Biografi KH. M. Ali Abdul Wahab, Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Jambi

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru Beliau
2.3  Mendirikan Pengasuh Pesantren

3.    Penerus Beliau
3.1  Anak-anak Beliau

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Karya-karya Beliau
4.2  Karier Beliau

5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga 

1.1 Lahir
KH. M. Ali Abdul Wahab dilahirkan di sebuah desa yang bernama Pasar Arba‟ Bram Itam Kanan Kecamatan Bramitam Kabupaten tanjung Jabung Barat, pada tanggal 11 Maret 1934 M/ 01 Shafar 1354 H sebagaimana tertulis di batu nisan kubah. KH. M. Ali Abdul Wahab adalah cicit dari Syaikh Muhammad Arsyad Albanjari.

1.2 Wafat
Beliau wafat pada hari Ahad, 15 Mei 2011 M/ 11 Jumadil Akhir 1432 H di kota Jambi dan dimakamkan di komplek Pondok Pesantren al-Baqiyatush-shalihat, Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat.

1.3 Riwayat Keluarga
Beliau menikah dengan Hj. Fatimah binti H. Hasan, Pernikahan beliau dikaruniai lima orang anak, terdiri dari empat orang putra dan satu orang putri, yaitu: H. Ahmad Fauzi (Wiraswasta), Hj. Ani Fauziah (Ibu Rumah Tangga), Drs. H. Abdul Latif, M. Ag. (Dosen IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), Drs. H. Anwar Sadat, M. Ag. (Kepala Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren al-Baqiyyatush-Shalihat) dan H. Abdul Hakim, S. Ag. (Pengajar Pondok Pesantren al-Baqiyyatush-Shalihat yang diberi mandat menjadi mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah menggantikan ayah).

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Setamatnya dari kedua madrasah tersebut, beliau melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah As‟ad (sekarang Pondok Pesantren As‟ad) Jambi yang ditempuh dalam waktu tiga tahun (1953-1956). Setelah itu, merantau ke Banua untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Aliyah Diniyah Islamiyah, Barabai, Kalimantan Selatan (1956-1957). Latar belakang pendidikan dan karir ayah diawali pada usia yang sangat dini, yakni mengaji di Makkah al-Mukarramah (1937-1939).

Sepulang dari tanah suci, beliau masuk Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Istiqamah yang terletak di desa Pasar Arba‟ Bram Itam Kanan, masing-masing selama dua tahun (1941-1943). Kemudian beliau melanjutkan ke Madrasah Hidayatul Islamiyah (MHI) dan Madrasah Nurul Falah Kuala Tungkal, masing-masing tiga tahun (1950-1953).

Lulus dari kedua madrasah tersebut, KH. M. Ali Abdul Wahab melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah As‟ad (sekarang Pondok Pesantren As‟ad) Jambi yang ditempuh dalam waktu tiga tahun (1953-1956). Setelah itu, merantau ke Banua untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Aliyah Diniyah Islamiyah, Barabai, Kalimantan Selatan (1956-1957).

2.2 Guru-Guru Beliau

  1. Tuan Guru H. Wahab
  2. KH. Abdul Qadir

2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
Berawal dari pengajian Agama yang dipimpin oleh KH. M. Ali Abdul Wahhab yang bertempat di rumah beliau sejak tahun 1957 M. Seiring berjalannya kegiatan tersebut, kemudian pada tahun 1979 M KH. M. Ali Abdul Wahhab mengundang Syaikh Muhammad Nawawi yang bermukim di Berjan Purworejo Jawa Tengah untuk Melakukan bai’at Thoriqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, di antara yang ikut bai’at pada saat itu adalah: KH. M. Ali Abdul Wahhab, KH. M. Subli bin H. Ismail dan tuan guru H. Ahmad Bukhari dan lain-lainl.

Kurang lebih 28 tahun berjalan,jamaah pengajian yang ikut di rumah beliau ini, dari masa kemasa terus bertambah, dan sampai pada tahun 1985. Rumah beliau tidak lagi mampu untukmenampung banyaknya jumlah jama’ah pengajian. Dan akhirnya diputuskan untuk pindah ke Masjid Agung Al-Istiqamah yang tempatnya persis di depan rumah beliau.

Setiap tahun memperingati haul Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Mesjid Agung Al-Istiqamah Kuala Tungkal. Tahun demi tahun, jumlah jama’ah yang hadir dalam peringatan haul Syeikh Abdul Qadir Al Jailani yang dilaksanakan di Mesjid Agung Al- Istiqamah ini bertambah banyak, hingga banyak jamaah yang tidak mendapatkan tempat lagi di dalam Mesjid, bahkan karena banyaknya hadirin yang mengikuti acara ini mereka rela duduk di jalan-jalan untuk tetap mengikuti rangkaian acara haul tersebut.

Pengikut tariqah Qadiriyyah Naqsabandiyyah yang telah di bai’at biasanya mengadakan haul hari wafatnya Syeikh Abdul Qadir Al -Jailani, yaitu pada tanggal 11 Rabi’uts Tsani setiap tahunnya, begitu pula yang dilaksanakan oleh: KH. M. Ali Abdul Wahhab bersama masyarakat yang terhimpun dalam
pengajian beliau.

Hingga timbul keinginan untuk membangun tempat khusus untuk peringatan haul ini. Ide ini diajukan kepada dewan pengurus pengajian Majlis Ta’lim al-Hidayah yang telah di bentuk kepengurusannya sejak pengambilan Tariqah Qodiriyah Naqsabandiyyah. Ide itupun disepakati dengan lokasi pembangunan gedung di parit Gompong atau jalan Prof. Sri Soedewi kelurahan Sungai Nibung Kuala Tungkal.

Dengan membaca basmalah pada tanggal 30 Sya’ban 1413 H. Bertepatan tanggal 22 Februari 1993 M, penancapan tiang pertama untuk pembangunan gedung yang sedianya untuk tempat peringatan haul inipun dimulai. Dengan penyandang dana awal H. M Syahruddin Zen. Bangunan
gedung pertama ini diberi nama “MAJLISUL ‘ILMI WADZIKRI” berukuran 26 x 16 M2. dengan kapasitas lebih 1.000 (seribu) jama’ah.

Ditengah pembangunan Majlis ‘ilmi Wadzikri ini terpikir oleh panitia bahwa tempat ini hanya akan digunakan setahun sekali, yaitu pada peringatan Haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saja, dan hal itu dirasa kurang banyak manfaatnya. Kemudian muncul pemikiran baru untuk memanfaatkan gedung ini sebagai wadah lembaga pendidikan berupa pondok pesantren.

Kemudian dibentuklah kepengurusan pondok pesantren ini, dengan nama Pondok Pesantren “Al-Baqiyatush Shalihat“ dan Majelis Ta’lim Al- Hidayah Kuala Tungkal. Dengan terbangunnya gedung utama ini dan ditambah beberapa buah asrama santri serta sarana dan prasarana lainnya, maka kemudian mulailah untuk difungsikan sebagai pondok pesantren. Tepatnya pada tanggal 13 April 1994 M. bertepatan dengan 2 Dzulqa’dah, Pondok Pesantren AlBaqiyatush Shalihat ini diresmikan dan diiringi dengan pembelajaran perdana yang diberikan oleh Al Mukarram KH. M. Ali Abdul Wahhab yang juga sebagai pengasuh pondok pesantren.

3. Penerus Beliau

3.1 Anak-anak Beliau

  1. Tuan Guru H. Wahab
  2. KH. Abdul Hakim, S. Ag

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

Kontribusi dalam bidang Dakwah Islamiyah Semenjak pulang dari Banua, sekitar tahun 1957, selain menerjunkan diri dalam kegiatan pendidikan keagamaan, KH. M. Ali Abdul Wahab juga memfokuskan kegiatan pada bidang dakwah.

Sebagaimana lazimnya, dakwah dilakukan sesuai dengan permintaan masyarakat, baik yang berdomisili di kota Kuala Tungkal dan sekitarnya maupun yang berasal dari daerah pedesaan (kampung). Biasanya kegiatan ini bertepatan dengan Penyelenggaraan Hari-Hari Besar Islam (PHBI), seperti perayaan Awal Tahun Baru Hijriyyah (1 Muharram) Maulid (12 Rabi‟ul Awal) dan Isra‟ Mi‟raj (27 Rajab) Nabi Muhammad.

Suatu ketika beliau pernah ditanya” mengapa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan sufi alias tarekat daripada ceramah-ceramah akbar”?. KH. M. Ali Abdul Wahab mengatakan bahwa beliau sudah melakukan dakwah di berbagai tempat dan dari kampung ke kampung sejak tahun 1957 hingga 1979 (lebih kurang 22 tahun), namun setiap kali selesai menyampaikan dakwah tidak ada yang berkesan dari ceramah tersebut. Seakan selesai ceramah selesai pulalah apa yang disampaikan, dan masyarakat kembali kepada kebiasaan mereka semula.

Setelah berpikir lama tentang bagaimana cara merubah perilaku masyarakat tersebut, KH. M. Ali Abdul Wahab menemukan jawaban bahwa apabila ingin merubah sikap dan perilaku seseorang mulai dari hatinya, ketuk dan sentuh hatinya. Pendekatan dakwah yang tepat adalah melalui ajaran tasawuf melalui metode zikir yang menjadi ikon pengamal tarekat.

Seperti ditulis dalam al-Mabâdȋ al-„Asyarah wa mâ Yalȋha fȋ al-Tharȋqah, tarekat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang bertujuan mengetahui seluk beluk nafsu syahwat, sifat-sifat yang tercela yang harus dihindari dan sifat-sifat yang terpuji untuk dikerjakan berdasarkan ketentuan syara‟ (hukum). Keberhasilan seseorang dalam menempuh dunia tarekat akan mengantarkannya pada kebersihan hati dari sifat a‟yân (kepalsuan seperti dunia, syaitan, hawa nafsu dan makhluk) dan menghiasi hati dengan zikir, murâqabah (kewaspadaan diri karena aktivitasnya selalu dalam monitoring Allah) mahabbah dan musyahâdah kepada Allah.

Keterlibatan KH. M. Ali Abdul Wahab dalam kegiatan tarekat berawal dari perkenalannya dengan seorang tokoh tarekat dari Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, yaitu KH. Muhammad Nawawi bin Siddiq. Informasi mengenai keberadaan tokoh tarekat ini diperoleh beliau dari salah seorang muridnya, yaitu ustadz Haris.

Untuk memastikan informasi tersebut, KH. M. Ali Abdul Wahab mengajak muridnya ustadz Tauhidullah untuk bersilaturrahmi ke Berjan, Purworejo menjumpai KH. Muhammad Nawawi. Setelah pertemuan tersebut, beliau mengutus ustadz Haris untuk mengundang Kiyai Nawawi berkunjung ke Kuala Tungkal karena tingginya minat para tokoh ulama dan masyarakat untuk mendapatkan talqȋn zikir dan baiat.

Kehadiran ustadz Haris di Berjan, Purworejo bertepatan dengan persiapan pelaksanaan haul sehingga ia harus mengikuti acara tersebut sampai selesai, sekaligus diminta untuk melakukan baiat sebagai pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Kemudian, seusai acara haul, ustadz Haris menyampaikan undangan KH. M. Ali Abdul Wahab untuk berkunjung ke Kuala Tungkal.

Namun, tampaknya, Kiyai Nawawi belum bisa mengabulkan permintaan tersebut dan berjanji akan datang pada bulan Ramadhan mendatang serta meminta ustadz Haris untuk kembali ke Kuala Tungkal terlebih dahulu. Sebagai tambahan bahwa bai‟at yang dilakukan seorang murid dengan gurunya merupakan tradisi kenabian (sunnah nabawiyyah), sementara melaksanakan amalan tarekat bagi orang yang sudah mengambil baiat hukumnya wajib, karena apabila ditinggalkan niscaya berdosa besar.

Baiat identik dengan janji atas dasar isyarat QS. al-Isra‟/17: 34 bahwa: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya”. Menurut hasil Muktamar Tarekat Mu‟tabarah di Tegalrejo Magelang bahwa “orang yang dibaiat dalam Tarekat Mu‟tabarah diwajibkan mengamalkannya” (Abdul Wahab, t.th.: 2-4).

Sesuai dengan janjinya, Kiyai Nawawi datang ke Kuala Tungkal pada bulan Syawal 1399 H/ 1979 M bersama Sya‟rani, menantunya. Tepatnya pada 23 Syawal 1399 H/ 16 Agustus 1979 M, pukul 24.00 Kamis malam Jum‟at KH. M. Ali Abdul Wahab bersama-sama KH. M. Syibli bin Syekh Ismail al-Banjari yang tidak lain adalah paman ayah sendiri dan ustadz Ahmad bin H. Bukhari dibaiat oleh Kiyai Nawawi sebagai pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Menyaksikan kepribadian KH. M. Ali Abdul Wahab yang bersahaja dan rendah hati, seusai melakukan baiat, Kiyai Nawawi memberi mandat kepada KH. M. Ali Abdul Wahab sebagai mursyid (guru pembimbing) demi menyebarluaskan tarekat ini di Kuala Tungkal dan sekitarnya. Mandat tersebut diterima beliau dengan segala kerendahan hati dengan menyebutnya sebagai mursyid dharûrȋ (guru pembimbing darurat).

Posisi mursyid yang diemban KH. M. Ali Abdul Wahab ini juga disetujui oleh kedua tokoh ulama yang ikut dibaiat di atas. Untuk memastikan bahwa jamaah yang sudah dibai‟at memahami tata cara pengamalan tarekat tersebut, Kiyai Nawawi dan menantunya menginap di rumah beliau selama lima hari. Selanjutnya, demi kelancaran dakwah dan pengamalan tarekat tersebut, KH. M. Ali Abdul Wahab bersama-sama murid dan tokoh masyarakat membentuk majelis pengajian yang diberi nama Majelis Taklim al-Hidayah.

4.1 Karya-karya Beliau
KH. M. Ali Abdul Wahab juga menulis sejumlah karya, yang sebagian besar masih dipublikasikan dalam jumlah yang terbatas dan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip). Di antara karya-karya tersebut adalah:
1). Al-„Umdah fi „Adam Jawâz al-Ta‟khȋr al-Ihrâm ilâ al-Jiddah (Hukum Menunda Niat Ihram hingga di Jeddah)
2). Fath al-Mubȋn fȋ Fidyat al-Shalât wa al-Shawum wa al-Yamȋn (Tata cara membayar fidyah shalat, puasa dan sumpah)
3). Al-Mabâdȋ al-„Asyarah wa mâ Yalȋhâ fȋ al-Tharȋqah (Informasi tentang tarekat dan permasalahannya)
4. Tajhȋz al-Mayyit (Penyelenggaraan Jenazah)
5). Da‟wat al-Haq (Ajakan kepada Kebenaran)
6). Izhhâr al-Haq (Cara Zikir yang benar)
7).Jilâ‟ al-Qulûb (Keutamaan Zikir, Landasan dan Esensinya)
8). Tashawwuf bi Ma‟nâ al-„Amal Huwa al-Tharȋqah (Tasawwuf dalam Pengertian Praktik adalah Tarekat)
9). Al-Fatâwâ al-Tunkaliyyah (Koleksi Fatwa Kuala Tungkal yang menyangkut persoalan tauhid, fiqh dan tasawuf)
10). Al-Nafahât al-Rahmaniyyah fȋ al-Washâyâ al-Dȋniyyah li Dzawȋ al-Qurbâ wa al-Mahramiyyah (Anugerah Kasih Sayang dalam Pesan Keagamaan untuk Kaum Kerabat dan Mahram)

4.2 Karier Beliau

Karier Profesional

  1. Menjadi tenaga Hakim Honor di Mahkamah Syar‟iyyah Kuala Tungkal dalam kurun waktu 1967-1985
  2. Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tanjung Jabung
  3. Pada tahun 1979, KH. M. Ali Abdul Wahab dibaiat menjadi Mursyid Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah (TQN) serta mendirikan dan mengasuh Majelis Taklim al- Hidayah (MTH) Kuala Tungkal.
  4. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Baqiyyatush-Shalihat (Abshah) pada tahun 1994

5. Referensi

https://www.laduni.id/post/read/517789/biografi-kh-m-ali-abdul-wahab-mursyid-tarekat-qadiriyyah-wa-naqsyabandiyyah-jambi.html