Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
2.2 Guru Beliau
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Pejuang Melawan Penjajah
4. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Modjo lahir pada tahun 1792 M. (ada pula yang menyebut 1782) di Desa Mojo, Pajang, dekat Delanggu, Surakarta, dengan nama Bagus Halifah. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Iman Abdul Ngarif, adalah seorang ulama terkenal yang dianugerahi tanah Perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang dengan Raden Ayu Mursilah, adalah adik perempuan Sultan Hamengku Buwono III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro.
KH. Modjo kemudian mewarisi kedua Desa Perdikan tersebut dari ayahnya, termasuk pesantren, sehingga kemudian dikenal dengan nama salah satu desa ini.
1.2 Riyawat Keluarga
KH. Modjo menikah dengan Raden Ayu Mangkubumi, Mantan istri dari Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro.
1.3 Wafat
KH. Modjo wafat pada 20 Desember 1849 M. dalam usia 57 tahun.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Kyai Modjo tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga besar pesantren dan komunitas santri yang sangat disegani di Kraton Surakarta maupun Yogyakarta. Banyak putra-putri bangsawan Solo yang nyantri di pesantren milik ayahnya.
2.2 Guru Beliau
KH. Iman Abdul Ngarif (ayah)
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Pejuang Melawan Penjajah
Ketika Perang Jawa berkecamuk, KH. Modjo mendukung sepenuhnya, termasuk memobilisasi para sanak keluarga dan sebagian besar pengikutnya di Pajang. Kontribusi KH. Modjo dalam peperangan sangatlah besar. Seorang mata-mata berkulit Jawa dikirim khusus oleh Belanda untuk mengetahui rahasia kesuksesan pasukan Diponegoro dalam beberpa pertempuran.
Temuan mata-mata Kompeni yang menyusup ke dalam pasukan Diponegoro itu sangatlah mengejutkan: rahasia kekuatan Diponegoro ada pada diri seorang kyai pesantren bernama KH. Modjo, pemikir stategis dan jenderal perang gerilya Diponegoro, yang selevel Napoleon, Mao Tse Tung dan Che Guevara.
Selama hidupnya KH. Modjo dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, KH. Modjo punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke Bali.
Beliau pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali, meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah terbangun sejak abad 18. Dibuktikan dari adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan santri yang lari ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Bali.
Saking gerahnya pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat itu, KH. Modjo sempat ditangkap pada Juli 1812 M. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk kraton. Mobilitas KH. Modjo dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki Diponegoro, kemudian menjadi obyek penjinakan Belanda untuk mematahkan perlawanan orang-orang Jawa.
Berkat kelicikan Belanda, pada tahun 12 November 1828 M. KH. Modjo ditangkap di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta. Ini menandai titik balik perjuangan Diponegoro, sampai akhirnya redup pada 1830 M. Pasukan KH. Modjo lalu digiring ke Klaten, sambil menyanyikan bersama-sama lagu-lagu keagamaan yang menunjukkan tanda kemenangan. Mereka lalu dibawa ke Batavia, ditahan hingga setahun lamanya.
Di awal 1830 M, KH. Modjo bersama lebih dari 60 orang pendampingnya dibuang ke Minahasa. Istri beliau menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu punya posisi strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan dalam pasukan Diponegoro, dari gelar tumenggung, dipati, basah hingga kyai. Mereka tiba di Tondano dan mendirikan Kampung Jawa, yang hingga kini masih bertahan dengan tradisi Ahlussunnah wal-Jma’ahnya.
Pandangan nasionalismenya, “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam), adalah salah satu warisan penting KH. Modjo selaku ideolog Perang Diponegoro kepada generasi berikut bangsa ini.
Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang tersimpan pada keluarga KH. Modjo di Jakarta. Manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon ini ditulis oleh KH. Maja sendiri selama pembuangannya di Tondano, Minahasa, sekitar awal tahun 1833.
4. Referensi
NU Online
Artikel ini sebelumnya dibuatt pada tanggal 08 Februari 2021, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 20 Desember 2023.
https://www.laduni.id/post/read/70880/biografi-kh-modjo-surakarta.html