaikhuna wa Usratuhu

https://www.laduni.id/post/read/525696/biografi-kh-ahmad-bin-syuaib-pengasuh-pesantren-mus-sarang-rembang.html