Daftar Isi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Wafat
1.3 Riwayat Keluarga
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
2.2 Guru-Guru Beliau
2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
3. Penerus Beliau
3.1 Anak-anak Beliau
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Karier Beliau
4.2 Karya-karya Beliau
5. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Ahmad Subki bin Masyhadi lahir di kota Pekalongan pada tanggal 09 September 1933 M dari rahim ibu Nyai Hj. Mastiah dan bapak KH. Masyhadi. Silsilahnya dari jalur bapak yaitu: Ahmad Subki bin KH. M. Masyhadi bin KH. Amin bin KH. Abdul Karim (silsilah sampai Maulana Hasanudin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon ) dan dari jalur Ibu Nyai Hj. Mastiah (Hj. Zakiyah – nama setelah haji), adalah anak dari Mbah kiai Umar Chottob Sampangan Pekalongan yang silsilahnya sampai Kiai Ageng Pekalongan, pendiri kota Pekalongan.
Namun, silsilahnya secara rinci, belum diketahui secara pasti. Tempat tinggal orang tuanya di kelurahan Sampangan Gg 6/ 168 Pekalongan. Ahmad Subki adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara anak-anak KH. Masyhadi. Secara lengkap, mereka adalah Fatmah (Wafat masih kecil), Afifah (Wafat masih kecil), Shofwanah, Ahmad Fauzi, Muzajjad, Ahmad Subki, Chalimi (Wafat masih kecil), KH. Mubarizi, Ali Chammad, dan Imron. Imron ini pernah bersama dengan KH. Ahmad Subki mondok di lasem di bawah asuhan KH. Ma’shum. Sejak kecil Ahmad Subki dan saudara-saudaranya diasuh langsung oleh kedua orang tuanya.
1.2 Wafat
KH. Subki Masyhadi mantan Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan periode 1997-2002 yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Masyhad Sampangan Kota Pekalongan Jum’at malam 18 November 2011 berpulang ke rahmatullah setelah menderita penyakit komplikasi. Ribuan umat Islam Kota Pekalongan merasa kehilangan atas meninggalnya tokoh yang berusia 79 tahun. Pasalnya, selama hidupnya, KH. Subki Masyhadi senantiasa untuk kegiatan penyebaran agama melalui pendidikan pesantren yang dikelolanya dengan ratusan santri yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
1.3 Riwayat Keluarga
Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren KH.Ma’shum di Lasem, KH. Subki Masyhadi berkeluarga. KH. Subki Masyhadi menikah sampai empat kali. Istri pertama setelah melahirkan anak pertamanya, keduanya meninggal dunia. Istri kedua dalam waktu lama belum mendapatkan keturunan, kemudian beristri yang ketiga yang melahirkan anak laki-laki diberi nama Muhammad Hasanudin.
Selang dua tahun, istri kedua melahirkan anak laki-laki diberi nama M. Ainur Rofiq. Disusul dua tahun kemudian lahir anak ke 3 diberi nama M.Lutfi Hakim. Kiai Subki beristri lagi ke 4, membuahkan keturunan 6 anak, 3 laki-laki dan 3 perempuan, yakni: Abdus Shomad, Af’idah Nisa’, Fatimah Ni’matul Maula, dan Muhammad zahroh, Muhammad Ammar, Nafi’.
Semua anak-anak KH. Subki Masyhadi dipondokkan, sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya dahulu. Di mata anak-anaknya, dia adalah sosok yang bijaksana, tidak pernah marah, lembut, sabar, tidak pernah mengumpat atau berkata-kata kotor.
Ucapan beliau menyejukkan dan seringkali dibumbui lelucon yang tidak jorok. Ketika salat fardu, KH. Subki Masyhadi selalu berjamaah, kalaupun tertinggal jamaah di masjid atau musolla, dia mengajak orang lain untuk berjamaah dengannya. Setiap hari dia membaca Al-Quran di waktu yang ditetapkannya.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Ketika mondok di Mbah Zaeni (sebutan untuk KH. Abdullah Zaeni) terjadi suatu peristiwa luar biasa sehingga beliau mendapatkan ilmu laduni (ilmu yang dianegerahkan oleh Allah sehingga sesuatu yang sebelumnya belum diketahui, tiba-tiba diketahuinya). Dalam istilah lain, hatinya futuh (terbuka menerima ilmu dari Allah) sehingga sebelum pengajian dilaksanakan beliau sudah faham dengan kajian yang akan diungkap oleh guru-gurunya. Salah satu ilmu yang dikuasainya adalah ilmu nahwu dengan kitab utamanya Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini merupakan kumpulan seribu bait-bait syair yang berisi tentang kaidah-kaidah tata bahasa Arab.
Kemampuannya dalam menghafal syair Alfiyah itu, Tentang KH. Subki Masyhadi pernah bercerita kepada cucunya M. Aniq Dimyati, “Dulu mbahmu ketika di pondok menghapalkan Alfiyah sehari 50 bait.” Cucunya bertanya, “Mbah….kok hanya 50 bait sih..?” “Ya, sebetulnya kalau aku hafalkan semuanya sehari aku bisa, hanya saja tidak aku hafalkan semuanya, supaya tidak dianggap sombong,” demikian jawab KH. Subki Masyhadi. Peristiwa yang menjadi sebab KH. Subki Masyhadi mendapatkan ilmu laduni ialah ketika suatu saat dia ziarah ke makam Raden Fatah.
Malam harinya, beliau bertawasul pada Raden Fatah, sambil munajat kepada Allah Swt. semoga mendapat ilmu yang manfaat berkah. Setelah mengaji Al-Qur’an, beliau tertidur dan bermimpi bertemu dengan Raden Fatah. Raden Fatah memberi daun kering dan menyuruhnya untuk memakannya dan beliau melakukannya. Ketika bangun tidur, KH. Subki Masyhadi merasa hatinya terbuka sehingga diberi kemudahan untuk memahami isi kitab-kitab yang diajarkan oleh Kiainya.
Lulus dari Demak, KH. Subki Masyhadi meneruskan pendidikannya di Pesantren Al-Hidayat Lasem, Rembang Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Ma’shum (Ayah KH. Ali Ma’shum Yogyakarta). Ketika sowan pada KH. Ma’shum, beliau berkata, “Kamu sudah mondok di Demak kok kemari, di sana kan sudah cukup mengaji pada Mbah Abdullah Zaeni.”
Pernyataan itu menunjukan bahwa KH. Abdullah Zaeni lebih senior dari Mbah Ma’shum, namun tujuan KH. Subki Masyhadi ke pondok tersebut adalah mengambil berkah seorang ulama yang dalam bahasa pesantren disebut tabarrukan. Di Pesantren Al-Hidayat ini, di samping mengaji pada KH. Ma’shum, beliau juga ikut mengajar santri-santri yunior (umur 15 tahun ).
Materi yang diajarkannya, antara lain: ilmu nahwu dengan kitabnya Alfiyah Ibnu Malik, padahal dia belum pernah menyelesaikan pengajian kitab ini sampai tamat. Namun, di luar dugaan, dia mampu mengajarkannya sampai tamat kepada murid-murid adik kelasnya bahkan sampai dua kali khatam.
Berkat kepercayaan yang diberikan oleh KH. Ma’shum, selama 3,5 tahun di pondok Lasem, KH. Subki Masyhadi rajin dalam mempelajari kitab-kitab lainnya sebagai sarana mempersiapkan diri dalam pengajaran pada murid-muridnya. Ketekunannya dalam belajar dan mengajar ini memberikan ide untuk memudahkan anak didiknya dalam belajar. Caranya dengan menerjemahkan kitab-kitab yang biasa dipakai di pesantren. Satu persatu kitab pegangan para santri diterjemahkan ke bahasa Jawa.
Kebiasaan ini terus berlangsung sekalipun beliau sudah keluar dari Pesantren Al-Hidayat Lasem. Tidak lama kemudian setelah pulang dari pesantren, di rumah waktunya banyak untuk menulis, menterjemahkan kitab kuning, menyusun khutbah jum’at, dan juga banyak mengajar di masjid-masjid, dan mushola-mushola. Dalam catatan anaknya, KH. Hasanuddin, tidak kurang dari 100 kitab yang sudah diterjemahkannya. Guru-guru yang sangat berjasa dalam kehidupan ilmiahnya ada beberapa orang, antara lain:
- KH.Masyhadi (Ayah beliau)
- KH.Nur Fathoni Kersan kendal
- KH.Abdullh Zaeni Demak
- KH.Ma’shum Lasem Rembang
- Kiai-Kiai sepuh Pemalang Jawa Tengah
- KH. Arwani Kudus Jawa Tengah
Dan masih banyak lagi Kiai-Kiai yang tidak bisa disebutkan nama-namanya.
2.2 Guru-Guru Beliau
- KH.Masyhadi (Ayah beliau)
- KH.Nur Fathoni Kersan kendal
- KH.Abdullh Zaeni Demak
- KH.Ma’shum Lasem Rembang
- Kiai-Kiai sepuh Pemalang Jawa Tengah
- KH. Arwani Kudus Jawa Tengah
2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
Ketika anak pertamanya, M. Hasanuddin, pulang dari pesantren Kajen Margoyoso Pati yang diasuh oleh KH. Hasyir, dia mengusulkan supaya ayahandanya, KH. Ahmad Subki, mendirikan pesantren.
Permintaan itu tidak langsung disambutnya sekalipun ada keinginan kuat dari Kiai Subki untuk meluluskan usulan tersebut, mengingat pendirian pesantren merupakan cita-citanya sejak dulu. Dia ingin agar pendirian pesantren ini bukan sekedar niat saja, tetapi harus mendapatkan restu dan doa dari ulama-ulama di tanah Jawa, terutama dari guru-gurunya atau minimal anak keturunannya yang menjadi penggantinya.
Di samping itu, yang paling utama dari pendirian pesantren ini adalah supaya ia menjadi amal jariahnya setelah wafatnya kelak. Karena itu, setelah sowan untuk minta restu kepada para kiai seperti: Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, KH. A. Dimyati Rois Kendal, KH. M. Romli Jepara, dan beberapa kiai senior lainnya, maka dengan hati mantap KH. Ahmad Subki membangun pesantrennya.
Pada tahun 1986, pembangunan pesantren dimulai dan siap dijalankan pengajarannya ketika itu juga. Pesantren ini diberi nama “Pondok Pesantren Wali Sampang”. Tidak lama setelah asrama santri didirikan, berikutnya pembangunan musolla dimulai tahun 1990-an. Santri pertama pada waktu hanya dua orang laki-laki yang berasal dari Demak dan Boyolali.
Lama kelamaan perkembangannya sangat pesat hingga terkenal di luar pulau Jawa. Selain dari Jawa, saat ini santrinya ada yang berasal dari Sumatra dan Kalimantan. Kemudian atas dasar musyawarah keluarga, nama pesantren ini diganti menjadi Pondok Pesantren Al-Masyhad yang diambil dari nama ayahandanya, KH. Masyhadi. KH. Ahmad Subki yang dikenal sebagai orang yang tawadlu ini mengajarkan para santrinya dengan sungguh-sungguh, terutama di bidang ilmu alat (tata bahasa Arab) yang meliputi nahwu, sorof, balagah.
Ilmu tersebut diajarkan dengan seksama karena merupakan kunci dari semua ilmu agama yang berbahasa Arab. Di samping kesibukannya dalam mengajar, beliau juga tak lupa dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Beliau sering menjadi penceramah di masjid-masjid dan mushola di sekitar
kota Pekalongan. Kadang-kadang masyarakat ada yang datang ke rumahnya untuk sekedar minta doa atau meminta fatwanya atas problem-problem yang mereka hadapi, terutama masalah warisan.
Beliau dikenal juga sebagai ulama yang ahli di bidang ilmu fara’i« (ilmu yang mempelajari masalah warisan). Beberapa majelis taklim juga telah dibinanya. Setelah beliau wafat, majelis taklim itu tetap dilanjutkan oleh anaknya, KH. M. Hasanuddin. Pada tahun 1996, terjadi perluasan pondok Al-Masyhad dengan dibangunnya pondok pesantren putri yang diberi nama “Manba’ul Falah” dibawah asuhan putranya M.Hasanudin Subki.
Setelah Kiai Subki uzur, akhirnya pesantren diserahkan sepenuhnya kepada anaknya M. Hasanudin setelah melalui musyawarah keluarga. Karena diasuh semua oleh KH. Hasanuddin, maka nama pesantren digabung menjadi “Pondok Pesantren Al Masyhad Manbaul Falah” hingga sekarang. Pesantren ini memiliki model pesantren salaf yang lebih mengedepankan ilmu tata bahasa Arab, seperti nahwu, saraf, balaghah, dan mengaji kitab kuning dari berbagai cabang ilmu agama. Para santri dikelaskan sesuai dengan tingkatannya, dari kelas satu sampai kelas lima. Pelajaran yang disampaikan antara lain kitab-kitab salaf
3. Penerus Beliau
3.1 Anak Beliau
M. Hasanuddin
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Karier Beliau
Karier Profesional
Pengasuh pesantren Al Masyhad Manbaul Falah
Karier Organisasi
Anggota di Majelis Syuriah NU Kota Pekalongan
4.2 Karya-karya Beliau
- Maslak an-Najah
- Syi‘ir Fasholatan
- Kitab Misbah Al Anam
- Primbon Lengkap
- Rangka Pelita
- Khutbah Baru
- Primbon Doa 151
- Syi’ir Nasehat Eling Mati
- Syi’ir Aqa’id dan Tajwid
- Al Asma’u Al Musytaqothu Fi Mu’jami Syi’ri Bahasa Arab
- I’Anatu Al Ikhwan
- Aljawahiru As Saniyah Tarjamah Ad Duru Al Bahiyah
- Al Anjumu An Nayyiroti Dalailu Al Khoirot
- A’Ribu Alkama Kaitu’ribu Al Quran Fadzlu Al Mu’thi
- Ad Duru Al Mashuf Tarjamah Qurroti Al ‘Uyun
5. Referensi
https://www.halaqoh.net/2018/11/ketika-kh-subki-menelaah-kitab-hujjah.html
https://id.scribd.com/document/339926184/Biografi-Kh-Subki-Masyhadi