Daftar Isi Profil KH. Asmoeni Iskandar
- Kelahiran
- Wafat
- Pendidikan
- Pendiri PERPENO (Persatoean Peladjar Nahdlatoel Oelama)
- Mendirikan Madrasah
- Peranan di Nahdlatul Ulama
- Menjadi Kepala Desa
Kelahiran
KH. Asmoeni Iskandar lahir pada tanggal 5 Agustus 1933 di Dusun Pucanganom, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Beliau merupakan putra dari pasangan H. Iskandar Munsyarif dan Hj. Aminatun.
Wafat
KH. Asmoeni Iskandar wafat di usia 72, pada Kamis, 9 Desember 2004, pukul 15.00 WIB. Jenazah salah satu tokoh perintis IPNU tersebut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Dusun Mantren Desa Tengger Kidul Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Pendidikan
Masa remajanya, diisi dengan menempuh pendidikan formal Sekolah Rakyat, kemudian dilanjutkan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta menjadi santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri yang diasuh oleh KH. Abdul Karim.
Pendiri PERPENO (Persatoean Peladjar Nahdlatoel Oelama)
Saat awal mendirikan PERPENO, pada tanggal 13 Juni 1953, KH. Asmoeni Iskandar masih aktif sebagai santri di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Liboyo Kediri.
Tak sampai setahun, PERPENO yang dirintisnya kemudian ikut melebur ke dalam IPNU, seiring dengan diresmikannya pendirian IPNU. Asmoeni pun kemudian ikut menjadi bagian dari pertemuan Konferensi Panca Daerah (Konferensi Segi Lima) pada 30 April-1 Mei 1954.
Pertemuan yang diikuti perwakilan dari lima daerah, yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, Jombang, dan Kediri ini sebagai tindak lanjut setelah disahkannya pendirian IPNU tanggal 24 Februari 1954 pada Konferensi Nahdlatul Ulama Ma’arif di Semarang.
Selain Asmoeni Iskandar, beberapa tokoh perwakilan yang hadir dan kemudian dikenal sebagai Tokoh Angkatan ’54 yaitu Moh. Tolchah Mansoer, M. Djamhari AS, Ach. Alfatih AR (Yogyakarta), M. Shufyan Cholil, Sochib Bisri (Jombang), Mustahal Ahmad (Solo) dan Abdul Ghony Farida (Semarang), Abd Chaq, dan nama-nama lainnya.
Mendirikan Madrasah
Usai berjuang di IPNU, KH. Asmoeni Iskandar tetap meneruskan perjuangannya di dunia pendidikan dan dakwah. Pada tahun 1961, ia mendirikan Madrasah Diniyah Salafiyah Syafi’yah, yang sekarang dikenal menjadi Madrasah Ibtida’iyah “Diponegoro” Pucanganom Sukorejo Gurah.
Pada tahun 1967 ia bersama para Kyai dan tokoh NU lainnya se-Kecamatan Gurah mendirikan Yayasan Pendidikan “Sunan Gunung Jati” Gurah Kediri. Lembaga ini terus berkembang pesat, yang pada awalnya hanya lembaga Pendidikan Guru Agama, sekarang menjadi 3 lembaga pendidikan Madrasah Dinyah, Madrasah Tsnawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Peranan di Nahdlatul Ulama
Yang menarik, jabatan kepala desa yang KH. Asmoeni Iskandar emban, tak menyurutkan langkahnya dalam berjuang bersama NU. Tercatat ia pernah aktif di NU, mulai dari tingkatan ranting hingga cabang.
“Kami sebagai putra beliau sangat bangga atas perjuangannya dalam masyarakat danterutama perjuangan beliau dalam kepengurusan NU. Apalagi pada masa Orde Baru, di mana seorang kepala desa dalam tanda kutip tidak boleh aktif dalam organisasi NU, akan tetapi beliau tetap gigih dalam mengabdi di organisasi Nahdlatul Ulama,” tutur Ibnu.
Selain itu, KH. Asmoeni Iskandar dan para pendiri IPNU telah memberikan sebuah kontribusi penting, dengan mendirikan sebuah organisasi pelajar NU, yang keberadaan dan manfaatnya masih bisa kita saksikan dan rasakan hingga saat ini.
Menjadi Kepala Desa
Pada tahun 1967, KH. Asmoeni Iskandar diberikan kepercayaan dan tugas oleh KH. Machrus Aly Lirboyo Kediri untuk berjuang dan mengabdi di masyarakat menjadi Kepala Desa Sukorejo Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri. Ia pun dipercaya masyarakat untuk memimpin bahkan hingga 20 tahun lebih (1967-1990).
https://www.laduni.id/post/read/71138/biografi-kh-asmoeni-iskandar.html