Daftar Isi Biografi KH. Humaidullah Irfan Kaliwungu
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Nasab
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Guru-guru
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Humaidullah Irfan KH. Humaidullah Irfan merupakan putra sulung dari KH. Irfan bin Kyai Musa dengan Nyai Sufirah binti Imron.diperkirakan lahir sekitar tahun 1912 M
Ayahanda beliau adalah KH. Irfan Kaliwungu yang namanya sudah dikenal di kalangan pesantren-pesantren di Jawa
1.2 Nasab
KH. Humaidullah bin Irfan bin Musa masih keturunan dari Prabu Brawijaya ke V dengan silsilah sebagai berikut:
- Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
- Bondan Kejawan atau Lembu Peteng
- Kyai Ageng Getas Pandawa
- Kyai Ageng Selo
- Kyai Ageng Enis
- Kyai Ageng Pemanahan
- Panembahan Senopati Mataram
- Kyai Jewo Seto
- Kyai Qomaruddin
- Kyai Ma’arif
- Kyai Abdul Baqi
- Kyai Musa
- KH. Irfan
- KH. Humaidullah Irfan
1.3 Wafat
Wafat pada hari Senin jam 23:23 ,Tanggal 29 Romadlon 1405 H/17 Juni 1985 M dalam usia 73 Tahun
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Semangat belajar Kyai Humaid sudah tumbuh sejak kecil. Sebelum beliau mengaji kepada para Kyai di luar Kaliwungu, beliau terlebih dahulu mengaji kepada ayahnya, kemudian mengaji Al-Qur’an kepada Kyai Ahmad Badawi Kaliwungu dan mengaji kitab kuning kepada Kyai Abdul Aziz Kaliwungu.
Setelah Kyai Humaid berusia 18 tahun, ayahnya yakni KH Irfan bin Musa wafat. Pada usia yang relatif muda ini Kyai Humaid menjalani kehidupan tanpa ditemani sang ayah, namun tidak membuat Kyai Humaid putus asa. Beliau semakin memiliki ghiroh untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
Menurut penjelasan Kyai Sholahuddin, dua tahun setelah kepergian sang ayah, Humaid muda pamit dari Kaliwungu untuk menimba ilmu di Pesantren Kasingan Rembang untuk mendalami ilmu Nahwu dan Shorof kepada Kyai Kholil Harun. Kyai Sholahuddin juga menjelaskan ketika Kyai Humaid belajar di Kasingan, beliau bertemu dengan Kyai Mahrus Ali, Kyai Bisri Musthofa, dan Kyai-Kyai lainnya. Artinya perjalanan keilmuan Kyai Humaid masih satu kurun dan bertemu dalam satu guru bersama Kyai Mahrus dan Kyai Bishri.
Setelah merasa cukup mengaji di Kasingan, Kyai Humaid pergi ke Tremas Pacitan untuk mengobati dahaga keilmuanya. Beliau mengaji kepada KH Dimyathi selama kurang lebih dua tahun. Kyai Sholahudin juga menjelaskan waktu beliau mengaji di Tremas bertemu dengan Kyai Ali Maksum Krapyak, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Zarkasyi Gontor, dan Kyai-Kyai lainya.
Setelah beliau mengaji kepada Kyai Dimyathi, kemudian pergi ke Pesantren Cemoro Banyuwangi yang pada waktu itu diasuh oleh KH Abdullah Faqih selama tiga tahun. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Lirboyo Kediri, di sana beliau mendalami ilmu bersama Kyai Abdul Karim.
Menurut cerita Kyai Sholahuddin, ketika mengaji di Lirbcyo, Kyai Abdul Karim mengetahui identitas KH. Humaidullah Irfan yang mana ia adalah putra dari Kyai Irfan Kaliwungu yang namanya sudah dikenal di kalangan pesantren-pesantren di Jawa, akhirnya KH. Humaidullah Irfan ditunjuk untuk ikut mengajar. Pada waktu itu pula KH. Humaidullah Irfan mengirimkan surat ke Kaliwungu untuk kedua adiknya Kyai Ubaidullah Irfan dan Kyai Ibadullah Irfan untuk ikut mengaji di Lirboyo.
Setelah sekitar lima tahun di Lirboyo kemudian KH. Humaidullah Irfan kembali ke Kaliwungu dan tidak lama kemudian beliau menikah. Setalah menikah pun KH. Humaidullah Irfan masih pulang pergi dari Kaliwungu untuk mencari sanad dan guru. Sampai sudah memiliki anak pertama beliau masih pergi ke Magelang untuk ikut ngaji tabarukan kepada Kyai Dalhar Watucongol. Namun setelah itu beliau diminta kakak sepupunya yakni Kyai Ahmad Rukyat untuk membantu ikut mengajar para santri di Pesantren Salaf Apik.
Kegigihan KH. Humaidullah Irfan dalam mencari guru sangatlah kuat, bahkan sampai usia senja beliau masih ingin menyambungkan ilmunya dengan ulama-ulama yang alim. Menurut Kyai Sholahuddin upaya tersebut adalah untuk menghormati ilmu dan menyandarkan ilmu dengan para ahlinya.
“Sampai sudah punya anak masih mencari guru buat sandaran ilmu, sampai akhirnya sebelum wafat,” ungkap Kyai asal Kaliwungu itu.
2.1 Guru-guru Beliau
Guru-guru beliau selama hidupnya adalah sebagai berikut:
- KH. Irfan bin Musa (Ayah KH. Humaidullah Irfan)
- Kyai Ahmad Badawi
- Kyai Abdul Aziz
- Kiai Ma’ruf Kedunglo
- Kyai Kholil Harun Kasingan Rembang
- KH Dimyathi Tremas Pacitan
- KH Abdullah Faqih Pesantren Cemoro Banyuwangi
- Kyai Abdul Karim Lirboyo Kediri
- Kyai Dalhar Watucongol
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Suatu ketika KH. Humaidullah bin KH. Irfan, yang waktu itu masih kanak-kanak sedang bermain-main bersama anak-anak sebayanya, tiba-tiba KH. Humaid kecil bersama teman-temannya menemukan ‘ceceran’ krupuk mentah di kampung yang mungkin terjatuh ketika habis dijemur, maklumlah Kaliwungu banyak pengusaha krupuk lokal.
Humaid kecil dapat 3 krupuk mentah, kemudian dibawa pulang terus digoreng, setelah matang. Tiba-tiba ayah beliau Al-Arifbillah KH. Irfan bin KH. Musa, Pendiri Ponpes APIK Kaliwungu melihat putranya mau makan krupuk tersebut, sebelum dimakan Humaid kecil, ayahnya menahan tangan Humaid dan bertanya.
”Humaid. Ini krupuk dari mana?”, Humaid kecil menjawab dengan polos, ”Saya nemu di pinggir kampung sana Bah.”.
Setelah mendengar jawaban anaknya, KH. Irfan mengajak Humaid kecil ke lokasi dimana Humaid menemukan krupuk mentah yang tercecer itu. Kemudian KH. Irfan menanyakan kesana-kemari, ke tetangga kanan-kiri di lokasi tersebut, perihal siapa yang jam sekian menjemur dan mengambil krupuk.
Setelah tahu pemiliknya, KH. Irfan pun silaturahim seraya menyatakan mohon ”halalnya” untuk 3 kerupuk kecil yang dipungut putranya karena tercecer di jalan. Kontan, si pemilik krupuk begitu di datangi oleh KH. Irfan langsung menyambut dengan gembira, tidak terbayangkan seorang ulama besar dan kharismatik sekelas Kyai Irfan mau silaturahim ke rumahnya, apalagi hanya gara-gara 3 krupuk kecil mentah yang tercecer. Maka dengan sangat gembira, si pemilik rumah tidak hanya menghalalkan tapi malah membawakan oleh-oleh krupuk mentah beberapa kg. untuk oleh-oleh Kyai Irfan.
Demikianlah, begitu wira’i dan hati-hatinya beliau terhadap tiap suap makanan yang masuk ke mulut keluarganya, agar tidak sampai jatuh kemasukan barang atau makanan ‘syubhat’ apalagi yang haram. Maka, pantaslah kalau dikemudian hari putra-putra dan keturunan beliau menjadi ulama-ulama besar dan pesantren yang didirikan beliau menjadi pesantren besar dan kharismatik serta bersejarah, yang turut andil dalam memperjuangkan Islam dengan nilai-nilai aswaja di bumi nusantara ini.
Ketika KH. Humaidullah Irfan Masih di pesantren, beliau ingin melakukan tirakat puasa seperti teman-temannya supaya diberikan hati yang bercahaya (padang ati). Hal itu beliau lakukan sebab merasa susah memahami kitab-kitab yang sedang dipelajarinya. Tapi dicegah oleh gurunya yakni Kyai Ma’ruf Kedunglo salah satu Waliyun min Auliyallah yang hidup satu kurun dengan Mbah Wali Musyafa’ Kaliwungu.
Lantas, Kyai Ma’ruf menganjurkan KH. Humaidullah Irfan muda agar mendawamkan (melanggengkan) wudlu ketimbang melakukan puasa seperti teman-temannya yang lain. Menurut pandangan gurunya, puasa cukup berat untuknya dan bisa mengurangi produktifitas mengaji. Setelah itu KH. Humaidullah muda menuruti dan melaksanakan apa yang di perintahkan gurunya yaitu melanggengkan wudhu.
Ketika batal langsung wudlu, ketika bangun tidur langsung wudhu, beliau berusaha semaksimal mungkin untuk selalu dalam keadaan mempunyai wudlu. Akan tetapi bagaimanapun tidak ada perjuangan yang tanpa rintangan. Ketika beliau berusaha melanggengkan wudlu, tiba-tiba saja beliau jadi sering buang angin, sehingga harus bolak-balik ke kolam air (sumur/sungai) untuk mengambil air wudlu. Beliau lantas menunggu sejenak setiap kalo selesai wudlu, barangkali saja beliau masih ingin buang angin. Setelah dirasa tidak ada hajat untuk buang angin beliau lantas kembali ke pondok.
Tapi ternyata setelah kembali ke pondok tiba-tiba saja beliau ingin buang angin, selalu. Hal itu terjadi hingga berulang kali. KH. Humaidullah muda tetap sabar dan tabah menjalaninya. Sebab, menurutnya ini adalah salah satu perintah sang guru. Setelah beberapa tahun di jalani, pada suatu hari saat beliau sedang muthola’ah kitab tak terasa beliau tertidur. Dalam tidurnya beliau bermimpi bertemu dengan seorang kakek-kakek yang membawa air susu satu teko. Kakek tersebut lantas menyuruhnya meminum susu tersebut sampe habis. Saat meminum, Humaidullah muda teringat adiknya yakni Ibadullah Irfan yang juga sama-sama mondok. Humaidullah kemudian bertanya kepada sang kakek tersebut.
“Apakah boleh susu tersebut di bagi untuk adiknya juga?” tanya Humaidullah.
Sang kakek dalam mimpi menjawab,”Sudah kamu saja yang habiskan semuanya,” perintah Sang kakek. Akhirnya diminumlah susu tersebut sampai habis, dan ketika sudah habis, terbangunlah beliau dari tidurnya. Aneh bin ajaib segarnya minum susu tadi terasa sampai bangun, padahal beliau minum dalam mimpi. Setelah bangun beliau langsung melanjutkan muthola’ah kitab, dan seketika itu kitab yang selama ini terasa susah membacanya langsung menjadi mudah.
Bahkan setelah itu membaca kitab apapun di berikan kemudahan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan wasilah keberkahan dawamul wudlu. Kehebatan Dawamul Wudlu itu kemudian diceritakan kepada murid-muridnya agar diamalkan supaya hati menjadi bercahaya (padang ati). Sehingga di mudahkan dalam menuntut llmu (mengaji).
Di masa hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan shalat maktubah berjamaah meskipun usia semakin menua beliau tetap menjalankan rutinitasnya. Prinsipnya selama masih bisa berjalan menuju masjid beliau akan terus melakukan amalan yang ditekuninya. Diceritakan bahwa dalam kondisi kurang sehat, beliau tetap berjamaah dengan dibantu oleh santrinya menuju masjid.
Selain itu ketika di Lirboyo, beliau diijazahi oleh gurunya untuk melanggengkan berwudhu. Istilah ini biasanya dikenal oleh para santri dengan dawamul wudhu . Ijazah ini dilakukan untuk menjaga kesucian diri dari hadas kecil maupun besar. Praktik pelaksanaanya sangat simpel yaitu dengan berwudhu terus meskipun tidak untuk shalat. KH. Humaidullah Irfan menjalankan Dawamul Wudhu sampai akhir hayat beliau.