Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
2.2 Guru-Guru
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Hijrah ke Desa Beujeng
3.2 Mendirikan Madrasah Pertama di Beujeng
3.3 Mendirikan Pesantren
3.4 Penggagas Majelis Keluarga Sidogiri
4. Teladan
4.1 Sufi yang Pendian dan Tawaduk
5. Pesan-Pesan
6. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Siradjul Millah-Waddin lahir di Gondang Winongan Pasuruan sekitar tahun 1346 H atau tahun 1925 M. Beliau putra pertama dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan dengan Nyai Asyfi’ah (Nyai Gondang).
Saudara seayah-seibu beliau adalah
- KA. Sa’doellah
- Kyai Hasani.
Beliau juga punya adik perempuan yang wafat sekitar usia 14 tahun.
Semasa kecil beliau diasuh oleh bibinya yang bernama Nyai Maryam, kakak dari Nyai Asyfi’ah. Menjelang remaja, tepatnya setelah dikhitan, beliau pindah ke Sidogiri beserta ibu dan saudara-saudaranya, tak ketinggalan juga Nyai Maryam, selaku pengasuhnya.
1.2 Riwayat Keluarga
Kyai Siradj menikah sekitar tahun 1955-1956 M dengan Nyai Hj. Futiyah binti Sya’roni bin Abdaru bin Ahmad Sayidina bin Abdullah, yang masih keturunan Sunan Drajat. seorang gadis dari desa Beujeng, Beji Pasuruan.
Nasab Kyai Siradj dan Nyai Futiyah bertemu pada nenek moyang yang ada di Batuampar Timur Madura. Saat pernikahan itu, Kyai Siradj berusia sekitar 35 tahun, sedangkan istrinya kira-kira 13 tahun.
Ada kisah menarik sebelum pernikahan ini. Ketika itu, laskar Hizbullah bermarkas di Beujeng. Kebetulan saat itu putri KH. Sya’roni (calon istri Kyai Siradj) sakit parah. Lalu ada yang memberitahu kepada Kyai Sya’roni, bahwa salah seorang putra KH. Nawawie Sidogiri yang bernama KA. Sa’doellah menjadi pimpinan Hizbullah.
Kemudian beliau diberi saran untuk minta berkah kepada putra Kyai Nawawie tersebut. Kyai Sya’roni menyetujui saran itu. Maka dengan izin Allah SWT, putrinya sembuh. Setelah itu Kyai Sa’doellah menyuruh orang untuk menanyakan kepada Kyai Sya’roni, “Apakah putrinya sudah ada yang punya? Kalau belum, maka akan saya jadikan kakak ipar saya.” Setelah dijawab, “Tidak ada yang punya”, maka Kyai Sa’doellah menjodohkannya dengan kakaknya, Kyai Siradj.
Karena perkawinan itu berlangsung pada masa penjajahan, maka setelah menikah dengan putri Kyai Sya’roni Beujeng, Kyai Siradj tidak langsung menetap di sana, tapi masih pulang-pergi Beujeng-Sidogiri. Namun akhirnya beliau menetap di sana. Di Beujeng, beliau adalah seorang Kyai yang kehidupannya sangat bersahaja.
Pernah beliau menjual baju bekas, berdagang jamu bersama Pak Surin (Beujeng) dan Mas Ad (salah seorang saudara Istrinya) dan minyak wangi untuk kebutuhan kehidupannya (ma’isyah) ketika pertama kali berkeluarga. Rumah asli beliau sangat kecil. Walau demikian beliau sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Bila sakit, beliau tidak pernah mengeluh, kecuali betul-betul parah.
Putra-putri beliau berjumlah lima orang, yang perempuan tiga dan yang laki-laki dua. Semuanya dilahirkan di Beujeng. Urutannya:
- Nyai Khoiriyah,
- Gus Abdullah Syaukat (beristri Nyai Nafisah binti Dahlan),
- Gus Thonthowi Jauhari,
- Nyai Maslihah (istri Mas Fuad bin Noerhasan bin Nawawie),
- Nyai Shofiyah Mashfiyah (istri Ust. Saifullah Muhyiddin, Ketua IV PP. Sidogiri).
Dan dari lima orang itu meninggal Dunia saat masih kanak-kanak, yaitu Nyai Khoiriyah dan Mas Thonthowi Jauhari.
Putra-putri Kyai Siradj itu sejak kecil dididik sendiri oleh beliau, tidak dimondokkan. Beliau memberi pengetahuan agama setiap hari pada putra-putrinya, dan pengajian Al-Qur’an, kitab-kitab Fiqih, sampai Kitab-kitab ilmu alat seperti Nahwu, Sharraf, dan I’lal. Namun yang lebih beliau prioritaskan adalah pengajian Al-Qur’an.
Alasan beliau tidak memondokkan putra-putrinya ialah karena beliau khawatir putra-putrinya tidak bisa menghormati gurunya. Suatu saat Kyai Sa’doellah akan memondokkan Mas Abdullah Syaukat, karena akan diambil menantu olehnya. Namun Kyai Siradj menolak, “Jarno wis tak wuruk dewe, wedi gak iso ngormat nang gurune (Biar sudah saya didik sendiri, takut tidak bisa menghormati gurunya)”.
Memang ada putri Kyai Siradj yang dimondokkan, yakni Nyai Shofiyah, namun itu untuk tabarrukan saja karena akan menikah.
Dalam mengatur kehidupan rumah tangga, beliau sangat memperhatikan putra-putrinya, tidak ada di antara mereka yang merasa tersisihkan. Bahkan mereka semua merasa bahwa dirinyalah yang paling disayang oleh abahnya.
Kendati demikian, beliau akan sangat marah bila mengetahui putra-putrinya ada yang belum melaksanakan Shalat. Beliau tak akan segan-segan memukulnya sesuai dengan tuntunan agama. Beliau juga selalu mengontrol perilaku dan perbuatan putra-putrinya sampai dengan urusan tidur. Bahkan beliau tidak akan tidur jika putranya masih belum tidur.
Tidak hanya itu, sebagai seorang suami beliau sangat berhati-hati dalam menjaga kewajiban seorang suami, dan tidak suka membebani istrinya, sampai-sampai beliau pernah dawuh, “Akade lak qobiltu nikahaha, ojok ngeriwuk wong wedok, kewajibane mek gek gerden. Ojok dikongkon ngeliwet, dikongkon iki…” Maksudnya, karena yang menyatakan Qabiltu nikahaha (kuterima pernikahannya) itu pihak lelaki, maka seyogyanya dia tidak suka membebani istri. Karena dialah yang mau menerima tanggung jawab rumah tangga.
1.3 Wafat
KH. Siradjul Millah-Waddin tutup usia di Sidogiri pada hari Sabtu Kliwon, tanggal 18 Rabiul Awal 1409 H. atau 29 Oktober 1988 M. Usia beliau 63 tahun. Pada waktu berumur 60 tahun, beliau sering mengatakan, “Kari batine (tinggal labanya)”. Soalnya beliau menarget umurya sampai 60 tahun.
Sebelum wafatnya Kyai Siradj. Kamis dua hari sebelum wafatnya, beliau dijemput orang suruhan Mas Abdullah ke Beujeng, guna mengisi pengajian Jum’at pagi di dalem putranya itu, di desa Ngempit Kraton Pasuruan. Namun beliau menolak dan meminta dijemput Sendiri oleh putranya.
Maka keesokan harinya (hari Jum’at) pagi-pagi benar Mas Abdullah pergi menjemput abahnya. Pengajian terlaksana seperti biasa. Setelah itu, pukul 11.00 Kyai Siradj pergi ke PP. Sidogiri, Jum’atan lalu ke pesarean leluhur. Selanjutnya beliau pergi ke dalem Mas Fuad bin Noerhasan, menantunya.
Ternyata Mas Fuad tak kunjung datang dari Jakarta, maka sore-sore beliau kembali ke Ngempit. Disana beliau melaksanakan Shalat Maghrib bersama putranya, dan beliau tidak beranjak dari tempat Shalatnya sampai Isya. Usai Shalat Isya, Kyai Siradj mengeluh kepada putranya bahwa kakinya terasa nyeri dan meminta telur, setelah makan telur lalu makan malam. Tapi Kyai Siradj hanya memakan sedikit nasinya, lalu sisanya dimakan oleh putranya.
Malam Sabtu pukul sepuluh, Mas Fuad datang dari Jakarta dan langsung ke rumah Mas Abdullah. Setelah itu Kyai Siradj ikut Mas Fuad ke dalemnya dan menginap di sana. Keesokan harinya setelah Shalat Subuh, beliau duduk berselonjor kaki di hadapan istrinya, Nyai Futhiyah yang masih wiridan dalam posisi menghadap kiblat.
Kyai Siradj minta dipijatkan punggungnya setelah melepaskan baju taqwanya, beliau hanya mengenakan kaos dalam. Saat dipijat, tiba-tiba beliau rebah ke pangkuan Nyai Futhiyah. Ternyata beliau telah meninggal dunia, sekitar pukul 06. 30 pagi. KH. Hasani orang pertama yang mengetahui wafatnya Kyai Siradj selain orang-orang yang berada di dalemnya Mas Fuad. Hal ini terjadi secara kebetulan.
Semasa hidupnya biasanya Kyai Siradj bertemu dengan Kyai Hasani tiap hari Jum’at. Ketepatan pada hari Jum’at itu, Kyai Hasani tidak keluar. Akhirnya pada Sabtu pagi beliau datang ke dalem Mas Fuad untuk menemui Kyai Siradj. Namun ternyata setelah sampai di sana, kakak seayah dan seibunya itu telah meninggal dunia. Ketika mengetahui hal itu, Kyai Hasani berkata, “Kakang iku wong ono ndek Bujeng mestine dikubur ndek Bujeng, dadi mole rene (Kakak itu tinggal di Beujeng, mestinya dikebumikan disana, eh malah pulang ke sini)”.
Jenazah Kyai Siradj dishalati di Masjid jami’ Sidogiri setelah Shalat dzuhur, kurang lebih jam dua siang. Lalu beliau dikebumikan di pesarean keluarga di belakang masjid tersebut.
Tidak ada tanda-tanda yang jelas bahwa Kyai Siradj mengidap suatu penyakit. Tapi kata dokter belau menderita penyakit jantung koroner. Konon, setelah Shalat Subuh, sebelum wafat beliau sesak nafas.
Sebelum wafat, sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwa beliau tidak lama lagi akan meninggalkan dunia fana ini. Terbukti 10 hari sebelum tutup usia beliau memasrahkan penuh kepengurusan pondok, Madrasah, serta Masjid yang ada di Beujeng kepada adik iparnya yang sampai sekarang ada di sana, yaitu Mas Munib.
Bahkan sekitar 2 bulan sebelum wafatnya, Kyai Siradj mempunyai keinginan untuk pindah sedikit demi sedikit ke rumah putranya, Mas Abdullah, di desa Ngempit, Kraton Pasuruan. Beliau ingin menyerahkan Madrasah dan Pesantrennya kepada keturunan Kyai Sya’roni setelah mereka dewasa, lalu pindah ke dalem putranya.
Hal ini menunjukkan betapa ikhlasnya beliau dalam mendirikan Madrasah dan Pesantren di Beujeng. Sebelum meninggal dunia, beliau juga sempat membangun Masjid di desa Jambe, tetangga desa Beujeng.
Pasca meninggalnya Kyai Siradj, ditemukan uang tunai sebanyak 3 juta di celah-celah kitabnya. Ada uang rupiah, dolar, dan riyal. ltu pun rupanya tidak terpikirkan oleh beliau. Hal ini tidak mengherankan, karena semasa hidupnya beliau selalu membawa uang yang dibungkus dengan sapu tangan dalam saku, tapi tidak pernah dihitung.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Meskipun beliau putra KH. Nawawie, pengasuh PP. Sidogiri, beliau masih mondok di PP. Sidogiri sebagaimana Kyai Hasani. Bilik beliau ada di lokasi daerah F sekarang. Dan yang membimbingnya adalah KH. Nawawie sendiri. Sepeninggal abahnya,
Kyai Siradj belajar agama kepada KH. Abdul Djalil bin Fadlil dan tidak pernah mondok ke daerah lain. Sewaktu mengaji kepada KH. Abdul Djalil, beliau istiqomah duduk di tempat sama, tidak pernah berpindah-pindah.
2.1 Guru Beliau
- KH. Nawawie bin Noerhasan (ayah)
- KH. Abdul Djalil bin Fadlil,
- KH. Sya’roni (mertua)
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Hijrah ke Desa Beujeng
Berat hati, itulah barangkali perasaan yang dialami Kyai Siradj ketika harus meninggalkan Sidogiri. Tapi demi sebuah misi mulia, menegakkan syiar Islam di daerah Beujeng, beliau harus rela meninggalkan kampung halamannya. Desa Beujeng tersebut asalnya sangat minus akan pengetahuan Islam, masyarakat perempuannya jika keluar atau berbelanja ke pasar hanya menggunakan selembar sewek (jawa) yang dikenakan sampai di atas payudara.
Tidak mudah tentunya, seorang pendatang asing berdakwah di lingkungan yang masih awam, namun dengan keilmuannya, beliau dapat beradaptasi dengan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Metode dakwah yang beliau tempuh sebagai langkah awal pun sangat sederhana, yaitu mengadakan pendekatan dan pembauran dengan masyarakat sekitar, persis dengan dakwah yang dilakukan oleh Kyai Hasani, adiknya. Tak pelak, jangkauan daerah yang menjadi objek misi dakwah beliau sangat luas, mulai dari batas wilayah Pandaan selatan Beujeng sampai Bangil, sebelah utara Beujeng.
Yang mengagumkan dari cara pendidikan yang diberikan Kyai Siradj adalah keberadaan masyarakat yang tidak pernah terpukul atau tersinggung dengan ajakan beliau untuk mengikuti ajaran Islam yang sebenarnya. Segala keputusan yang keluar dari beliau dianggap baik dan diikuti oleh masyarakat. Dari halusnya cara Kyai Siradj memberikan suntikan pengetahuan Islam, masyarakat tidak merasa kalau sudah dibawa oleh beliau pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
Yang menambah beliau lebih dekat dengan masyarakat adalah sikapnya yang serba sederhana. Sekalipun hidup di masa modern, namun ternyata segala hal yang berhubungan dengannya tidak pernah berbau modern. Dengan kesederhanaannya tidak ada orang yang mengetahui walaupun konon, ilmu yang dimilikinya adalah ladunni.
Beliau sangat perhatian pada masyarakatnya, terbukti beliau memberikan pengajian kitab Fiqih untuk umum yang bertempat di Masjid. Beliau juga mengisi pengajian Muslimatan (pengajian yang diikuti oleh kaum Muslimah) dari dalam kamarnya dengan menggunakan mikrofon.
Selain disegani oleh para santri, beliau juga disegani dan dicintai oleh masyarakat. Setiap perkataan dan tingkah laku yang keluar dari Kyai Siradj akan diikuti oleh masyarakat, tanpa harus memberikan ceramah agama atau pidato seperti halnya yang dilakukan oleh para dai (dakwah bil hal). Memang, jarang sekali beliau memberikan wejangan. Tetapi sekali beliau mengeluarkan nasehat, masyarakat langsung meresponnya.
Kyai Siradj adalah satu-satunya putra KH. Nawawie bin Noerhasan, Sidogiri, yang hijrah dan bertempat tinggal di luar Sidogiri. Kyai Sa’doellah, adiknya yang menjadi orang berpengaruh, sering mengunjunginya ke Beujeng untuk memberinya semangat dalam menjalani masa-masa sulitnya.
3.2 Mendirikan Madrasah Pertama di Beujeng
Pada awal kepindahannya ke Beujeng, Kyai Siradj hanya mengajar kitab pada para pemuda, bertempat di Mushala yang kelak menjadi Masjid. Kemudian Kyai visioner ini mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah Madrasah.
Gagasan mulia ini juga turut di perjuangkan oleh murid-muridnya yang berjumlah lima orang. Akhirnya berdirilah sebuah Madrasah yang terbuat dan bambu dengan bantuan Mas As’ad, keponakan sekaligus putra angkat Kyai Sya’roni. Madrasah itu diberi nama Madrasah Tarbiyatus Shibyan (MTS).
MTS yang didirikan oleh Kyai Siradj ini adalah Madrasah yang pertama kali ada di Beujeng, dan merupakan pusat Madrasah-Madrasah yang ada di sekitarnya di kemudian hari. Madrasah-Madrasah sekitar Beujeng itu adalah hasil dari didikan beliau.
Sebelum Kyai Siradj hijrah ke Beujeng, penduduknya masih belum banyak mengetahui tentang Islam dan batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan dalam syariat Islam, tapi setelah mereka menitipkan putra-putrinya pada Kyai Siradj untuk diajari pengetahuan agama, akhirnya kehidupan mereka berubah sedikit demi sedikit.
Cara beliau mengajari masyarakat yang awam akan pengetahuan Agama adalah dengan pendekatan yang halus. Yang lebih beliau utamakan adalah mendidik anak-anak kecil (generasi muda) dengan cara dimasukkan ke Madrasah.
Beliau sendiri yang menguji murid yang ada pada saat itu. Yang mengenyam pendidikan di MTS tersebut bukan hanya dari masyarakat setempat, tapi juga dari Pandaan, Bangil, Sukorejo Pasuruan, dan daerah lainnya. Hal ini tidak mengherankan, karena saat itu, MTS Beujeng adalah satu-satunya Madrasah yang ada dan aktif di wilayah pedesaan antara Pandaan dan Bangil.
Klasifikasi tingkatan kelas yang ada di Madrasah yang didirikan Kyai Siradj itu berbeda dengan Madrasah di Sidogiri. Karena disana sebelum menginjak tingkatan Ibtidaiyah ada kelas sifir (kelas 0) ,lalu kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D. Baru setelah, pada waktu melakukan ringen sepadanya menginjak pada pelajaran Alfiyah. Materi peIajaran yang ada seperti halnya yang ada di PP. Sidogiri.
Adapun staf pengajarnya adalah anak didik beliau sendiri yang telah dianggap mampu untuk diterjunkan menjadi guru. Memang sifat beliau dalam memberikan pelajaran adalah mendidik dan menghargai ilmu ilmu orang lain. Dalam artian, jika ada orang lain yang dirasa mampu, maka beliau serahkan (muridnya) pada orang itu, sekalipun orang itu adalah anak didiknya sendiri. Beliau hanya mengawasi jika ada yang masih perlu mendapat pembenahan.
MTS Kyai Siradj tersebut hanya terbatas sampai tingkatan Ibtidaiyah saja, karena keterbatasan murid yang melanjutkan ke jenjang Tsanawiyah. Meskipun demikian, kualitasnya tidak diragukan lagi, buktinya setiap anak yang lulus dari Beujeng dan melanjutkan ke PP. Sidogiri langsung diterima tanpa melalui test terlebih dahulu.
Disamping mengajar di Madrasah dan mendidik sendiri putra-putrinya, Kyai Siradj juga mendidik dan mengajar putra-putri Kyai Sya’roni dan sepupu-sepupunya. Sedangkan kitab yang diajarkan selain Al-Qur’an adalah Sharaf dan Jurumiyah, pelaksanaannya setelah Shalat Isya. Beliau juga memberikan pengajaran khusus kepada guru-guru yang mengajar di Beujeng, bahkan Pengurus PP. Sidogiri juga mengaji kepadanya. Kyai Siradj mengajar dengan metode klasik. Segala sesuatunya tidak berbau modern sama sekali.
Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, Madrasah yang dirintis oleh Kyai Siradj semakin besar dan maju. Tak aneh bila kemudian muncul konflik di antara murid-muridnya yang ingin menggantikan kedudukan beliau.
3.3 Mendirikan Pesantren
Beberapa lama setelah didirikannya MTS, banyak murid Madrasah tersebut yang bermukim di sana, hingga akhirnya, Kyai Siradj membangun sebuah Pesantren. Peraturan di Pesantren ini sangat ketat, lebih-lebih dalam Shalat berjamaah. Jika ada seorang santri yang tidak melakukan sholat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum dan sesudah melaksanakan Shalat berjamaah.
Maka, akan diberi tindakan membaca shalawat selama sehari dan dijemur di bawah terik matahari. Demikan juga bila tidak mengikuti kegiatan Shalat berjamaah. “Biar murid tidak kerasan, dan biar hanya lima murid saja, pokoknya di akherat bisa dipertanggungjawabkan. Walaupun murid saya banyak kalau di akherat nanti tidak ikhlas, saya yang berat menghadap Allah SWT,” demikian pedoman Kyai Siradj.
Sebab syarat murid ikhlas adalah Shalat qabliyah dan ba’diyah, kalau tidak melaksanakan Shalat qabliyah dan ba’diyah, tandanya murid itu tidak ikhlas. Kalau ada Kyai yang muridnya tidak ikhlas, nanti Kyainya yang ada di neraka,” tandasnya lagi.
Dalam memberi tindakan pelanggaran bagi santri yang tidak mengikuti jamaah, atau tidur ketika wiridan setelah Shalat berjamaah, beliau sering memberikan tindakan bukan hanya pada pelaku pelanggaran, tetapi semua santri. Sehingga antara santri yang satu dengan yang lain saling tegur-menegur, supaya tidak terjerembap dalam pekerjaan yang bisa menimbulkan pelanggaran.
Dalam memberikan pengajaran kepada santri-santrinya, Kyai Siradj mengutamakan pengajian kitab Fiqih. Pada waktu itu beliau memberi pengajian kitab Fathul Mu’in dan Fathul Qarib. Untuk pengajian kitab Fathul Mu’in dilaksanakan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari jam 09. 00 untuk santri dan umum, dan setelah Isya khusus untuk keluarga.
Beliau juga merupakan sosok yang sangat telaten terhadap santri dan disiplin (istikamah) dalam waktu. Biasanya, beliau melakukan Shalat dzuhur sekitar jam 03.00 WIB yang dilanjutkan dengan membaca aurad (wiridan-wiridan) hingga waktu Shalat Ashar tiba. Setelah Shalat Ashar, beliau mengadakan pengajian kitab Fiqih, tauhid, dan kitab-kitab gramatika Bahasa Arab kepada khadamnya. Di sini terlihat, betapa Kyai Siradj juga sangat memperhatikan pendidikan khaddam-khaddam-nya.
Sebagaimana lazimnya Kyai zaman dahulu, Kyai Siradj juga mengajar Al-Quran pada santri-santrinya. Ada seorang santri beliau tidak bisa-bisa mengaji Al-Qur’an (tidak tepat-tepat). Oleh Kyai, santri itu disuruh membuka mulutnya lalu diludahi air kerak beliau. Ternyata setelah itu, santri tersebut bisa mengaji dengan tepat.
Sekitar pada tahun 1973 M Kyai Cholil, kakak Kyai Siradj, pernah ingin memindah sebagian santri Sidogiri ke Beujeng. Karena pada waktu itu santri Sidogiri bertambah banyak dan beliau ingin membatasi hanya 500 orang. Tapi setelah beliau membicarakan pada Kyai Siradj, ternyata Kyai Siradj menolak, karena beliau juga tidak menginginkan santri banyak yang menyebabkan lebih besarnya tanggungan di akhirat.
Di antara keistikamahan dan amaliyah yang dianjurkan oleh Kyai Siradj pada santri-santrinya adalah membaca Al-Qur’an dan Shalat berjamaah.
3.4 Penggagas Majelis Keluarga Sidogiri
Meskipun Kyai Siradj telah mendirikan Madrasah dan Pesantren, dan mendapat kepercayaan untuk menangani urusan agama di Beujeng, beliau juga tetap aktif dalam menangani kepengurusan di PP. Sidogiri.
Hal ini tidak dianggap berat oleh beliau, karena beliau mempunyai pedoman. ”Walaupun Sidogiri, kalau tidak mau diatur akan saya bubarkan. Sebab tanggungannya di akhirat”.
Peran beliau di PP. Sidogiri cukup besar. Beliau adalah salah satu dari lima anggota Panca Warga (wadah permusyawaratan keluarga), yakni putra-putra KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noer Khatim. Urutannya:
- KH. Noerhasan,
- KH. Cholil,
- KH. Siradjul Millah-Waddin,
- KA. Sa’doellah,
- KH. Hasani.
Beliau dengan keempat anggota Panca Warga yang lain selalu bahu-membahu dalam menangani urusan Pesantren. Dalam Panca Warga tersebut, terdapat dua dari mereka yang paling muda yaitu Kyai Sa’doellah dan Kyai Hasani. Bila ada hal-hal yang berkaitan dengan masalah Pesantren, keduanya selalu minta restu pada Kyai Siradj. Kyai Siradj juga pernah menjadi pengasuh PP. Sidogiri.
Kyai Siradj juga dikatakan pernah menjabat sebagai Ketua Umum, yang sangat sukses pada masanya. tidak ada perkelahian dan pencurian yang dilakukan oleh santri pada masa kepemimpinan beliau. Setelah beliau hijrah ke Beujeng, yang menggantikan kedudukannya selaku Ketua Umum adalah KH. Kholili Susukanrejo.
Dalam memimpin roda kepengurusan, Kyai Siradj tidak serta merta bertindak secara otoriter. Musyawarah mufakat adalah jalan yang ditempuh bila ada masalah. Bahkan beliau memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk melaksanakan program Pesantren dengan sebaik-baiknya. Beliau menganggap pengurus yang ada seperti anaknya sendiri, jika terdapat kesalahan pada mereka beliau tidak pernah berbuat kasar.
Beliau juga sering bergurau dengan bawahannya. Tak jarang dari gurauan beliau terinspirasi suatu program dan suatu konsep dalam PP, Sidogiri. Konon, sebagian besar program-program PP. Sidogiri bersumber dari Kyai visioner dan kaya ide ini. Program-program tersebut di antaranya adalah:
Kabag Ubudiyah dan Kabag Taklimiyah
Beliau sangat mengharapkan terciptanya suasana ta’abbud dan ta’lim (kegiatan ibadah dan belajar) di Pesantren. Karena pada waktu itu ketika beliau masuk ke wilayah pesantren suasananya sepeti pasar yang penuh dengan hiruk-pikuk, yang dibicarakan hanyalah masalah tanak (memasak), belanja dan lain-lain. Akhirnya, melalui proses dan pembenahan dengan musyawarah bersama Panca Warga, terbentuklah Kabag. (kepala bagian) Ubudiyah dan Kabag. Ta’limiyah.
Pengajian Al-Quran untuk Pengurus
Kyai Siradj juga pencetus pengajian Al-Qur’an untuk pengurus pondok yang diasuh oleh KH. Bashori Alwi Singosari, Malang. Mulanya, KH. Bashori sendiri yang hadir ke pondok, dan tempatnya -pada waktu itu- terletak di dalemnya Kyai Cholil, di sebelah utara masjid Sidogiri. Tetapi karena tidak efektif, dikarenakan kebanyakan anggota pengajian Al-Qur’an itu mempunyai kesibukan di pondok, akhirnya diputuskan bagi yang mengikuti pengajian Al-Qur’an diharap untuk pergi ke Singosari, dalem KH. Bashori.
Pemberantasan Mutamarrid
Beliau berkeinginan memberantas praktek mutamarrid (penyimpangan seksual) dengan cara dibuatkan undang-undang pelarangannya dalam UUD PP. Sidogiri, yakni Pasal II ayat 11. Juga beliau sendiri yang memberikan istilah mutamarrid bagi orang yang melakukan perbuatan yang tidak semestinya itu Istilah tersebut mungkin diambil dari kata Amrad jamil (anak lelaki tampan).
Tapi kata mutamarrid sendiri adalah definisi dari kata Syaithan dalam kitab Tafsiru Ba’dli Ayat al-Ahkam. Mengapa Syetan diartikan mutamarrid? Sebab kata itu dibuat dari kata syathana (Arab) yang bermakna ba ‘uda (jauh). Artinya, orang yang mutamarrid itu akhlaknya telah jauh dari kebaikan. Agaknya, secara tidak langsung Kyai Sirardj menyamakan pelaku mutamarrid dengan setan.
Penyimpanan Uang PP. Sidogiri
Kyai Siradj juga ikut menangani keuangan. Ceritanya, pada waktu itu PP. Sidogiri diributkan dengan masalah keuangan, lalu Kyai Siradj ikut menangani hal ini. Beliau mengusulkan agar membuat tempat uang di kantor PP. Sidogiri dan dibelikan lemari besi. Kebetulan yang membuat tutupnya -yang terbuat dari cor-coran– adalah Mas Abdullah, putranya sendiri.
Sedangkan yang menjadi pengurus pada waktu itu adalah Mas Ghozi bin Noerhasan bin Nawawie. Beliau menyuruh kepada Mas Ghozi supaya meletakkan lemari besi ke tempat yang sudah dibuat sebelumnya, kemudian diberi tiga kunci. Masing-masing dipegang oleh Kyai Sirardj, Mas Ghozi dan bagian keuangan. Tujuannya, setiap membuka lemari uang, tiga orang itu harus berkumpul, dan jangan sampai masalah keuangan dipegang oleh satu orang.
Kesejahteraan (Bisyarah) Guru dan Pengurus
Kyai Siradj adalah orang pertama yang menggagas adanya pemberian kesejahteraan (bisyarah) kepada guru dan pengurus PP. Sidogiri. Beliau memperkirakan kebutuhan sehari-hari mereka yang disesuaikan dengan anggaran pondok yang ada. Yang sudah berkeluarga dibedakan dengan yang belum berkeluarga.
Sebelumnya yang ada hanyalah HR (honor) yang jumlahnya hanya ratusan Rupiah. Beliau sangat memperhatikan kesejahteraan mereka karena dalam pandangan beliau, mereka adalah wakil Masyayikh dalam mengemban amanat untuk memberikan pendidikan pada santri dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan kebutuhan santri yang ada di Pesantren.
Ide ini murni dari Kyai Siradj. Dan yang menerapkan konsepnya adalah Ketua I, yang ketepatan pada waktu itu dipegang oleh Ust. H. Mahmud Ali Zain. Mulanya beliau memulai mengakad (persetujuan) pengurus harian yang ada dan dipanggil satu persatu ke kediamannya yang ada di Beujeng. Mereka diminta kerelaannya apabila bisyarah yang diberikan masih kurang memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Setelah itu pengurus sebagai wakil dari Kyai Sirardj mengakad bawahannya seperti halnya yang dilakukan oleh beliau.
Permasalahan gaji yang diberikan kepada guru pada waktu itu dipertegas oleh Kyai Sirardj: Apakah gaji yang diterima oleh guru itu adalah honor? Jika demikian, maka tidak sesuai dengan husnul khuluq karena mengajar itu adalah ibadah. Tapi karena santri membayar dalam mengenyam pendidikan dan uangnya harus dibagi-bagi, maka harus dibagi pula pada para guru. Pada akhirnya gaji yang diberikan pada guru itu diberi nama ‘bisyarah’.
Kyai Siradj sangat menganjurkan kepada para guru agar aktif dan tepat waktu dalam mengajar, serta guru itu harus memberi uswah hasanah (contoh yang baik pada muridnya) menurut Kyai Siradj, guru itu harus diberi bisyarah sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa ikhlas dan bertanggung jawab penuh sehingga sukses dalam kegiatan belajar mengajar.
Bila ada guru yang baru diangkat dengan resmi. Begitu juga sebaliknya, kalau ada yang diberhentikan, harap diberhentikan dengan resmi pula. Selain itu, menurut Kyai Siradj harus ada pengetatan masa jabatan guru. Kyai Siradj juga berperan dalam pendirian Madrasah Aliyah Tarbiyatul Muallimin (ATM) yang berlanjut hingga sekarang.
Guru Tugas dan “Ayat Lima”
Beliau juga menjadi Penanggung jawab Urusan, Guru Tugas (UGT). Setiap kali ada permasalahan yang ada hubungannya dengan guru tugas dan pengontrolannya, beliau ikut terjun memberikan penanganan. Ketepatan yang menjadi sopir beliau adalah putra beliau sendiri, yakni Mas Abdullah, dengan menggunakan mobil Mas Abdullah sendiri.
Segala kebijakan yang ada hubungannya dengan Guru Tugas (GT) ditangani oleh beliau sendiri. Beliau sangat memperhatikan masalah Guru Tugas (GT). Mengenai hal ini, Beliau pernah dawuh “Sing gatekno (iku) pentingno”. Artinya permohonan Guru Tuggas yang sanggup bertanggungjawab penuh, itu yang harus diprioritaskan mendapat Guru Tugas.
Beliau juga memberikan ijazah amalan kepada seluruh santri yang akan berangkat tugas berupa bacaan “Ayat Lima”. Pelaksanaannya ketika bulan Ramadlan, Ketua I meminta kepada beliau agar memberikan perbekalan batin kepada calon guru tugas, akhirnya beliau memberikan “Ayat lima” tersebut. Dan yang diminta menulis pada waktu itu adalah Ust. Masruhin Pasrepan Pasuruan. Beliau menulisnya dengan cara di imla’ langsung dari Kyai Siradj. Itu adalah amal-amalan yang diberikan terakhir kalinya oleh Kyai Siradj terhadap santri-santrinya.
3.3 Pengasuh Majelis Keluarga Sidogiri
Kyai Siradj pernah menjadi staf pengajar di Madrasah PP. Sidogiri dan ikut serta menangani PP. Sidogiri pada periode kepengasuhan Kyai Cholil. Kemudian, beliau bemukim di Beujeng. Setelah Kyai Cholil meninggal dunia pada tahun 1978 M, beliau menggantikan Kyai Cholil sebagai Pengasuh PP. Sidogiri.
Beliau sering ke Sidogiri, ke dalem Kyai Cholil di utara Masjid Sidogiri. Beliau juga sering ke kantor, ikut menangani kepengurusan. Dalam urusan keluarga, semua keputusan berada di tangan Kyai Siradj, sebab beliau adalah yang tertua. Sedangkan urusan syariat atau masalah hukum Fiqih dipasrahkan kepada Kyai Hasani. Namun beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian, Kyai Siradj menyerahkan jabatan pengasuh kepada KH. Abdul Alim bin Abdul Djalil, keponakannya.
Sejak wafatnya Kyai Cholil itu, bertahun-tahun Kyai Siradj meneliti tanah milik pondok yang statusnya belum jelas, apakah itu termasuk tanah ibahah atau tanah wakaf. Tujuannya untuk menghilangkan sengketa yang berhubungan dengan pondok. Tanah tersebut sekarang dibuat perpustakaan, surau G, daerah D, daerah E, sebagian daerah B, dan sebelah timur kantor PP. Sidogiri.
Karena pada waktu itu anggota Panca Warga tinggal Kyai Siradj dan Kyai Hasani, maka Kyai Siradj mempunyai gagasan membentuk wadah permusyawaratan pengganti. Wadah itu diberi nama Majelis Musyawarah Keluarga, yang akhirnya diubah menjadi Majelis Keluarga sampai sekarang. Anggotanya adalah cucu-cucu lelaki KH. Nawawie bin Noerhasan, dan ketuanya adalah Kyai Abdul Alim. Sedangkan Kyai Siradj dan Kyai Hasani menjadi penasehatnya.
Tujuan dibentuknya Majelis Keluarga adalah untuk menyatukan dan melibatkan semua keluarga dalam penanganan PP. Sidogiri. Juga untuk mengontrol gerak kepengurusan PP. Sidogiri dan memberi kebijakan-kebijakan yang baru dilakukan oleh santri, melalui pengurus yang ada.
Majelis Keluarga ini adalah pembantu pemikiran pengasuh, seperti Dewan Syuro. Pertemuan Majelis Keluarga pada masa itu terlaksana dua kali. Yang pertama di aula Lama (atas koperasi), dan yang kedua di MMU I. Dalam pertemuan itu terjaring beberapa ide, di antaranya yang ada hubungannya dengan penugasan tamatan Tsanawiyah.
Lalu siapa penggagas Panca Warga? Menurut satu catatan, penggagasnya adalah Kyai Hasani, lalu diterima oleh KA Sa’doellah dan putra-putra Kyai Nawawie lainnya. Dengan begitu keluarga besar PP. Sidogiri tetap solid dan pesantren salaf ini makin besar dan maju.
4. Teladan Beliau
Hubungan Kyai Siradj dan mertuanya, Kyai Sya’roni di Beujeng sangat harmonis. Dan perhatian Kyai Sya’roni pada menantunya yang satu ini begitu istimewa. Semua kemauannya selalu dituruti. Tutur bicaranya pada Kyai Siradj halus, bahkan walaupun sebagai menantu, Kyai Sya’roni tetap memanggilnya “Mas”. Kyai Siradj juga banyak mendapat didikan dari mertuanya. Hal ini tak mengherankan karena meskipun Kyai Siradj sebagai menantu, tapi kasih sayang dan perhatian Kyai Sya’roni melebihi kasih sayangnya terhadap putra-putranya sendiri.
Memang keduanya sangat akrab dan saling mengerti pada apa yang ada pada diri masing-masing. Jika ada seorang yang bertanya tentang hukum dan sesuatu yang ada hubungannya dengan ilmu agama pada Kyai Sya’roni, maka beliau menyuruh agar menanyakan kepada Kyai Siradj dan tidak pernah menjawab sendiri, begitu pula sebaliknya. Kyai Siradj dan mertuanya sama-sama tidak rela jika keduanya dipanggil dengan sebutan Kyai. Jika ada yang memanggil Kyai pada Kyai Sya’roni, maka beliau bilang, “Yang Kyai itu adalah Kyai Siradj.” Begitu juga sebaliknya.
Dari akrabnya hubungan mertua-menantu ini, ketika mertuanya meninggal Dunia, Kyai Siradj sangat sedih dan berduka. sampai-sampai beliau mengatakan “Aku ditinggal abaku iki podo karo Abu Bakar ditinggal kanjeng Nabi”.
Memang, perhatian Kyai Sya’roni kepada beliau sangat istimewa, sampai-sampai Kyai Sya’roni tidak rela jika Kyai Siradj rnencari uang sendiri dan memikirkan maisyah keluarganya. Hal itu tidak hanya terjadi pada Kyai Siradj saja, tapi juga pada putranya, Mas Abdullah Syaukat. Kyai Sya’roni selalu menuruti permintaan Mas Abdullah, Iantaran beliau takut kalau nanti Kyai Siradj susah karena tidak bisa memenuhi permintaan putranya.
4.1 Sufi yang Pendiam dan Tawaduk
Kyai Siradj adalah sosok yang tenang dan pendiam. Beliau tidak akan berbicara kalau dirasa tidak perlu. Sifat inilah yang membuat beliau disegani melebihi dari KA. Sa’doellah. Benarlah kata sebagian ulama, “Diam adalah kewibawaan tanpa kekuasaan”. Orang yang tidak banyak bicara itu berwibawa, meskipun tidak mempunyai kekuasaan.
Jika dia mempunyai kekuasaan, tentu lebih berwibawa lagi, seperti Kyai Siradj ini. Selain pendiam, beliau juga tawaduk. Sebagian bukti dari ketawadukannya, beliau kadang menyuruh Mas Muzammil pengikutnya untuk mengimami Shalat, sedangkan beliau bermakmum. Kyai Siradj juga selalu mendahului ucapan salam pada Kyai Hasani, baik ketika bertamu maupun ketika menjadi tuan rumah. Tak pelak, kebiasaan Kyai Siradj ini membuat gusar adik kandungnya itu.
Suatu saat, Kyai Hasani bertamu pada Kyai Siradj. Dalam hati, beliau bermaksud mengucapkan salam duluan ketika dibuka pintu. Tapi Kyai Siradj dengan cerdik mengintip dulu dari balik gorden, dan kemudian membukakan pintu sambil mengucapkan salam dan bersalaman. Kyai Hasani tidak berhasil mendahuluinya.
Sifat tawaduk ini tidak luntur meski beliau menjadi orang yang mengatur jalannya roda kepengurusan Pondok Pesantren Sidogiri. Beliau tidak pernah menunjukkan kepandaiannya dan menyuruh bawahannya untuk mengikuti apa yang beliau kehendaki.
Malah beliau memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk melaksanakan program yang ditekuninya dengan pemikiran dan pendapatnya masing-masing. Namun ini tidak berarti Kyai Siradj menjadi pemimpin yang leissez free (acuh tak acuh). Kebebasan bawahannya tak lepas dari pengontrolan beliau, mana yang masih membutuhkan pembenahan dan mana yang harus terus dilaksanakan.
Karena ketawadukan dan kesabarannya, para santri mencintai beliau. Ucapan beliau halus dan tidak pernah kasar. Kalau ada santri yang melakukan kesalahan, maka santri itu dipanggil dan ditegurnya dengan halus. Tak lupa beliau juga memberi solusi terbaik padanya. Beliau tidak menampakkan kemarahan, sekalipun (sebenarnya) marah bila melihat santri yang melakukan pelanggaran. Alasan beliau tidak langsung menindak santri yang melakukan pelanggaran adalah karena dalam pandangannya, santri itu suatu amanah yang diberikan oleh Allah yang harus dijaga.
Di samping tawaduk dan sabar, beliau juga termasuk sosok yang menyenangkan dan tidak pernah menyusahkan orang lain. Artinya, jika ada orang mendapatkan kesusahan, beliau akan terhibur dengan ucapan-ucapan Kyai Siradj. Namun sebaliknya, jika ada orang yang terlalu gembira, beliau akan diingatkan tentang hari setelah kematian.
Kehidupan sufi yang wara’ juga sangat kental dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu beliau tidak gampang menerima pemberian seseorang, dilihat dulu siapa yang memberi dan apa tujuan dia memberi.
Pernah suatu ketika beliau diajak untuk makan bersama dengan santri (maklum, sekalipun beliau seorang penggedhe, tetapi beliau tetap akrab dengan santri). Sesampainya di tengah-tengah santri, Kyai tidak langsung makan, tapi bertanya dulu dari mana makanan itu.
Lalu ada sebagian santri yang menjawab bahwa hidangan itu dari ini (hanya menggunakan isyarat). Setelah mendengar penuturan para santri, beliau tidak jadi makan bersama mereka. Beliau malah langsung beranjak meninggalkan mereka, karena takut barang yang akan beliau makan adalah perkara yang haram.
Beliau juga pernah mengatakan pada putranya, Mas Abdullah, “Lek duwe kendaraan iku nomere Oeripono, lek gak di Oeripi podo karo ghosab dalan!”.
Sebagai orang yang sangat kental dengan dunia sufi, beliau tidak pernah menonjolkan amaliyah ibadahnya pada orang lain. Nasehat Imam Ibnu Atha’illah, “Idfin wujudaka fi ardlil khumul
(tanamlah dirimu di bumi yang sepi)”. benar-benar tertanam dalam diri Kyai Siradj. Tak urung masyarakat lebih mengenal putranya, Mas Abdullah dari pada Kyai sendiri. Karena jika berjalan bersama putranya, beliau selalu berada di belakangnya, sehingga masyarakat menyangka Mas Abdullah sebagai Kyainya.
Tidak ada yang berlebihan dari kehidupan Kyai Siradj, seperti karamah atau khoriqul adah, karena sifat tidak mau menonjolkan diri membuat beliau jarang diketahui oleh orang lain.
Kyai memang tidak suka terhadap atribut-atribut yang membuat orang melihatnya akan berseru “Wah!”. Buktinya, setelah melaksanakan ibadah Haji beliau tetap suka pakai kopyah hitam dan berkalung handuk kecil seperti tukang becak. Bukan berkalung surban sebagaimana layaknya ‘Pak Haji’ yang lain.
Beliau suka memakai baju takwa, tapi jarang kancingnya dipasang semua. Pernah beliau bersama saudara-saudaranya diundang ke Bangkalan Madura. Tapi dilarang masuk oleh penyambut tamu, karena berpakaian seperti itu. Tuan rumah yang juga seorang Kyai, lama menunggu. “Kok tidak datang-datang ya?” katanya dalam hati.
Ternyata setelah dilihat, Kyai Siradj berdiri di pinggir pintu masuk. Pernah juga suatu saat beliau diundang untuk memberikan ceramah agama, tapi beliau menolak dan mengajukan santrinya untuk dijadikan sebagai ganti. Ini salah satu bukti ke-khumul-annya.
Beliau juga sosok Kyai yang ahlu ad-dliyafah (Penghormat tamu). Beliau sangat marah jika sampai ada tamu yang berkunjung ke dalemnya tak disuguhi makan. “Berilah mereka makan, sekalipun hanya dengan kerupuk”. Ucapnya. Bila menerima tamu, beliau lebih banyak mendengarkan. Tidak banyak bertanya. Suatu saat, beliau didatangi tamu pembohong.
Setelah tamu itu pulang, beliau berkata, “Saya tahu dia pembohong, tapi saya dengarkan saja. Wong seng seneng goro iku ndak enak le’ ndak goro. Podo karo dulit lombok, erro le’ peddes tapi diterusno ae. (Orang yang suka berbohong itu tidak enak kalau tidak berbohong, sama dengan mencuil sambal, dia tahu kalau sambal itu pedas tapi diteruskan saja)”.
Beliau juga termasuk orang yang kreatif. Kyai Siradj memiliki keahlian sendiri tentang elektronika, sebuah keahlian yang tidak beliau dapatkan melalui sekolah formalitas. Beliau pernah membuat radio sendiri dengan merakit komponen-konponen yang juga dibuatnya sendiri tanpa menggunakan baterai.
Dengan peralatan elektronik yang masih belum canggih, beliau dapat menciptakan radio yang dilengkapi dengan mikrofon. Beliau menyebutnya dengan “Radio Hawa”. Potensi itu beliau kembangkan lagi hingga beliau dapat membuat rangkaian tempat komponen radio yang berbentuk bulat/oval, sebuah radio yang masih belum pernah ter-inovasi pada waktu itu.
Kyai Siradj juga dikenal selalu istikamah Shalat berjamaah. Selain itu beliau juga tidak pernah meninggalkan ibadah sunnah yang lain, seperti Shalat Dhuha dan Tahajjud. Beliau juga fasih dalam membaca al-Quran. Kalau mengimami Shalat jahr. Bacaannya sangat pelan, seperti sedang mengajar ngaji. Dan pekerjaan yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah menjaga waktu salat dengan menggunakan bincret yang dibuatnya bersama mertuanya, Kyai Sya’roni. Karena kesabaran dan keistikamahannya dalam ubudiyah, beliau disebut-sebut sebagai wali yang mastur.
5. Pesan-pesan
Banyak pesan-pesan dan hikmah dari KH. Siradjul Millah-Waddin sebelum wafatnya, yang bisa dijadikan pijakan dan renungan dalam mengarungi samudera kehidupan. Di antaranya adalah pesan beliau yang disampaikan pada keluarganya yang juga menjadi peringatan bagi kita semua, “Janganlah kamu suka menampakkan dirimu”. Beliau juga pernah berkata kepada Mas Abdullah, “Jangan coba-coba kamu main Bank”.
Kira-kira satu tahun sebelum wafatnya, Kyai Siradj memaksa putranya, Mas Abdullah Syaukat, untuk pindah dari Beujeng. Karena beliau khawatir putra-putranya tidak berhasil. Dan sampai sekarang putra-putri beliau tidak ada yang menetap di Beujeng. Setelah Mas Abdullah menikah, Kyai Siradj berpesan, “Hijroho koen lek kepingin berhasil koyok Rasulullah hijrah teko Makkah nang Madinah “.
Selain itu beliau juga berpesan pada keluarganya agar memperbanyak istighfar dan tidak melihat apa-apa, hanya karena Allah SWT. “Nyambut gaweho sing halal ojok ndelok ngene ojok ndelok iki (Bekerjalah dengan pekerjaan halal, jangan lihat ini itu),” katanya. Sedangkan pesan beliau yang sangat ditekankan pada Mas Munib, adik iparnya, adalah tentang Masjid, jangan sampai membiarkan orang bergurau di dalam masjid, atau mengerjakan hal-hal yang tidak pantas dilakukan di masjid.
Ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum PP. Sidpgiri, beliau pernah mengatakan, “Karo toat, ilmu manfaat (Dengan taat ilmu bisa manfaat)”. Kata mutiara ini akhirnya menjadi semboyan santri Sidogiri. Kalau secara umum, taushiyah beliau ada empat perkara “ojok riya’, ojo ujub, ojok sum’ah, ojo takabbur, lek kepingin slamet dunyo akherat (Jangan ingin dipuji, jangan besar kepala, jangan ingin terkenal, jangan sombong, kalau ingin selamat di dunia dan akhirat!)”.
5. Referensi
- Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
- Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/