Biografi KH. Ahmad Makhdum Zein, Muasis Pesantren Al-Mubarok Demak

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru Beliau
2.3  Mendirikan Pondok Pesantren

3.    Penerus Beliau
3.1  Anak-anak Beliau

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Karier Beliau

5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga 

1.1 Lahir
KH. Ahmad Makhdum Zein, beliau lahir di Kaliwungu, Kendal bertepatan pada hari selasa 17 Sya’ban 1347 Hijriah  atau  29 Januari 1929. Beliau berasal dari keluarga terkemuka di daerahnya. Kedua orang tua beliau adalah guru ngaji dan dibesarkan dilingkup pesantren. 

Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara. Terlahir dari pasangan suami istri yaitu Bapak Kyai Zaenal Abidin dan Ibu Sumiyatun. Kedua orang tua mendidik dan mendorong anak-anaknya menjadi orang yang cinta ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Sebagai putra pertama, beliau memilki tanggungjawab besar untuk memberikan ketauladan kepada adik-adiknya.

1.2 Wafat
KH. Ahmad Makhdum Zein berpulang ke Rahmatullahi pada tanggal 24 September 2002. 

1.3 Riwayat Keluarga
Pada suatu hari, KH. Ahmad Makhdum Zein diminta pulang ke rumah oleh kedua orang tua beliau. Selang beberapa hari dari kepulangan KH. Ahmad Makhdum Zein, Bapak beliau (Zainal Abidin) wafat. Peristiwa tersebut menyisakan kepedihan mendalam. Saat itu merupakan masa yang dianggapnya begitu berat dalam kehidupan beliau.

Mendengar kabar duka tersebut, selanjutnya KH. Muslih mengirim surat kepada KH. Makhdum untuk berkenan kembali ke pondok (PP. Futuhiyyah). Namun kembalinya beliau ke Mranggen tidak untuk nyantri kembali, melainkan untuk dijodohkan dengan putri sulung KH. Muslih yaitu Umi Hj. Al-Inayah.   

Peristiwa penuh sejarah terjadi sekitar tahun 1960-an, resmi sebagai pasangan suami istri, KH. Ahmad Makhdum Zein dan Umi Hj, Al-Inayah. Dari pernikahan dengan Umi Hj. Al-Inayah, beliau dikaruniai sebelas anak, terdiri atas lima laki-laki dan enam perempuan. Di mana putri kedua beliau (anak ketiga) telah wafat disaat masih bayi.

Akan tetapi, masa-masa indah KH. Makhdum bersama Umi Hj.Al-Inayah harus berakhir sekitar tahun 1989, Umi Hj. Al-Inayah dipanggil oleh sang maha kuasa. Kala itu, beliau meninggalkan seorang putri yang masih kecil, yaitu neng Fina Zakiyyah.

Setelah itu, KH. Makhdum Zein menikah kembali untuk kali kedua dengan Umi Nur Hamidah untuk melanjutkan kepengasuhan Neng Fina Zakiyyah. Umi Nur Hamidah sendiri merupakan salah satu santri beliau. Dari pernikahan tersebut, KH. Makhdum Zein dikaruniai 4 orang anak (dua laki-laki dan dua perempuan), sehingga keturunan beliau berjumlah empat belas anak

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Awal mula masuk ke pesantren, sebagaimana santri-santri lain. Rasa rindu dan malu menyatu. Namun, seiring berjalannya waktu dan kedewasaan yang terus bertambah, sifat dan karakter beliau mulai muncul. Kekhusyukkan dalam beribadah serta tawadlu’nya kepada kiai sungguh luar biasa. Shalat berjamaah adalah ritual utamanya sebagai bentuk ketawadlu’an beliau kepada kiai. Meskipun dalam keadaan kurang sehat, beliau tetap ikut serta dalam shalat berjamaah.

Selain itu, beliau terkenal sebagai figur yang penuh kesabaran dan kesederhanaan. Dalam pergumulan bersama santri lain, beliau sangat halus dalam bertutur dan bersikap. Bahkan diceritakan beliau jarang marah dalam menyelesaikan permasalahan dengan temannya. Sikap dan karakter seperti inilah yang seharusnya dicontoh oleh para santri, khususnya santri pondok pesantren Al-Mubarok. Dalam berkomunikasi, berdiskusi (musyawarah), beliau senantiasa menyampaikan dengan nada pelan tapi lugas, dan mudah dipahami.

Selama belajar di pesantren, beliau terkenal piawai dalam mengkaji ilmu nahwu shorof. Selain itu, beliau juga gemar mengkaji fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Keistiqomahan beliau dalam tadarus Al-Qur’an, semakin menjadikan tiap lafadz yang dibacakan terdengar jelas dan fasih. Meski tidak Hafidzul Qur’an, beliau banyak hafal surat-surat yang ada di dalam al-Qur’an.

Salah satu amalan sekaligus anjuran beliau kepada santrinya untuk mengistiqomahkan membaca surat al-Kahfi setiap malam jum’at. Diyakini bahwa surat tersebut dapat mempermudah setiap kesulitan serta terhindar dari bencana di hari akhir. Selain itu, beliau juga menghimbau santrinya untuk tidak melupakan membaca al-Qur’an setiap, meski hanya membaca satu halaman.

Selain kedalaman ilmu agama yang dimiliki, beliau memiliki talenta luar biasa dalam bidang tulis-menulis (khot & kaligrafi). Bahkan, informasi yang didaatkan oleh penulis bahwa beliau pernah menjadi Khotib Thoriqoh Nasional dan penulis dari karya-karya ilmiah KH. Muslih, seperti Manaqib Nurul Burhanyilmu tajwidtahlil kemasyarakatan, dan lain-lain. Bahkan ada sebuah ceita bahwa beliau pernah memotong rambut salah satu santrinya (Ust. Masykur Ali), kemudian rambut tersebut digunakan untuk menulis sebuah kaligrafi 

2.2 Guru-Guru Beliau

  1. Kyai Zaenal Abidin
  2. KH. Muslih bin Syekh KH. Abdurrohman bin Qosidil Haq

2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
Awal berdirinya pondok pesantren Al-Mubarok, terjadi setelah pernikahan KH. Makhdum Zein dengan Umi Hj. Al-Inayah oleh KH. Muslih Al Maroqi. KH. Mahdum diberi sebidang tanah yang letaknya tidak jauh dari kawasan pondok pesantren Futuhiyyah, tepatnya di daerah Brumbungan Mranggen. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Al-Mubarok. Meskipun telah memiliki pondok sendiri, KH. Makhdum tidak lupa memberikan perhatian kepada keluarga. dalam mendidik putra putrinya, pendidikan merupakan priortas utama. Tidak sekedar menuntut ilmu, beliau mendorong putra putrinya untuk berusaha menghafalkan al-Qur’an. Beliau senantiasa rajin dalam mengawasi para santri dengan terjun langsung ke pesantren.

3. Penerus Beliau

3.1 Anak Beliau
KH. Abdullah Ashif Makhdum, LC

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

KH. Ahmad Makhdum Zein adalah sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang karena sikap kesederhanaannya. Meskipun berstatus sebagai seorang kiai, beliau gemar menjaga kebersihan dengan memberikan contoh langsung kepada santrinya dengan cara menyapu, memunguti sampah, dan membakarnya. Kegiatan itu beliau lakukan setiap hari. Pernah suatu kisah menarik terjadi bahwa salah satu santrinya yang saat itu turut membantu membakar sampah, melihat api yang mulanya berkobar-kobar menjadi kecil saat ditinggal oleh KH. Makhdum. Kemudian, disaat KH. Makhdum kembali ke tempat tersebut, api itu kemudian membesar lagi, seakan-akan api itu ta’dzim kepada KH. Makhdum. Selain membakar sampah, hal lain yang sering dilakukan KH. Makhdum adalah membersihkan saluran air dan toilet. Meskipun ada santri yang membantu, namun beliau tidak pernah sungkan untuk tetap melakukannya.

Dalam menghadapi masalah, beliau selalu menyikapinnya dengan santai dan tidak terburu-buru. Semua urusan tentang pondok pesantren dipercayakan kepada pengurus. Beliau tidak ingin ikut campur mengenai urusan tekhnis. Hal ini dilakukan agar pengurus pondok pesnatren lebih terlatih dan terampil dalam mengurus sebuah lembaga pendidikan. Apabila ada santri yang nakal, beliau masih mempercayakan pengurus untuk mengarahkannya. Namun, jika tingkat kenakalannya sudah keterlaluan, maka beliau ikut turun tangan. Akan tetapi, beliau tidak pernah memarahi santri tersebut. Bahkan, santri yang bersangkutan hanya disuruh memijat beliau, diajak membakar sampah atau hal lainnya. Semoga keberkahan senantiasa terlimpah pada diri para santri Al-Mubarok.

KH. Mahdum tidak pernah menghabiskan waktu mengikuti organisasi. Namun, dulu beliau pernah ikut rapat pemerintahan di Simpang lima Semarang. Dirasakan ada kejanggalan di acara tersebut (suap menyuap), maka seketika itu, beliau langsung memutuskan untuk pulang. Berbicara masalah kesederhanaan, hal yang paling sering diceritakan adalah beliau selalu berbelanja kitab di Semarang (toha putra) dengan berjalan kaki.

4.1 Karier Beliau
Pengasuh pesantren

5. Referensi

Home

https://www.laduni.id/post/read/518042/biografi-kh-ahmad-makhdum-zein-muasis-pesantren-al-mubarok-demak.html