Biografi KH. Ahmad Siroj

Daftar Isi Profil KH. Ahmad Siroj

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Kisah Wafatnya KH. Ahmad Siroj
  4. Pendidikan
  5. Mendirikan Pesantren
  6. Teladan
  7. Karomah

Kelahiran

KH. Ahmad Siroj lahir tahun 1878 M di Tengaran, Kabupaten Semarang. Beliau merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, dari KH. Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura. Saudara-saudara beliau diantaranya, KH. Kholil dan KH. Djuwaidi.

Nasab KH. Ahmad Siroj dari jalur ayah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Patah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.

Wafat

KH. Ahmad Siroj wafat pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H atau 10 Juni 1961. Jenazah KH. Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.

Kisah Wafatnya KH. Ahmad Siroj

Ketika KH. Ahmad Siroj sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H atau 10 Juni 1961, KH. Zaenal Makarim (Karang Gede) mimpi bertemu KH. Ahmad Siroj.

Mengapa saya sakit tak kau jenguk?,” Tanya KH. Ahmad Siroj kepada KH. Zaenal Makarim dalam mimpi.

Terperanjatlah KH. Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk KH. Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Dari Allah kita berasal, dan kepada-Nya pula kita akan kembali,” ucapnya kemudian.

Kejadian serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, sekitar pukul 05.00 mimpi didatangi KH. Ahmad Siroj, dan membangunkannya seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudahlah Bib, saya duluan, Anda menyusul).

Alangkah terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah KH. Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa KH. Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.

“Anehnya, pukul 04.00 pagi KH. Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke Kepatihan,” kata Sayyid Abdullah, dalam hati tidak kurang herannya. Doa pun segera dipanjatkan bagi almarhum KH. Ahmad Siroj.

Jenazah KH. Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.

Semasa hidup, KH. Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya. Contoh di atas hanyalah sebagian karomah yang dimiliki KH. Ahmad Siroj untuk membuktikan kewalian almarhum. Tentu saja masih banyak karomah lain yang belum terungkap di sini. Karena masih banyak cerita di masyarakat Solo perihal ‘keistimewaan’ KH. Ahmad Siroj dalam kepribadiannya.

Pendidikan

Sewaktu masih muda, KH. Ahmad Siroj belajar beberapa pesantren, diantaranya,  beliau belajar di Pesantren Mangunsari Nganjuk yang diasuh oleh KH. Bahri, belajar di Pesantren Tremas Pacitan yang diasuh oleh KH. Abdullah Tremas, dan di Semarang beliau belajar kepada KH. Sholeh Darat.

Mendirikan Pesantren

KH. Ahmad Siroj mendirikan Pesantren (Pesantren As-Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, di atas tanah seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain Al-Qur’an dan Hadits adalah Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib. Selain itu, banyak pula ajaran beliau yang sifatnya hafalan.

Teladan

Semasa mudanya, KH. Ahmad Siroj selalu ta’dhim pada gurunya. Bila berjanji selalu ditepati. Bila berkesanggupan, pasti dijalani. Sejak kecil memang beliau telah kelihatan menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.

Beliau bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun. Dengan penjual bakso di Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, beliau berhubungan baik dan saling berkunjung.

Bahkan hingga kini setiap ada haulnya KH. Ahmad Siroj, penjual bakso tersebut berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.

Dengan Romo Petrus Sugiyanto, dijalin juga persahabatan. KH. Ahmad Siroj sering diundang makan dan sering melakukan sholat di rumahnya. Begitupun Romo tersebut sering mengunjungi beliau.

KH. Ahmad Siroj tidak segan makan satu piring dengan santrinya atau orang yang menginginkan mendekati beliau. Bila mereka butuh uang, beliau tidak segan-segan membantunya. Sebaliknya, bila beliau meminta uang, bukan untuk diri pribadi tapi untuk orang lain yang membutuhkannya.

Selain itu, KH. Ahmad Siroj terkenal sebagai ‘abid (ahli ibadah). Beliau senantiasa berjamaah shalat lima waktu, jarang sekali beliau shalat sendirian. Shalat sunnah rawatib, qabliyah dan ba’diyah selalu dijalankan secara lengkap. Yang empat rakaat dijalankan empat rakaat.

Shalat Dhuha dilakasanakan oleh beliau secara kontinyu sebanyak delapan rakaat, meskipun sedang berada di rumah orang lain. Sedangkan antara maghrib dan isya’, beliau melakukan shalat awwabin.

Doa yang banyak dipanjatkan oleh KH. Ahmad Siroj adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”

Selain itu, KH. Ahmad Siroj adalah sosok Kiai yang gemar dan rajin untuk silaturahmi.

Karomah

KH. Ahmad Siroj memiliki beberapa karomah, diantaranya:

1. Kasyaf

Beliau mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa (kasyaf). Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada tahun 1948. Satu seksi lascar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kiai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.

Seorang anggota laskar Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, tiba-tiba didekati beliau lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”.

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.

Menurut salah seorang saksi mata, H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah, teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya KH. Ahmad Siroj memeluknya sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.

2. Berulang kali berhaji

Secara lahiriah, KH. Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu beliau di sana. KH. Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama KH. Ahmad Siroj yang bermukim di Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada tahun 1937 dirinya menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1960 orang jamaah haji lainnya.

Sehabis makan siang, Kiai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari Jumat waktu subuh, akan dicarinya KH. Ahmad Siroj. Sebab, sering didengarnya ada seorang waliyullah sering shalat subuh di Mekkah pada hari Jumat. Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah KH. Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti. Setelah berbincang sejenak, KH. Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut merasa keheranan.

Ketika sudah sampai di Mekkah, Kiai Bulqin hendak menjalankan ibadah shalat subuh. Kiai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan shalat subuh di Mekkah. Mungkinkah KH. Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang pernah didengarnya. Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya KH. Ahmad Siroj sedang melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.

Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kiai Bulqin hendak menyalami KH. Ahmad Siroj namun pada putaran terakhir KH. Ahmad Siroj sudah tidak tampak lagi. Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan KH. Ahmad Siroj, kini yakinlah Kiai Bulqin bahwa yang tidak mengkin bagi orang biasa, bagi waliyullah seperti KH. Ahmad Siroj, mungkin-mungkin saja.

3. Berjalan Luar Biasa Cepatnya

Waktu Kiai Shoimuri, putra KH. Ahmad Siroj selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai Latifah di daerah Boyolali, rombongan KH. Ahmad Siroj segera berkehendak pulang ke Solo bersama 33 santrinya. Kiai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan Nyai Siroj dengan naik kereta api. Ia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan KH. Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.

Anehnya, setiba di Solo, rombongan Kiai Bulqin baru sampai Ngapeman, KH. Ahmad Siroj sudah berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo. Bagaimana itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang brangkat lebih dahulu tersebut.

Kejadian serupa juga dialami oleh Nyai Sa’diyah Ali. Suatu ketika bersama KH. Ahmad Siroj bepergian ke Boyolali dari Karang Gede. Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Sesampai di Masjid Dawung, Boyolali, belum qomat, masih pujian. Padahal kedua tempat itu jauh dan ditempuh dengan jalan kaki.

H. Dasuki pun pernah mengalami hal serupa. Suatu ketika diminta KH. Ahmad Siroj mengikuti beliau bepergian dari Desa Paesan ke Boyolali yang jaraknya sekitar 10 km. Sesampainya di tempat yang dituju, tasbih KH. Ahmad Siroj masih tertinggal di Paesan. Lalu, disuruhnya H. Dasuki mengambilkannya, berjalan kaki pulang balik. Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Anehnya, waktu kembali di Masjid Kokosan, Boyolali, belum qomat maghrib. Menurutnya, itu berkah KH. Ahmad Siroj.

4. Nasi Satu Kendil

Suatu ketika KH. Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten Semarang dari Solo. Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu (miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah, satu kendil nasi. Karena nasi terbatas, KH. Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilahkan makan dalam kamar.

KH. Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi diminta dihidangkan ruang depan di mana beliau dan santrinya sedang duduk bersila. Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk makan kenyang.

5. Erat dengan Pejabat/Raja

Sekitar tahun 1935, KH. Ahmad Siroj mengajak Imam Muslim bepergian. Sesampai di Pura Mangkunegara, mereka terus masuk.

Di Pendapa Mangkunegaran, KH. Ahmad Siroj bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal oleh Imam Muslim. Dua insanpun segera saling berpelukan erat, menggambarkan saling melepas rindu, setelah lama tak bersua. Lalu, mereka menuju ke belakang, duduk berhadapan sambil berbincang seperlunya.

Akhirnya, mengertilah Imam Muslim bahwa yang saling berbincang antara KH. Ahmad Siroj dengan orang tersebut, tidak lain adalah Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGAA) Mangkunegara VII. Perbincangan tersebut berakhir sekitar pukul 02.30 dini hari, lalu mereka segera meninggalkan Pura Mangkunegaran. Sesampai di Pasar Pon, pohon asam yang berdahan tinggi diraih KH. Ahmad Siroj untuk menghentikan sepeda motor yang datang dari arah timur. Penumpangnya pun berhenti, lalu turun.

Sebagaimana kejadian di Pura Mangkunegaran, di tempat inipun keduanya saling berpeluk erat, menunjukkan keakraban. Setelah berbincang sejenak, berpisahlah keduanya. Dari percakapan KH. Ahmad Siroj dengan penumpang motor tersebut, Imam Muslim barulah mengetahui bahwa ternyata yang bersepeda motor lalu berhenti dan bercakap-cakap dengan Kyai Ahmad Siroj, tidak lain adalah Ingkang Sampeyand alem Sri Susuhunan Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta yang termahsyur.

6. Pintu Terkunci, Bisa Masuk

Semasa kecil, KH. Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan KH. Abdus Syakur, kakak iparnya. Sesekali anak ini kena ‘slenthik’ karena kenakalannya.

Suatu malam, KH. Abdus Syakur pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Pintu rumah pun kemudian ditutup, dan dikunci dari luar. Maklum, KH. Ahmad Siroj di kala itu sedang pergi ke luar rumah juga.

Sepulang shalat isya’, KH. Abdus Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya, dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj. Lalu ditanya “Kau lewat mana, nak?” Dijawab oleh Ahmad Siroj “Inggih lewat mriku mawon.” (Ya melalui situ juga). Sejak itu, Kyai Abdus Syakur tak pernah lagi member ‘slenthikan’ padanya.

Kali yang lain, KH. Abdus Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal di rumah. Alangkah terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah berada di situ.

Seusai upacara perkawinan, KH. Abdus Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab “Kang, jarene aku kon tunggu omah,” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).

7. Meski Hujan Tak Basah

Bersama dua santrinya, suatu ketika KH. Ahmad Siroj bepergian ke Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan.

Kedua santri yang mengikuti KH. Ahmad Siroj basah kuyup bajunya, tetapi KH. Ahmad Siroj tidak apa-apa, tetap kering bajunya.

8. Sungai Banjir Besar Terlewati

Suatu hari, KH. Ahmad Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk keperluan shalat dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. KH. Ahmad Siroj akan menyusulnya kemudian.

Dalam perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, KH. Ahmad Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai.

Dengan berteriak, santri pun bertanya “Gus, sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda tadi lewat mana?)

Jawab KH. Ahmad Siroj “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)

Karena santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, KH. Ahmad Siroj perintahkan padanya agar pulang saja.

9. Bak Air Kosong, Penuh Tiba-Tiba

Pada suatu ketika, KH. Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak air (pengaron) yang berada di rumahnya, diminta oleh KH. Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa diisi dengan air.

Setelah pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak menuangkan air ke dalam pengaron tersebut, ternyata pengaron kosong tadi telah penuh berisi air.

10. Impian Jadi Kenyataan

Pada suatu saat, KH. Ahmad Siroj memerlukan shalat Jumat berturut-turut selama 7 Jumat di masjid yang di kemudian hari dikenal dengan nama Masjid Al-Muayyad yang terletak Jalan KH. Samanhudi Mangkuyudan, Solo.

Pada malam Jumat minggu ke-7, KH. Asfari (kala itu berstatus duda) mimpi dianjurkan KH. Ahmad Siroj agar menikah dengan Nyai Syafi’ah.

Jumat siang, sehabis shalat Jumat di Masjid Al-Muayyad, KH. Ahmad Siroj singgah ke rumah dekat masjid tersebut. Di samping KH. Asfari berada di situ, juga KH. A. Umar Abdul Mannan. Jamuan makan siang pun disajikan. Kebetulan yang menghidangkan Nyai Syafia’ah juga.

Seketika itu juga, KH. Ahmad Siroj memerintahkan agar KH. Asfari pergi (sowan) ke rumah KH. Manshur di Popongan, Delanggu, Klaten. Ternyata perintah Kiai Manshur sama dengan KH. Ahmad Siroj sebelumnya. Malah ditetapkan hari tanggalnya sekaligus.

Setelah diingat-ingatnya, ternyata 3 tahun yang lalu KH. A. Umar pernah diperintah memotong kambing pada hari tanggal tersebut (tepat pada hari/tanggal ijab Kyai Asfari dengan Nyai Syafi’ah).

https://www.laduni.id/post/read/67430/biografi-kh-ahmad-siroj.html