Daftar Isi Profil KH. Mufid Mas’ud
Kelahiran
KH. Mufid Mas’ud lahir pada tahun 1928, atau bertepatan dengan hari Ahad Legi 25 Ramadhan, di Solo, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahanda beliau bernama KH. Ali Mas’ud yang kini makamnya berada di kompleks makam Golo Paseban Bayat, Klaten.
Wafat
Pada tanggal 19 Maret 2007 seolah menjadi hari-hari terakhir Kiai Mufid. Saat itu, seusai pulang dari Jawa Tengah, Kiai Mufid merasakan sakit pada tulang bagian belakang dan setelah itu, sebagian besar waktunya beliau gunakan untuk beristirahat. Hingga keesesokan harinya, keadaan seperti itu masih beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, KH. Mu’tashim Billah untuk membawanya ke Rumah Sakit Harapan Insani (RS. HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik Kiai Mufid.
Disana, di RS. HI, Kiai Mufid mendapat perawata khusus dengan penjagaan dan pemantauan selama 24 jam non stop dari direktur RS HI, dr. Cempaka Tursina, seorang dokter ahli saraf. Menurut dr. Cempaka, Kiai Mufid, saat itu hanya mengalami ‘sakit tulang belakang’ yang dalam istilah kedokteran disebut ‘terdapat serabut kecil syaraf di tulang belakang yang terjepit akibat proses pengapuran”.
Gejala ini sangat masuk akal jika dialami oleh Kiai Mufid yang sangat sering kelelahan. Sehingga, pada 29 maret beliau dibawa ke Panti Rapih untuk melakukan foto rontgen syaraf, karena saat itu, Panti Rapihlah yang menjadi salah satu dari dua rumah sakit di Yogyakarta yang memiliki alat foto syaraf. Namun, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk.
Dan pada hari Jum’at, 30 Maret beliau merasakan sedikit sakit pada bagian perut. Atas saran dari RS. HI, baliau harus dibawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lebih lengkap, yaitu: Jogja International Hospital (JIH). Di JIH, beliau juga mendapatkan satu hal yang sama dengan yang di RS. HI: perhatian khusus.
Malah, direktur neurologi JIH, Prof. dr. H. Rusdi Lamsudin, telah meminta seluruh dokter spesialis kenalannya untuk ikut membantu pengobatan kyai Mufid. Alhamdulillah, selama di JIH, kesehatan kyai Mufid semakin membaik. Namun, sepertinya takdir berkata lain. Walaupun secara medis keadaan beliau dinilai baik, namun mungkin saat itulah saatnya beliau tutup usia.
Akhirnya, hari itu, selasa kliwon 2 April 2007 (17 rabiul awal 1428), dengan dituntun membaca kalimat tayyibah oleh KH. Mu’tashim Billah dan beberapa anggota keluarganya, beliau menghembuskan nafas terakhir. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”. Hari itu seolah menjadi hari paling bersejarah bagi umat Islam Yogyakarta umumnya dan keluarga Pondok Pesantren Sunan Pandanaran khususnya. Hari itu, sang pendiri, KH. Mufid Mas’ud kembali ke hadapan Allah SWT, tuhan semesata alam.
Keluarga
Pada tahun 1950, KH. Mufid melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Jauharoh, putri KH. M. Munawwir (pengasuh Pesantren Krapyak). Sejak saat itu, KH. Mufid termasuk salah satu pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Pendidikan
KH. Mufid Mas’ud memulai pendidikan dasarnya dengan belajar di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh Paku Buwono X dan ketika KH. Mufid menempah pendidikan di sana, madrasah tersebut diasuh oleh KH. Sofwan. KH. Mufid mengenyam pendidikan dasar di Manbaul ‘Ulum selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942.
Kemudian, pada tahun 1942 pula, beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun itu bertepatan dengan tujuh bulan setelah kedatangan tentara kolonial Jepang di Indonesia. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1945, beliau melanjutkan hafalan al-Qur’an kepada KH. Muntaha di Wonosobo. Langkah ini beliau tempuh atas anjuran gurunya di Klaten, KH. Sofwan.
Setelah menikahi putri dari KH. M Munawwir, beliau masih tetap mengaji al-Qur’an kepada KH. Abdul Qadir dan KH. Abdullah Affandi.
Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH. Ali Maksum. Keuletan KH. Mufid saat mendalami ilmu agama tidak pernah disangsikan oleh orang-orang terdekatnya. Adik beliau, Hj. Qomariyah Abdul Chanan misalnya, menyatakan bahwa kakak kandungnya itu sangat rajin menuntut ilmu.
Menurutnya, sampai-sampai beliau pernah dikabarkan hilang saat terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Tetapi akhirnya dapat kembali bertemu dengan keluarga. Agaknya, rajin belajar saja bagi KH. Mufid tidaklah cukup. Ada hal lain yang menurutnya harus dijalankan oleh seorang pencari ilmu agar mendapatkan ilmu yang berkah, yaitu shuhbatu ustazin atau taat dan bersahabat karib dengan guru.
Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila seorang murid melakukan enam perkara. Salah satunya shuhbatu ustazin. KH. Mufid, dalam banyak kesempatan menekankan pentingnya shuhbatu ustazin itu. Beliau mengaku sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam. Bahkan, mengakui pula telah terpengaruh oleh mereka.
Di antaranya adalah KH. Abdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH. Muntaha (Wanosobo), KH. Ali Maksum (Yogyakarta), Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al Maliky Al-Makky (Makkah).
Mendirikan Pesantren Pandanaran
Dengan modal Al-Qur’an, pengetahuan keislaman, dan jalinan silaturahmi yang erat dengan tokoh-tokoh Islam itu, KH. Mufid berketetapan hati mendirikan pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pondok Pesantren Sunan Pandananaran (PPSPA). Mula-mula, pesantren ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi, dengan satu rumah dan mushalla di atasnya. Secara resmi PPSPA berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M.
Peresmiannya dilakukan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, dengan disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Terdapat harapan besar dari masyarakat yang dipikulkan di pundak KH. Mufid. Pasalnya, PPSPA dinilai akan mampu menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitar, baik itu perubahan moral ataupun pemantapan akidah.
Masyarakat di kawasan candi ketika itu masih belum banyak yang taat beragama, meskipun secara formal mereka memeluk Islam. Nah, salah satu tugas berat KH Mufid adalah mendidik masyarakat agar semakin taat beragama. Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, keberadaan PPSPA diharapkan mengubah tatanan masyarakat.
Dari masyarakat yang kurang memegang nilai-nilai moral, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan. Bu Sri, sorang penduduk asli Candi mengatakan, “Dulu di sini sepi, tidak hanya maling yang banyak, makhluk halus juga banyak”. Suasana di malam hari terasa mencekam, karena sangat sepi dan minim penerangan.
Keadaan semacam ini yang mendorong para pencuri untuk segera beraksi. Berdirinya PPSPA, berlahan tapi pasti dapat mengubah keadaan itu menjadi lebih baik. Masyarakat sekitar tidak hanya menjadi baik agama dan moralitasnya, tetapi juga meningkat kualitas ekonominya. Karena, dengan semakin banyaknya santri di PPSPA, masyarakat sekitar ikut menikmati kegiatan ekonomi dengan mendirikan warung makan, toko kelontong, dan lain sebagainya.
Teladan
Sebagai seorang ulama, tentunya banyak perbuatan dan perkataan Kiai Mufid yang pantas ditiru dan dijadikan pegangan hidup bagi siapa saja yang ingin menjadikan hidupnya mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Diantara sekian banyak jejak, ajaran, dan petuah Kiai Mufid, pada tulisan kali ini hanya penulis cantumkan beberapa saja.
Al-Qur’an dan Salawat
Sudah bukan asing lagi, bila Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) itu tempatnya orang yang ingin menghafalkan Al-Qur’an. Dan sebagai pelengkapnya, Kiai Mufid menyarankan para anak didiknya untuk membaca salawat dala’ilul khoirot minimal seminggu sekali. Istilahnya beliau, ”Al-Qur’an di tangan kanan dan salawat di tangan kiri”.
Jangan Suka Meminta
Sebagai seorang kiai pesantren, beliau memiliki satu prinsip-dan ini juga yang selalu beliau ajarkan kepada para santrinya, “Jangan suka meminta bantuan, termasuk kepada Negara”. Namun, jika ada pihak yang memberikan bantuan, silahkan saja diterima. Itupun asalkan niatnya benar-benar ikhlas dan tanpa ‘embel-embel’ apa-apa.
Dekat dengan Santri
Walalupun sebagai seorang guru bagi santri-santrinya, namun beliau tak mau dipanggil “kyai”. Beliau lebih suka dipanggil “bapak”. Ini menunjukkan bahwasanya beliau bukan sekedar menjadi seorang guru yang pantas digugu dan ditiru, namun beliau berusaha menjadi ayah (orangtua) kedua bagi para santrinya.
Pandangan tehadap Ilmu Manfaat
Pernah suatu ketika seorang santri meminta didoakan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Apa kata beliau? “ilmu iku iso manfaat terserah awake dewe-dewe” (ilmu itu bisa bermanfaat terserah pribadi (yang bersangkutan) sendiri-sendiri). Disini, beliau secara jelas mengajarkan: jika ingin memiliki ilmu manfaat, maka seorang santri harus ‘mau’ melakukan sesuatu yang bisa membuat ilmunya manfaat, antara lain: tirakat, hormat kepada guru, dan lain-lain. Referensi Majalah Pandanaran (majalah Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta) berbagai edisi. Tulisan ini sudah saya “tashih” kan kepada KH. Mu’tashim Billah (salah satu putra beliau) pada awal tahun 2013 lalu.
Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Mufid Mas’ud dapat dilihat DI SINI, dan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.
Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 01 April 2021, dan terakhir diedit tanggal 31 Agustus 2022.
https://www.laduni.id/post/read/66447/biografi-kh-mufid-masud.html