Biografi KH. R. Abdul Qodir Munawwir

Daftar Isi Biografi KH. R. Abdul Qodir Munawwir

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Mengasuh Pesantren
  5. Metode Pengajaran
  6. Murid-Murid
  7. Teman-Teman
  8. Teladan
  9. Chart Silsilah Sanad

Kelahiran

KH. R. Abdul Qodir Munawwir atau yang kerap disapa dengan panggilan Romo Kiyai Qodir lahir pada Sabtu Legi 11 Dzulqo’dah 1338 H bertepatan dengan 24 Juli 1919 M. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad (Muassis Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta) dengan Nyai. R. Ayu Mursyidah, yang berasal dari keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Wafat

Setelah selama kurang lebih 20 tahun KH. R. Abdul Qodir Munawwir mengemban amanah dan perjuangan ayahandanya, khususnya dalam mengajar Al-Qur’an dan mencetak kader-kader huffadz (para penghafal Al-Qur’an) yang handal, akhirnya beliau berpulang ke hadirat Allah SWT pada malam Jum’at Kliwon, pukul 18.30, 17 Sya’ban 1381 H / 2 Februari 1961 M., di RS Panti Rapih, dalam usia relatif muda (42 tahun). Saat itu beliau ditemani istri dan wafat di sisinya.

Keluarga

Pada usia 25 tahun, KH. R. Abdul Qodir Munawwir menikah dengan Nyai Hj. Salimah Nawawi, Jejeran. Beliau diakadkan oleh Almaghfurlah KH. Muhammad Manshur, Popongan, yang merupakan Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyyah.

Buah dari pernikahannya tersebut, beliau dikaruniai 8 anak putra-putri:

  1. Fatimah (wafat waktu kecil)
  2. Nur Jihan (wafat waktu masih kecil)
  3. Widodo (wafat waktu kecil)
  4. Ny. Hj. Umi Salamah menikah dengan KH. Masyhuri Ali Umar
  5. KH. Muhammad Najib menikah dengan Ny. Hj. Musta’anah Salman
  6. Ny. Hj. Munawwaroh menikah dengan  KH. Nur Hadi Abd. Rahman
  7. H. Abdul Hamid menikah dengan  Ny. Hj. Luluk Maftuhah Afdah
  8. H. Abdul Hafidz menikah dengan  Ny. Nur Laylia Husniawati

Mengasuh Pesantren

Setelah KH. M. Munawwir wafat (1942 M), Romo Kiyai Qodir meneruskan estafet tanggung jawab ayahandanya untuk mengasuh pesantren bersama sang kakak (KH. R. Abdullah Afandi Munawwir) dan adik iparnya (KH. Ali Maksum) dalam usia yang relatif muda, yakni 18 tahun.

Meskipun usia beliau masih relatif muda namun apa yang telah beliau dapatkan dari guru-gurunya waktu itu sudah cukup sebagai bekal untuk meneruskan amanah dalam mengasuh pesantren, khususnya dalam hal pengajian Al-Qur’an. Di antara guru-gurunya yang sangat berpengaruh pada kepribadian dirinya adalah sang ayah sendiri, KH. M. Munawwir, dan KH. Dalhar Watucongol.

Dalam suatu kesempatan, pernah dikisahkan satu kenangan menarik oleh KH. Umar Abdurrahman (Bantul) ketika mendampingi KH. R Abdul Abdul Qodir silaturrahim ke kediaman KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saat itu, menurut penuturan Kiyai Umar, Kiyai Hamid sempat mengatakan bahwa Kiyai Abdul Qodir adalah sosok seorang putra yang sangat mengerti dan memahami keberadaan orang tuanya. Maksudnya adalah seorang yang mampu menyerap ilmu dari orang tuanya, mengabulkan apa yang menjadi harapan orang tuanya, dan mampu menggantikan serta meneruskan perjuangan orang tuanya. Dan satu lagi; mampu meneladani sifat-sifat serta kepribadian mulia dari orang tuanya.

Metode Pengajaran

Dalam periode KH. R. Abdul Qodir Munawwir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan dengan menggunakan metode seperti yang ada pada zaman KH. M. Munawwir. Santri yang ingin mengikuti pengajian “Tahaffudz Al-Qur’an” (bil hifdzi/bil ghoib) disyaratkan terlebih dahulu membacanya di hadapan Kiyai dengan melihat mushaf (bin nadhri) dengan baik dan benar.

Untuk mencapai puncak keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’an dengan adanya pengakuan dari Romo Kiyai Qodir, tidaklah suatu hal yang mudah. Dalam hal ini beliau menerapkan standar yang cukup ideal. Santri yang disahkan dan beliau izinkan mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi sebagai imam tunggal dalam shalat Tarawih yang dilaksanakan selama 20 malam pada Bulan Ramadhan. Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk mencetak penghafal Al-Qur’an yang tangguh.

Untuk mengetahui sejauh mana kelancaran hafalan santri, beliau biasa melakukan ujian mendadak. Di waktu dan hari yang tidak terduga, para santri diharuskan selalu siap menghadapnya, yang terkadang tidak mengajar mengaji seperti biasanya, yakni para santri menyetorkan hapalannya. Tetapi, setelah tawassul Fatihah yang ditujukan kepada para guru dan para ahli silsilah sanad Al-Qur’an, beliau langsung membaca sebagian ayat atau satu ayat dari Al-Qur’an kemudian menunjuk salah satu santri untuk melanjutkannya. Hal ini beliau lakukan secara acak.

Kiyai Qodir juga menerapkan program semacam ujian semester yang dilaksanakan pada Bulan Rabiul Awal dan Sya’ban menurut masing-masing juz yang sudah didapat dan disetorkan oleh para santri. Waktu itu, secara keseluruhan jumlah santri berkisar 70-80 orang yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 santri. Kalau beberapa juz yang sudah didapat ternyata tidak semuanya lancar, maka beliau memerintahkan untuk menyetorkan kembali beberapa juz yang belum lancar tersebut dan tidak diperkenankan menambahnya lagi.

Metode seperti ini dilandasi oleh filosofi “layang-layang” yang beliau terapkan. Seseorang yang hapalan Al-Qur’annya sempurna dan lancar diibaratkan sebagai layang-layang yang mampu terbang tinggi karena mendapat angin yang cukup. Jika benangnya diulur lagi, ia juga akan bertambah tinggi. Sebaliknya, jika yang tidak sempurna dan tidak lancar hapalannya ibarat layang-layang yang kurang angin, sehingga walaupun benangnya diulur, ia tetap tidak akan mampu mencapai ketinggian yang diharapkan. Artinya, jika hapalan sekian juz sudah mantap dan lancar, tidak masalah jika akan menambah hapalan lagi. Namun bila hapalan masih kacau, tidak akan sempurna jika ditambah-tambah terus.

Murid-Murid

  1. KH. Ahmad Munawwir (adik kandung) Krapyak
  2. KH. Mufid Mas’ud (adik ipar) Sleman
  3. KH. Nawawi Abdul Aziz (adik ipar) Ngrukem
  4. K. Muhdi Tempel, Sleman
  5. KH. Jawahir, Sewon
  6. KH. Ali Harun, Sewon
  7. KH. Umar Abdurrahman, Bantul
  8. KH. Bilal, Kulonprogo
  9. KH. Hasyim Syafi’i, Jejeran
  10. KH. Munawir Abdul Fatah, Krapyak
  11. Ny. Hj. Walidah Munawwir, Ngrukem
  12. KH. Shohib, Demak
  13. KH Shodiq, Purworejo
  14. KH. Ahmad Djablawi, Klaten
  15. KH. A. Mustofa Bisri, Rembang
  16. KH. Ahmad Husnan, Pekalongan
  17. KH. Abdullah, Demak
  18. KH. Munawwir, Kebumen
  19. KH. Ardani, Mangkuyudan
  20. KH. Ibnu Hajar, Wonosobo
  21. Ny. Hj. Shofiyah Syafi’i, Purworejo
  22. K. Munawwir, Klaten
  23. KH. Sofyan, Nganjuk
  24. KH. Syafi’i Abbas, Banyuwangi
  25. KH. Masduki Abdurrahman, Jombang
  26. KH. Abdul Mannan, Malang
  27. KH. Dahlan Basuni, Surabaya
  28. KH. Ridhwan Abdul Rozaq, Kediri
  29. KH. Abdullah Faqih, Malang
  30. KH. Ali Shodiq, Tulungagung
  31. KH. Umar, Pare
  32. KH. Musta’in ,Malang
  33. KH. Yusuf Hasyim, Nganjuk
  34. KH. Muhtarom Sya’roni, Blitar
  35. KH. Ahyad, Blitar
  36. KH. Maftuh Afandi, Ngawi
  37. KH. Khoiruddin, Pare
  38. KH. ‘Ashim Ma’lum, Tulungagung
  39. KH. Misbah Ahmad, Sidoarjo
  40. KH. Misbah Zainuri, Kediri
  41. KH. Murod, Sampang
  42. KH. Sulthon, Jombang
  43. NY. Hj. Zuhriyyah Mundzir, Kediri
  44. Ny. Hj. Aminah, Blitar
  45. KH. Masduki Mahfudz, Malang
  46. KH. Thoyyib Ghozali, Surabaya
  47. KH. Manshur, Sampang
  48. KH. Rosyad Thoyyib, Sampang
  49. KH. Suhaib Syukur, Pasuruan
  50. KH. M. Umaerah Baqir, Bekasi
  51. KH. Amin Siraj, Cirebon
  52. KH. Syarif Husein, Tasikmalaya

Teman-Teman

  1. KH. Arwani Amin PP. Yambu’ul Qur’an, Kudus
  2. KH. Umar Abdul Mannan PP. Al-Muayyad Mangkuyudan, Solo
  3. KH. Umar Harun PP. Kempek, Cirebon
  4. KH. Maksum PP. Gedongan, Cirebon
  5. KH. Murtadlo PP. Buntet, Cirebon
  6. KH. Badawi PP. Kaliwungu, Kendal
  7. KH. Abdul Hamid Hasbulloh (adik KH. Wahab Hasbulloh) PP. Bahrul ‘Ulum “Tambak Beras” Jombang
  8. KH. Ahyad PP. Mahyajatul Qurro’, Kunir, Blitar
  9. KH. Suhaimi PP. Benda, Bumiayu
  10. KH. Zuhdi dan KH. Nor Munawwir, Kertosono

Teladan

KH. R. Abdul Qodir Munawwir merupakan sosok yang memiliki disiplin dan keistiqomahan yang tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas yang beliau lakukan setiap hari. Di mulai dari jam tiga dini hari, beliau bangun, kemudian membangunkan salah satu santri (Kiyai Umar) yang waktu itu ikut ndalem untuk diajak shalat Tahajjud. Setelah menunaikan shalat Tahajjud, beliau membaca Al-Qur’an hingga menjelang Subuh, dilanjutkan dengan membangunkan para santri untuk menunaikan shalat Subuh berjama’ah.

Dalam membangunkan para santri, beliau selalu didampingi oleh Kiyai Umar dan Kiyai Hasyim Syafi’i (Jejeran). Kiyai Umar bertugas membawa lampu petromak sedangkan Kiyai Hasyim bertugas membawakan ember berisi air untuk menyiram santri yang masih tidur.

Setelah selesai dzikir pagi, beliau mengajar Al-Qur’an kepada para santri secara bil ghaib. Sekitar jam tujuh pagi, pengajian selesai. Kemudian beliau bersantai sejenak, lalu melanjutkan mengajar Al-Qur’an kepada para santri putri yang datang dari komplek utara (Nurussalam). Sehabis Dzuhur, sekitar jam setengah dua siang, beliau melanjutkan kembali mengajar Al-Qur’an di masjid.

Kali ini yang mengaji bersifat umum, ada yang menghafal (bil ghaib) dan ada yang tidak (bin nadhri), tidak hanya para santri tetapi juga masyarakat umum. Saai itu beliau didampingi dua asisten, yakni Kiyai Ahmad Munawwir dan Kiyai Zainuddin. Keduanya adalah adik beliau, satu ayah lain ibu.

Pengajian selesai sekitar jam setengah lima sore. Kemudian para santri menyiapkan diri untuk mengaji kitab di Madrasah Diniyyah. Sehabis Maghrib diterapkan program takror (mengulang hafalan) kepada para santri dengan model berpasangan, itupun tak terlepas dari pengawasan beliau. Setiap jam sembilan malam, Kiyai Qodir juga menyempatkan diri mengajarkan Qiro’ah Sab’iyyah, yakni ilmu tentang bacaan Al-Qur’an dan tata caranya menurut tujuh imam ahli qiro’ah, kepada beberapa santri tertentu.

Khusus pada bulan Ramadhan, pada setiap ba’da Dzuhur sekitar jam setengah dua dan setelah shalat Tarawih selama dua puluh hari beliau membaca Al-Qur’an secara tartil dan estafet bersama para santri sambil disimak oleh para santri lain secara keseluruhan sebanyak satu setengah juz dengan dua pembagian waktu; yakni siang hari tiga perempat juz dan malam hari juga tiga perempat juz. Di sela-sela membaca Al-Qur’an beliau menyempatkan memberikan penjelasan kepada para santri perihal bacaan-bacaan yang terkandung dalam Qiro’ah Sab’iyyah.

Dalam bepergian, di sela-sela waktu dan tempat yang tidak terduga, Kiyai Qodir sangat biasa mengkhatamkan Al-Qur’an. Pernah suatu hari, beliau didampingi Kiyai Hasyim Syafi’i bepergian untuk berziarah di sekitar Bantul. Berangkat mulai ba’da Ashar, dimulai dari makam Dongkelan kemudian meluncur ke makam Sewu. Lalu beristirahat di kediaman kenalannya di Giriloyo pada sekitar jam sepuluh malam. Pagi harinya beliau melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di Gesikan, persis di musholla agak kecil, beliau mengajak berhenti untuk membaca Dzikir Tahlil dan doa Khotmil Qur’an. Baru setelah itu, beliau kembali ke Krapyak.

“Syim, bagi siapa saja yang hafalan Al-Qur’annya sudah lancar, dalam menjaga hafalannya (nderes) bisa dilakukan di manapun dia berada dan tidak harus sambil membaca dan duduk saja. Tetapi bisa dilakukan sesuai dengan keadaan, semisal sambil berjalan, rebahan, naik kendaraan, dan lain sebagainya,” pesan Kiyai Qodir kepada Kyai Hasyim sebelum meneruskan perjalanan menuju Krapyak.

Semasa hidup, di samping sehari-hari mengasuh pesantren, Romo Kiyai Qodir juga mengisi pengajian di pelosok-pelosok kampung di Yogyakarta, termasuk “sima’an” rutin Ahad Pahing setiap bulan yang dilaksanakan secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Bantul. Beliau juga aktif di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, menjadi Penasehat Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Pusat, serta menjadi Anggota Majlis Pentashih Al-Qur’an.

Saking sibuknya mengabdikan diri untuk para santri dan masyarakat, sampai-sampai beliau tidak memedulikan kesenangan duniawi secara mendalam. Apapun benda dan berapapun banyaknya harta, beliau tidak pernah menghitungnya. Namun setiap kebutuhan hidup keluarga beliau senantiasa tercukupi, bahkan istri beliau, Ny. Salimah Nawawi, selalu diperintahkan untuk mengambil sendiri berapapun banyaknya yang dibutuhkan tanpa harus sepengetahuan beliau.

Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. R. Abdul Qadir Munawwir dapat dilihat di sinidan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat di sini.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 01 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 24 Juli 2023.

https://www.laduni.id/post/read/67005/biografi-kh-r-abdul-qodir-munawwir.html