1. Riwayat Hidup dan Keluarga Kyai Ageng Muhammad Besari
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Muhammad Besari
1.3 Nasab Pangeran Kajoran
1.4 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Muhammad Besari
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Muhammad Besari
3. Penerus Kyai Ageng Muhammad Besari
3.1 Anak-anak Kyai Ageng Muhammad Besari
3.2 Murid-murid Kyai Ageng Muhammad Besari
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Muhammad Besari
4.1 Sekilas Masuknya Islam di daerah Ponorogo dan sekitarnya
4.2 Perjalanan Menuntut Ilmu Kyai Ageng Muhammad Besari
4.3 Mendirikan Pesantren Tegalsari Ponorogo
4.4 Metode Pendidikan di Pesantren Tegalsari
4.5 Raden Bagus Harun (Basyariyah) Menuntut Ilmu pada Kyai Ageng Muhammad Besari
4.6 Sinuhun Kartasura ke-II (Sinuhun Kumbul) Meminta Bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari Th. 1739-1747
4.7 Kisah Berdirinya Desa Sewulan, Dagangan Madiun
4.8 Kisah Kyai Zainal Abidin Menjadi Menantu Raja Selangor Malaysia.
4.9 Kisah Kyai Ibnu Umar atau Kyai Kyai Ibnu Umar Membuka Desa Banjarsari Madiun.
5. Keteladanan Pangeran Kajoran
6. Referensi
1. Riwayat Hidup Kyai Ageng Muhammad Besari
1.1 Lahir
Kyai Ageng Muhammad Besari berasal dari Caruban, Madiun, Jawa Timur. Tidak ada keterangan kapan beliau dilahirkan. Ayahnya bernama Kyai Anom Besari dari Kuncen, Caruban, Madiun.
1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Muhammad Besari
Kyai Ageng Muhammad Besari mempunyai sembilan orang anak. Di antaranya :
- Nyai Abdurrachman
- Kyai Yakub atau Kyai Jakub
- Kyai Ismail atau Kyai Ismangil
- Nyai Buchari
- Kyai Iskak Coper
- Kyai Cholifah
- Kyai Ilyas
- Nyai Bandjarsari menikah dengan Kyai Ibnu Umar yang selanjutnya menjadi tokoh agama di wilayah Banjarsari Madiun.
- Kyai Zainal ‘Abidin menjadi menantu Raja Selangor Malaysia
1.3 Nasab Kyai Ageng Muhammad Besari
1. Dari jalur ayah Kyai Ageng Muhammad Besari mempunyai silsilah sebagai berikut :
- Prabu Brawijaya V Kerajaan Majapahit
- Raden Patah Sultan Demak Bintoro
- Sultan Trenggono
- Panembahan Prawoto
- Pangeran Sumendhe / Panembahan Wiro Asmoro (Makam Beliau di Pesarean Setono Gedong, Area Makam Syaikh Washil, Kota Kediri). Pangeran Sumendhe adalah murid dari Sunan Bayat.
- Raden Jalu Adipati Kediri Pangeran Demang I
- Raden Irawan atau Pangeran Demang II
- Kyai Abdul Mursyad
- Kyai Anom Besari
- Kyai Ageng Muhammad Besari
2. Dari Jalur Ibu Kyai Ageng Muhammad Besari mempunyai Silsilah sebagai berikut :
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib,
- Al-Imam Al-Husain
- Al-Imam Ali Zainal Abidin
- Al-Imam Muhammad Al-Baqir
- Al-Imam Ja’far Shadiq
- Al-Imam Ali Al-Uraidhi
- Al-Imam Muhammad An-Naqib
- Al-Imam Isa Ar-Rumi
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
- As-Sayyid Ubaidillah
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Muhammad
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
- As-Sayyid Alwi Ammil Faqih
- As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
- As-Sayyid Abdullah
- As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
- As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar atau Syekh Jumadil Kubro
- As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy atau Ibrahim Asmorokondi
- As-Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Sunan Ampel Surabaya.
- As-Sayyid Qasim Syarifuddin atau Sunan Drajat
- Pangeran Trenggono Adipati Surabaya
- Raden Panji Wirya Krama Adipati Surabaya
- Pangeran Panji Jayalengkoro Adipati Surabaya
- Pangeran Pekik Jenggolo Adipati Surabaya
- Pangeran Pengampon
- Kyai Ngarobi atau Raden Satmoto
- Nyai Anom Besari
- Kyai Ageng Muhammad Besari
1.4 Wafat
Kyai Ageng Muhammad Besari wafat pada 1773. Beliau dimakamkan di dekat Masjid Agung Tegalsari yang terletak di Jinontro, Tegalsari, Kec. Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur
2. Sanad dan Pendidikan Kyai Ageng Muhammad Besari
Beliau semenjak kecil di didik dan di besarkan oleh kedua orangtuanya, ayah beliau bernama Kyai Anom Besari yang berasal dari Kuncen, Caruban Madiun. Setelah beranjak dewasa Kyai Ageng Muhammad Besari melakukan perjalanan menuntut ilmu ke beberapa tempat.
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Muhammad Besari
- Kyai Anom Besari (Ayah Kyai Ageng Muhammad Besari)
- Kyai Ageng Donopuro
- Kyai Nur Salim atau Kyai Ageng Mantup
3. Penerus Kyai Ageng Muhammad Besari
3.1 Anak-anak Kyai Ageng Muhammad Besari
- Nyai Abdurrachman
- Kyai Yakub atau Kyai Jakub
- Kyai Ismail atau Kyai Ismangil
- Nyai Buchari
- Kyai Iskak Coper
- Kyai Cholifah
- Kyai Ilyas
- Nyai Bandjarsari menikah dengan Kyai Ibnu Umar yang selanjutnya menjadi tokoh agama di wilayah Banjarsari Madiun.
- Kyai Zainal ‘Abidin menjadi menantu Raja Selangor Malaysia
3.2 Murid-murid Kyai Ageng Muhammad Besari
- Raden Raden Bagus Harun
- Kyai Ibnu Umar atau Kyai Kyai Ibnu Umar
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Muhammad Besari
4.1 Sekilas Masuknya Islam di daerah Ponorogo dan sekitarnya
Sebagai Ulama terkenal, Kyai Ageng Kyai Ageng Muhammad Besari merupakan seorang pendatang di daerah Ponorogo. Beliau berasal dari Madiun, tepatnya Desa Kuncen, Kecamatan Majayan, Kabupaten Madiun jika menggunakan tata administrai wilayah pada masa sekarang. Pada saat itu, wilayah ini dikenal dengan nama Caruban. Dia merupakan anak seorang Kyai yang bernama Kyai Ageng Anom Besari. Ejaan “Besari” ini merupakan proses pembumian dari nama Basori, yang dalam bahasa Arab berarti mata hati (bashorun). Karena terpengaruh lidah lokal, maka nama “Basori” berubah menjadi “Besari”.
Nama Kyai Ageng Anom Besari ini merupakan tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar bagi proses Penyebaran Islam di kawasan Madiun. Nama lain dari Kyai Ageng Anom Besari adalah Kyai Ageng Grabahan. Perubahan nama ini ditengarai akibat upaya Belanda mendeligitimasi peran tokoh masyarakat yang mendakwahkan agama Islam. Hal ini dikarenakan adanya tokoh yang dihormati dan dikeramatkan di tengah masyarakat dikhawatirkan akan menjadi pemacu adanya gerakan untuk melawan Belanda.
Selain itu, Kyai Ageng Anom Besari juga memiliki gelar Raden Neda Kusuma yang merupakan salah satu keturunan Brawijaya ke-14. Hal ini menunjukkan beliau merupakan seorang Kyai yang memiliki nasab baik dan mulia.
Berdasarkan tutur dari masyarakat lokal setempat, Ki Ageng Anom Besari merupakan seorang pendakwah atau penganjur agama Islam di wilayah Caruban yang cukup berpengaruh. Sebutan Ki Ageng Grabahan ini diidentikkan dengan aktifitas ekonomi yang dijalankan oleh Ki Ageng Anom, yakni berjualan Grabah. Grabah sendiri merupakan alat-alat dapur yang dibuat dari tanah liat yang melalui proses pembakaran dalam Api. Jadi nama Kyai Ageng Grabahan ini bukanlah nama asli dari lahir, namun merupakan julukan yang diberikan berdasarkan barang yang dijual oleh Kyai Ageng Grabahan.
Keberadaan Pesantren Tegalsari tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam di Ponorogo. Gambaran ini dapat dilacak dari bibit Islam yang mulai ditanamkan di kawasan Ponorogo pada akhir abad ke-15. Cerita ini bermula ketika Prabu Brawijaya V memiliki anak dari seorang istri selir dari Bagelan (Purworejo Jawa Tengah) yang bernama Lembu Kanigoro alias Kanigoro, yang tidak lain adalah Raden Katong. Beliau telah memeluk Islam bersama saudara tuanya, Raden Patah, anak istri dari selir Campa, yang menjadi pemimpin kerajaan Islam pertama di Jawa, yang berpusat di Demak Bintoro.
Raden Katong, setelah runtuhnya Majapahit, mendapat amanah dan tugas untuk melakukan babat alas atau membangun kabupaten atau wilayah baru serta mendakwahkan Islam ke berbagai pedalaman Jawa, bekas kerajaan Wengker, dengan lokasi antara timur Gunung Lawu dan barat Gunung Wilis ke utara hingga sampai Segara Kidul (pesisir selatan Jawa). Sekarang lokasi tersebut dikenal dengan nama Madiun, Ponorogo, sebahagian Magetan, hingga Pacitan.
Raden Katong sendiri memimpin Ponorogo sebagai Adipati. Beliau dibantu oleh Seloaji, seorang Patih, dan Kyai Ageng Mirah, seorang Penasehat pada bidang agama. Setelah insfrastruktur fisik dan pemerintahan dibangun, beberapa kelompok santri senior dari Demak dan Bagelan, ada kemungkinan juga dari Tembayat (kini Tembayat Klaten JawaTengah), ikut serta terlibat dalam proses penyebaran Islam di kawasan bekas Kerajaan Wengker tersebut.
Rintisan Raden Batara Katong inilah yang kemudian hari melandasi keberadaan Islam dan model keislaman yang diwarisi serta dikembangkan di kawasan Ponorogo dan sekitarnya. Berdasar Babad Ponorogo, tempat pertama kali yang ditanami nilai keislaman dan kesantrian ialah kawasan dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Kemapanan bubak alas tersebut semakin terkonsolidasi dan terorganisir sekitar tahun 1482-an. Sementara untuk peningkatan keamanan dan kemakmuran masyarakat, Raden Katong melakukan berbagai cara untuk berhadapan dengan Ki Ageng Kutu serta pendukungnya, agar kedua simbol pemimpin Islam dan Hindu tersebut dapat hidup secara damai dan berdampingan.
Hal inilah yang kemudian menjadi awal mula adanya sinkretisme tradisi Islam dan Jawa di Pesantren Tegalsari yang dijadikan sebagai cara untuk bisa diterima oleh masyarakat setempat sehingga ada banyak ritual keagamaan di pesantren Tegalsari yang bernuansa Islam, Hindu dan Jawa.Sebagai leluhur dari Kyai Ageng Muhammad Besari, sisa dan jejak perjuangan Raden Katong sendiri dapat ditelusuri di Desa Durisawo, sebelah barat pusat kabupaten Ponorogo. Jejak perjuangan beliau juga dapat diakses di kecamatan Jetis yang berada di sebelah selatan.
Keduanya ditandai dengan adanya masjid dan pesantren yang masih eksis dan survive hingga saat ini. Adanya masjid sebagai simbol berkembangnya agama Islam di daerah tersebut menunjukkan telah berkembangnya nilai-nilai Islam di tengah masyarakatnya yang dipercaya dilakukan oleh leluhur Kyai Ageng Muhammad Besari. Adapun yang berkembang di daerah Jetis tersebut, pada masa lalu, sebenarnya merupakan bekas kademangan (kecamatan) Surukubeng, yang berada di selatan Desa Tegalsari, dan Desa Demangan, yang berada di barat laut Desa Tegalsari.
Sebagai tempat berdirinya pesantren Tegalsari, Ponorogo ini secara spiritual-mistik, berkaitan erat dengan semboyan masyarakat Ponorogo, yakni “jangan mengaji di Pondok, mengajilah di Ponorogo”. Sebagai salah satu kota di Jawa Timur, Ponorogo sangat identik dengan mistik dan berbagai ritualnya. Kenyataan tersebut ditopang dengan penamaan Ponorogo, yang berasal dari Pono yang berarti “tahu” dan Rogo yang berarti “tubuh”. Sebagaimana keterangan dari kalimat tersebut, mengaji di Ponorogo memiliki maksud pencarian tentang diri sendiri, tentang ngelmu tubuh. Ngelmu tubuh yang tidak lain adalah ilmu tentang kesempurnaan hidup, atau dalam istilah dunia pewayangan ialah ngelmu “sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu”. Semboyan tersebut menjadi problematis bagi berdirinya Pesantren Tegalsari sendiri.
Kemunculan Tegalsari sebagai sebuah tempat yang ramai bagi pemburuan ilmu, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pendiri Desa sekaligus Pondok Pesantren, yakni Kyai Ageng Muhammad Besari. Kondisi ini semakin memperoleh momentum baik pada saat Keraton Surakarta di bawah Susuhunan Pakubuwono II datang ke Tegalsari untuk meminta perlindungan saat mereka mengalami instabilitas keraton akibat situasi politik serta intervensi penjajah yang semakin jauh ke jantung keraton. Hal ini menunjukkan pesantren Tegalsari telah memiliki pengaruh kuat hingga ke kantung keraton sehingga pesantren ini dipercaya sebagai tempat untuk meminta perlindungan.
Wibawa Tegalsari terus menanjak naik sampai kepada cucunya yang bernama Kyai Ageng Hasan Besari, yang merupakan guru dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito, yang dikenal sebagai pujangga penutup Jawa.
4.2 Perjalanan Menuntut Ilmu Kyai Ageng Muhammad Besari
Penyebaran Islam di Ponorogo pada era 1700 an juga merupakan periode yang cukup baik. Pada masa ini, tempat ini menjadi kota yang didatangi oleh santri dari berbagai daerah di Indonesia yang datang untuk belajar ilmu agama Islam di pesantren Tegalsari.Penyebaran Islam di area Tegalsari berawal dari kisah Pangeran Sumendhe Ragil, yang merupakan saudara laki-laki dari Sunan Bayat yang juga Kerabat dengan Bathara Katong yang mulai menyebarkan Islam di bumi Jawa Selatan tersebut.
Setelah Pangeran Sumendhe meninggal, beliau dimakamkan sekitar sepuluh kilometer selatan Kota, dekat sungai Keyang. mempertahankan agar makam ini tidak dibongkar oleh kolonial, keluarga Pangeran Sumendhe mendapatkan tanah perdikan karena beliau dianggap sebagai orang berpengaruh dan berjasa. Keluarga Pangeran Sumendhe selanjutnya mendapatkan hasil sawah seluas sepuluh hektar dari tanah perdikan tersebut.
Pemimpin tanah perdikan di area tersebut bernama Kyai Donopura. Beliau dikenal sebagai orang yang suka mengajarkan hikmah. Beliau mendapat julukan “obor dalam gelap” karena kebaikan budinya yang suka menolong orang yang merasa kesulitan. Kyai Mohammad Besari yang merupakan pemuda dari Caruban, Madiun datang menemui beliau dan ingin belajar hikmah kepada beliau.
Kedatangan Kyai Ageng Muhammad Besari ke Ponorogo ini bermula dari rasa ingin menuntut ilmu yang tinggi kepada seseorang Kyai bernama Kyai Donopuro. Kyai Donopuro merupakan seorang kepala desa perdikan Setono Ponorogo yang merupakan keturunan dari Pangeran Sumendhe Ragil. Secara khusus dan pribadi, Kyai Donopuro bertugas merawat makam leluhurnya yang merupakan seorang pemuka agama di Ponorogo. Selain sebagai juru kunci makam, Kyai Donopuro terbiasa mengadakan pendidikan agama Islam. Dia memiliki cukup banyak santri di padepokannya yang cukup terkenal di lingkungan Ponorogo dan sekitarnya.
Hal ini mendorong Khatib Anom, Muhammad Besari dan Nur Shodiq muda tidak kerasan untuk berdiam diri di rumah sehingga ketiga anak dari Kyai Anom Besari ini memutuskan untuk berpamitan kepada orang tuanya hendak menuntut ilmu ke Kyai Donopuro Ponorogo. Sebagai seorang anak dari keluarga terdidik, hal ini sangat wajar dilakukan oleh Kyai Ageng Muhammad Besari kecil karena dia telah dididik untuk mencintai ilmu dalam lingkungan keluarganya sehingga keinginan mendapatkan wawasan tambahan di tempat lain sangatlah besar. Kyai Ageng Muhammad Besari, adalah seorang Jawa yang teraliri dua genetika, yakni dari kalangan raja sekaligus pemuka agama.
Silsilah kedua orang tua Kyai Ageng Muhammad Besari. Kyai Anom Besari dan Nyai Anom Besari merupakan orang-orang terpandang dalam tradisi masyarakat Jawa karena merupakan keturunan Sunan Ampel dan Prabu Brawijaya V. Secara jelas dari jalur ayah, Kyai Anom Besari jika disambungkan nasabnya ke atas akan tersambung hingga Prabu Brawijaya V. Kemudian dari darah ibunya, Nyai Anom Besari, silsilahnya akan sampai kepada Sunan Ampel, Surabaya, yang merupakan bagian dari walisongo, penyebar agama Islam pada masa awal di tanah Jawa. Otentisitas klaim genealogi tersebut berasal dari sumber- sumber internal keturunan Kyai Ageng Muhammad Besari.
Awal mula kelahiran Pesantren Tegalsari dapat ditelusuri dari proses kedatangan Kyai Khatib Anom, Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Nur Shodiq ke Pesantren Sentono, asuhan Kyai Donopuro, yang diperkirakan terjadi pada 1700 M. Sekitar tiga atau empat tahun di Pesantren Setono dan menjadi pemuda yang alim dan mumpuni dalam keilmuan Islam, ketiga bersaudara putra Kyai Ageng Anom Besari Kuncen Caruban tersebut mempunyai keinginan untuk berkeliling Ponorogo.
Ketiga bersaudara ini lantas menjalankan sebuah laku ritual khas dalam tradisi Jawa, yakni bertapa di Gua Bedali, Timur Kota Ponorogo. Laku pertapa tersebut diniatkan untuk memperoleh keberkahan dari Allah, Murbeing Wasesa, bagi diri dan keluarga serta keturunan-keturunan beliau. Mereka bertiga bertapa dengan berbekal jagung tiga tongkol, satu tongkol untuk satu orang
Setelah ketiga bersaudara selesai menjalankan laku tapa, ketiga bersaudara tersebut memutuskan untuk kembali ke Pesantren Sentono. Saat perjalanan menuju pondok, Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Nur Shodiq berjalan-jalan ke arah selatan dari desa Setono hingga tiba di daerah dukuh Mantup (salah satu dukuh di desa Ngasinan, Kecamatan Jetis). Di tengah perjalanan, sang adik, Nur Shodiq, merasa kehausan. Karena di sekelilingnya terdapat pohon kelapa, mereka meminta buah kelapa kepada warga untuk diminum. Seseorang yang dimintai buah kelapa tersebut adalah Kyai Ageng Mantup atau Kyai Nur Salim. Setelah mendapat izin, Muhammad Besari memetik buah kelapa dengan memukul-mukul menggunakan tangan pada pohon kelapa tersebut, sehingga buah kelapa berguguran tidak beraturan. Kelapa yang jatuh merupakan kelapa yang sudah layak konsumsi dan yang belum matang. Hal ini mengakibatkan kedua pemuda tersebut mendapat teguran dari Kyai Ageng Mantup. Tidak hanya menegur saja, Kyai Mantup juga memberikan contoh cara memetik buah kelapa, dengan melengkungkan pohon kelapa sampai bisa dijangkau oleh tangan.
Selepas saling tergur sapa, mereka, Kyai Mantup, Kyai Ageng Muhammad Besari, Kyai Nur Shodiq, terlibat obrolan yang intensif tentang berbagai tema (tidak ada keterangan lebih lanjut terkait hal ini). Sebagai seorang tokoh agama, Kyai Ageng Mantup merasa Kyai Ageng Muhammad Besari memiliki wawasan yang mumpuni, sehingga Kyai Ageng Mantup tertarik untuk menjodohkan Kyai Ageng Muhammad Besari dengan putrinya. Oleh karena itu, Kyai Ageng Muhammad Besari muda kemudian diangkat menjadi menantu dari Kyai Ageng Mantup.
4.3 Mendirikan Pesantren Tegalsari Ponorogo
Pada riwayat lain juga disebutkan, Kyai Ageng Muhammad Besari setiba di Pondok Setono, juga dinikahkan dengan putri dari Kyai Donopuro, seorang guru beliau. Pernikahan kedua ini agaknya yang memberikan ruang lebih luas bagi Kyai Ageng Muhammad Besari muda dalam mengembangkan bakat dan potensi keilmuan beliau kelak.
Setelah beberapa waktu menjadi menantu Kyai Donopuro, Kyai Ageng Muhammad Besari muda didorong oleh mertuanya agar membuka lahan baru dan hidup mandiri bersama keluarga barunya. Atas arahan dari mertuanya tersebut, Kyai Ageng Muhammad Besari membabat alas sebuah tegalan (kawasan perkebunan) milik sang mertua bersama keluarganya.
Pondok Setono dan lahan baru yang dibuka oleh Muhammad Besari tersebut dilintasi Sungai Keyang, yang memisahkan kedua wilayah tersebut. Barat sungai tersebut merupakan kawasan Pondok Setono. Sementara sebelah timur kawasan lahan baru di kemudian hari berubah menjadi Pesantren Tegalsari.
Setelah keluar dari pondok, Kyai Ageng Muhammad Besari tidak melepaskan kebiasaan baik beliau yang telah istiqomah beliau jalankan selama mondok di mertua beliau. Beliau juga menjalankan kegiatan pengajian dan pengajaran tentang agama di rumah beliau. Lambat laun, pengajian serta pengajaran keagamaan tersedut menyedot perhatian masyarakat umum. Menuanya mertua Kyai Ageng Muhammad Besari berpengaruh kepada pamor Pondok Setono.
Sebelum akhirnya tutup usia, sang mertua memerintahkan santri-santrinya untuk boyong ke tempat menantunya guna melanjutkan belajar agama. Sepeninggal Kyai Donopura, yang juga seorang kepala desa perdikan, tampuk kepemimpinan desa perdikan beralih ke menantu satu-satunya tersebut. Hal ini semakin mengukuhkan pengaruh Kyai Ageng Muhammad Besari sebagai tokoh agama dan tokoh desa sekaligus pemimpin pondok pesantren, yang memang sejak semula berdiri sendiri terpisah dari orang tua.
Perpindahan pusat desa serta pendidikan kegamaan ini, menurut Kyai Syamsuddin, keturunan yang juga Takmir Masjid Tegalsari, merupakan pulung atau pinesthi yang dipahami sebagai sebuah kehendak Tuhan, Allah Ingkang Hakaryo Jagad. Kondisi ini juga mengubah posisi kawasan Setono sebagai bagian dari desa dari Tegalsari sebagai pusatnya.
Kelahiran Pesantren Tegalsari itu dimulai sejak Kyai Ageng Muhammad Besari sengaja tinggal bertahun-tahun di kawasan kaki Gunung Wilis tersebut. Setiap hari, Kyai Ageng Muhammad Besari menjalankan hidup prihatin dengan makan akar-akaran, tentu dengan lingkungan yang hening dan sunyi, untuk memfokuskan diri bermunajat dan beribadah kepada Sang Pencipta semata. Selang beberapa waktu, sanak saudara serta keluarga turut pindah ke tempat Kyai Ageng Muhammad Besari, selain dalam rangka kumpul keluarga, juga menimba ilmu dari Kyai Ageng Muhammad Besari. Lambat laun area sunyi tersebut semakin ramai dan diserbu para santri mencari ilmu agama.
Pada masa berdirinya pesantren Tegalsari, berlangsung proses penyebaran Islam di berbagai tempat. Dengan memasukkan pengaruh Islam ke Kraton-kraton Jawa, bahasa religius yang digunakan oleh para penulis babad dan pendongeng semakin dipengaruhi oleh mistisisme sufi, termasuk saat mereka menggambarkan kehidupan penyebar Islam di Jawa. Keunggulan para Wali Songo sebagai pendidik agama Islam berasal dari kekuatan batin mereka untuk mengadopsi sikap halus (mampu mengendalikan perasaan), yang sangat dihargai orang Jawa.
Meskipun diperlakukan secara tidak adil atau marah, Wali Songo hanya menggunakan cara bertempur yang halus sebagai mekanisme pertahanan, salah satunya dengan silat. Lawan mereka yang kasar, sebaliknya, akan berjuang untuk membalas dendam atau mengambil keuntungan dari individu dalam posisi yang lebih lemah. Silat, yang digunakan sebagai teknik pertahanan umum oleh Wali Songo dan pahlawan Jawa lainnya, adalah bentuk seni bela diri lokal yang banyak dikenal yang dikembangkan melalui pengembangan batin melalui periode puasa yang lama, meditasi, dan pantang dari aktivitas seksual. Praktek pertapaan ini adalah alasan bagi orang-orang untuk memupuk kegigihan dalam memelihara 4 kehalusan.
4.4 Metode Pendidikan di Pesantren Tegalsari
Sebagai pesantren yang terletak di Ponorogo, yang merupakan sebuah kota di daerah Jawa bagian Selatan, Pesantren Tegalsari mendapatkan pengaruh kehidupan sosial masyarakatnya yang sangat memegang teguh budaya Jawa. Kehidupan masyarakat Ponorogo sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Mataram. Untuk dapat beradaptasi dan mampu diterima di daerah tersebut, Pesantren Tegalsari melaksanakan ritual dan tradisi yang dilaksanakannya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Jawa yang tidak bersinggungan dengan nilai Islam.
Sistem masyarakat Jawa sendiri memiliki sejarah kelas yang berlapis-lapis. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari historisitas Jawa itu sendiri. Sebagai sebuah Pesantren tua, Pesantren Tegalsari juga tidak bisa melepaskan dirinya dari konflik kerajaan yang ada pada masa itu. Hal tersebut ditunjukkan dengan kesiapan Pesantren Tegalsari untuk menjadi pelindung Pakubuwono II saat kerajaannya mengalami kekacauan. Dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam upaya menyebarkan Agama Islam, Pesantren Tegalsari berusaha untuk menyelaraskan nilai Islam dan nilai kejawen.
Istilah “kejawen” pada awalnya, diduga, merupakan praktik kehidupan beragama yang terimbas oleh pemikiran animistis serta apa yang yang dinamakan doktrin dan praktik Hindu-Budha yang bergabung menjadi satu, menawarkan lahan subur bagi magis, mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa yang sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat keramat. Di sisi lain, masuknya budaya Islam serta sifat peribadatan Islam tidak banyak terjadi gesekan yang cukup berarti bagi penancapan agama baru ini di Pulau Jawa. Agama baru dari Arab ini kemudian bergerak jauh ke pedalaman, dengan bentuk masyarakat yang mampu menyesuaikan diri seraya mengadopsi unsur-unsur Islam. Sehingga ketersilangan Islam dan Jawa inilah yang umum dipahami sebagai Kejawen.
Sebagai pesantren yang lahir dalam masa periode 1700-1900, pesantren Tegalsari berkembang dengan pesat. Hal ini ditunjukkan adanya banyak santri yang mencari ilmu di pesantren Tegalsari dari berbagai daerah. Perkembangan pesantren Tegalsari juga didukung fakta besarnya pengaruh pesantren Tegalsari pada masa tersebut.Perkembangan pesantren Tegalsari tak bisa dipisahkan dengan perkembangan pesantren secara umum pada periode tersebut. Kuatnya Pendidikan Islam di Indonesia pada periode 1700-1900 an ditandai dengan kuatnya pengaruh pesantren.
Hal ini dibuktikan dengan adanya Pengadilan Agama (Priesterreden) yang difungsikan Belanda untuk mengawasi pesantren. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan pesantren cukup menggelisahkan kolonial karena selain mampu menyebarkan nilai-nilai Islam, pesantren juga memiliki massa yang solid dan mudah digerakkan. Adanya pengadilan agama juga menjadi penting bagi Belanda karena pada era ini pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang credible. Pesantren telah mampu mendidik generasi yang mumpuni. Selain itu, di dalam pesantren juga diajarkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotism yang menjadi momok bagi pihak kolonial. Oleh karena itu, Belanda senantiasa berusaha menghalangi perkembangan pesantren
Pada era 1700 an, perkembangan pesantren cukup komprehensif baik di kota maupun desa. Inovasi dilakukan dalam berbagai aspek baik oleh pengasuh pesantren maupun pemerintah. Pada era ini, santri mulai dibekali pengetahuan umum untuk menyiapkan dirinya agar mampu berkiprah di kehidupan masyarakat. Pengetahuan umum juga dimaksudkan agar santri diterima di dunia kerja agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya kelak. Pengetahuan umum mulai diajarkan di sekolah-sekolah di dalam pesantren pada era ini.
Selain dihalangi oleh Belanda, perkembangan pesantren pada era ini mendapatkan tantangan lainnya, yakni dituntut untuk mampu bersaing dengan sekolah-sekolah Belanda. Di Jawa, terdapat 1.853 pesantren pada awal abad 19 dengan jumlah santri 16.556. jumlah ini menjadi bertambah secara drastis pada akhir abad 19 dengan total pesantren yang telah berdiri sebanyak 14.929 dengan 222.663 santri. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren terus mampu berkembang meskipun dibawah tekanan penjajah.
Sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia, pesantren Tegalsari menjadi kawah pembentukan santri ksatria yang dilakukan melalui berbagai tradisi yang dijalankan secara turun temurun sebagai sebuah ritual yang memiliki makna luhur, yang dilaksanakan baik secara oral maupun tindakan. Berbagai santri yang terkenal baik di tingkat nasional maupun internasional lahir dari pesantren ini, termasuk Kyai Hasyim Asy’ari, Pakubuwono II, Ronggowarsito, dan Hasan Dipomenggolo.
Di pesantren Tegalsari, para santri giat melanggengkan berbagai tradisi yang sangat kuat yang ditujukan agar mereka siap berkiprah di masyarakat dan membawa perubahan yang berarti serta siap menjadi garda depan dalam perjuangan umat. Tradisi sendiri dipercaya sebagai mantra, kepercayaan, legenda, kebiasaan dan informasi yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang disampaikan dari mulut ke mulut maupun melalui praktik yang dilakukan secara terus menerus.
Tradisi yang berkembang di pesantren Tegalsari dilaksanakan oleh santri dari masa ke masa dengan bimbingan pengurus pondok pesantren maupun santri senior. Berbagai bentuk pendidikan Islam dan pelestarian tradisi Jawa yang berkembang di pesantren Tegalsari ini menjadi cara pembentukan santri ksatria yang siap berjuang lahir dan batin.
Bentuk pendidikan Islam di pesantren Tegalsari dilaksanakan dengan berbagai cara. Terkait dengan cara mendidik santrinya, Kyai Syamsudin yang merupakan keturunan Pesantren Tegalsari menyatakan bahwa santri Tegalsari dididik di madrasah dan sekolah dengan sistem sorogan seperti dalam kutipan wawancara berikut ini.Pesantren Tegalsari membuat madrasah, sekolah, wetonan, sorogan, berzanjen, sholawatan, rampesan, ujud-ujudan, shollallahu, dzikir sirri, namanya Sathariyah.
Dzikir syatariyah ini yang diucapkan Lailahaillah, Illallah, Allahu, Hu Allah, Hu hu hu. Pesantren Tegalsari disebut sebagai pesantren pertama di Indonesia karena memiliki sistem pendidikan yang jelas. Hal ini selaras dengan pemaparan Kyai Syamsudin bahwa dalam mendidik santri, pesantren Tegalsari telah menggunakan kitab kuning. Santri belajar ilmu agama dengan sistem sorogan.Menurut Kyai Syamsudin, pembacaan kitab kuning dilakukan di area Masjid Tegalsari. Masjid ini selain digunakan sebagai sholat, juga digunakan dalam mempelajari ilmu agama oleh para santri bersama pengasuh pondok.Salah satu hal penting dalam dunia pendidikan adalah penggunaan materi pembelajaran.
Dalam mendidik santrinya, pesantren Tegalsari telah menggunakan berbagai kitab kuning yang kemudian disalin dan digunakan oleh santri. Kyai Syamsudin menuturkan nama penyalin kitab dalam kutipan wawancara berikut ini.Namanya mbah Jaelani. Beliau menulis kitab lama dengan tulisan tangan. Kitab yang ditulis mulai Tafsir Jalalain, Kitab Shittin, Primbon, Ushul fiqh, I’anah, dan Shohih Bukhori.
Nama-nama Kitab yang disebut oleh Kyai Syamsudin merupakan teks pegangan santri dalam mendapatkan pendidikan Islam di lingkungan pesantren Tegalsari. Kitab-kitab kuning tersebut merupakan beberapa kitab yang dikaji santri bersama para pengasuh Tegalsari guna mendalami ilmu agama Islam secara mendalam.Selaras dengan pemaparan Kyai Syamsudin,
Ditemukan berbagai kitab yang digunakan dalam pesantren Tegalsari menurut hasil analisis dari manuskrip Tegalsari yang telah didigitalkan dalam British Library. Diantara kitab kuning tersebut ialah kitab Al-Juharys Samin, Syarh Jauharut Tauhid, Miftah fi Syarhi Ma’rifatil Islam, Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah, Fathul Mubin, Kiyafatul Mufid, Bahjatul Ulum fi Syarhi Bayani Aqidatil Usul atau As-Samarqandi dan kitab At-Tilmisaniy Syarh Zurah yang membahasa Tauhid/Aqidah/Tasawuf.
- Kitab yang membahas Ushuludin yang juga dikaji di pesantren Tegalsari ialah Irsyadul Murid, Tamamun Dirayah li Qarrin Liqayah, dan Ksyifuz Zulmah.
- Kitab fasholatan/doa/wirid yang digunakan di pesantren Tegalsari yakni Al Asma’ al Arbain, Al Muntahiy, dan Mujarobat.
- Kitab yang membahas ilmu Al Quran yang dikaji di pesantren Tegalsari diantaranya adalah kitab Hidayatus Sibyan, Tafsir Jalalain, Tajwidul Fatihah, Tajwidul Quran, Tajwid dan Tafsir.
- Kitab hadits yang dikaji diantaranya ialah kitab Hadits Arba’in Syarh Usfury. Kitab fiqh yang menjadi rujukan ialah kitab Al Muharror, Fathul Mu’in, Bsittin, Fathul Qorib al Mujib dan At Timisani.
- Kitab Nahwu yang dipelajari diantaranya ialah kitab At Tanabbi al Matalib fi Istilahil Matalib. Kitab lain yang juga dipelajari ialah kutipan Ihya’ Ulumudin dan cerita Nabi Ibrahim.
Selain belajar ilmu agama dari berbagai kitab kuning, bentuk pendidikan yang diterapkan oleh pesantren Tegalsari ialah adanya pelatihan kanuragan. Hal ini disampaikan oleh Kyai Syamsudin apada kutipan wawancara berikut ini.
Berkaitan dengan pelatihan kanuragan, yang ahli dalam bidang ini adalah Kyai Nur Shodiq. Kyai Nur Shodiq ini berkeyakinan bahwa jika rambut masih bisa dipotong, maka pelatihan kanuragan akan terus dilaksanakan. Kyai Nur Shodiq ini adalah adik Kyai Muhammad Besari. Beliau lah yang ahli dalam Ilmu Kanuragan.
Dalam hal ini, pelatihan kanuragan ditujukan untuk mengamalkan ajaran Islam terkait menjaga kesehatan dan kekuatan tubuh. Adanya pelatihan kanuragan ini menunjukkan bahwa pesantren Tegalsari membekali santrinya dengan ilmu lahir maupun batin.
Sebagai pesantren yang lahir jauh sebelum kemerdekaan, pesantren Tegalsari juga memiliki berbagai tradisi yang luhur dan memiliki makna agung. Diantara tradisi yang berkembang pada masa tersebut adalah adanya lelaku prihatin yang dilaksanakan melalui pertapa dan puasa. Tradisi lain yang juga berkembang adalah adanya mantra-mantra yang menjadi tradisi oral mistis penuh nilai. Tradisi yang tidak kalah penting dan terus dilanggengkan dalam pesantren Tegalsari adalah sedekahan atau selametan yang menjadi cara untuk mendapatkan keselamatan, perdamain dan ketentraman. Semua bentuk tradisi tersebut menjadi cara bagi pesantren Tegalsari dalam membina santrinya untuk menjadi santri ksatria lahir dan batin.
Sebuah tradisi senantiasa memiliki makna dan maksud serta manfaat yang signifikan sehingga layak dilaksanakan dan dipelajari oleh generasi penerus. Tradisi sendiri bukanlah semata-mata sebuah pengulangan, namun tradisi merupakan keberlanjutan yang ditujukan untuk menjaga kebiasaan yang memiliki tujuan. Setiap tradisi yang diajarkan oleh para pendiri dan pengurus pesantren Tegalsari memiliki tujuan yang komprehensif dalam upaya mewujudkan lahirnya santri yang luhur. Tradisi juga dipercaya sebagai cara yang digunakan oleh para generasi pendahulu untuk membangun identitas tertentu.
Melalui tradisi yang dilaksanakan di pesantren Tegalsari, santri diarahkan untuk memiliki identitas yang kuat sebagai santri ksatria yang tangguh dan siap berkiprah.Tradisi yang berkembang di Jawa memiliki simbol untuk perwujudan keharmonian, termasuk tradisi yang berkembang di pesantren Tegalsari. Setiap pelaksanaan tradisi dilaksanakan santri secara bersama-sama tanpa menunjukkan perbedaan yang ada. Tradisi juga dilaksanakan dengan menjunjung tinggi keharmonian dan kesatuan. Santri yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik suku, daerah, maupun perbedaan lainnya menjadi satu kesatuan di bawah naungan pesantren Tegalsari dan digembleng secara maksimal melalui ritual yang terus dijalankan.
4.5 Raden Bagus Harun (Basyariyah) Menuntut Ilmu pada Kyai Ageng Muhammad Besari
Diceritakan bahwa Kyai Ageng Prungkut Sumoroto mempunyai putra lelaki bernama Raden Bagus Harun (Basjrijah) dan dipondokkan oleh ayahnya di Tegalsari, perlu ikut (nyuwito) sekalian belajar ilmu agama Islam. Raden Bagus Harun berada di tegalsari sangat tunduk dan patuh pada gurunya dan selalu mengikuti segala perintah, bila Kyai akan bersantap yang melayani adalah Raden Bagus Harun dan ditunggui sampai selesai bersantap. Begitu pula mau mandi, Raden Bagus Harunlah yang menimbakan air.
Ketika Raden Bagus Harun mondok di Tegalsari suatu saat di tanah Jawi terjadi kegegeran yang sangat mengerikan yaitu datangnya berandal dari negeri Cina yang merampok dan merampas di Kraton Surakarta. Hal inilah yang membuat Sang Sinuhun meninggalkan kraton dan lolos mengungsi kejurusan timur didampingi Tumenggung Wirotirto didalam perjalanannya hingga sampai didesa Sawo, Ponorogo.
Karena capai dan lemasnya kedua pria agung tersebut berhenti dilereng Gunung Bubuk, sampai sekarang batu yang pernah diduduki masih ada, persis disebelah barat pasar Sawo Ponorogo, akan meneruskan perjalanan kearah Timur sudah tidak kuat disebabkan jalan mulai menanjak gunung. Ketika sang sinuhun melihat ada seorang naik pohon kelapa mangambil nira/legen lalu menanyakan kepada Tumenggung
“He, Wirotirto itu orang naik pohon kelapa kok pakai bumbung segala ?”
Wirotirto menjawab pertanyaan sang Sinuhun “Itu sedang mengambil legen/nira (nderes) akan dibikin gula kelapa.”
Sang Sinuhun bertanya lagi bolehkah kiranya aku minta legennya untuk diminum ?”
“akan saya coba meminta” kata Wirotirto.
Jadilah tumenggung Wirotirto minta legen kepada orang yang nderes dan disampaikan kepada sang Sinuhun.
Setelah sang Sinuhun selesai minum legen, berkatalah beliau kepada yang memberi legen. Pak aku senang sekali atas legen pemberianmu, sungguh berterima kasih aku, mudah-mudahan legenmu oleh yang maha kuasa setelah menjadi gula dijadikan gula yang enak lagi manis sampai turun temurun. itulah sebabnya gula kelapa dari desa Sawo enak rasanya, manis dan gurih dan kuning rupanya sehingga tersohor diseluruh daerah Ponorogo.
Ketika pukul satu tengah malam sang Sinuhun mendengar suara lebah yang sedang kirab keluar dari sarangnya, gemuruh karena banyaknya.
Sang Sinuhun bertanya kepada Wirotirto “Suara apakah itu?”
Wirotirto menjawab “Itu adalah suaranya orang sedang munajad kepada Allah,”
“Kalau begitu mari kita datangi mereka siapa tahu dapat memberikan obat kepada saya,” demikian ajak sang Sinuhun kepada Wirotirto.
Adapun suara yang bergemuruh itu tidak lain adalah suara Raden Bagus Harun dan Kyai Ageng Muhammad Besari bermunajad, memohonkan rahmat dan derajat untuk putra cucunya sampai datang kiamat.Setelah sang Sinuhun bertemu dengan Kyai Ageng Muhammad Besari kemudian menceritakan dari awal sampai akhir tentang kejadian yang menimpa negerei Surakarta.
4.6 Sinuhun Kartasura ke-II (Sinuhun Kumbul) Meminta Bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari Th. 1739-1747
Cerita selanjutnya, Sang Sinuhun menghendaki Kyai Ageng Muhammad Besari ikut membantu mengusir berandal cina, kelak bila dapat berhasil sang Sinuhun akan memberikan hadiah yaitu akan memberi tanah tanpa dikenakan membayar pajak sampai turun temurun, hal itu disambut baik oleh Kyai Ageng Muhammad Besari dengan doa dan solat munajat kepada Allah SWT.
Sesudah berdoa Kyai Ageng Muhammad Besari unjuk bicara , “Gusti yang mulia saya persilahkan kembali ke Negeri Surakarta kini sudah aman dan tenteram. Prajurit berandal cina sudah kembali semua sebab tanah jawa sempit sekali percuma kalau akan memerintah tanah jawa. Untuk kembali ke Surakarta saya minta ditemani oleh Raden Bagus Harun”
Pagi harinya sekira pukul 6 pagi Sang Sinuhun, Tumenggung Wirotirto dan Raden Bagus Harun berangkat menuju Surakarta. Sesampainya di Srandil mereka berhenti untuk beristirahat untuk menghilangkan lelah. Beberapa saat Sang Sinuhun merasa lapar dan kebetulan ada seorang perempuan yang membawa Kemarang ( keranjang dari bambu) yang isinya nasi dan sayur berkuah.
Sang sinuhun bertanya pada Raden Bagus Harun apa boleh minta makanan yang dibawa, dan Mbok Rondojian nama yang membawa makanan dalam kemarang tersebut mengijinkan Sinuhun untuk makan makanan.
Sinuhun bertanya “ini namanya desa apa ya?”
Dijawab oleh Raden Raden Bagus Harun “bahwa desa ini belum ada Namanya”
Karena belum ada nama maka sang Sinuhun memberikan nama Desa Menang sebab “hari ini saya sudah dapat mengusir berandal cina”.
Kemudian sang Sinuhun berkata kepada mbok Rondojian, “Mbok.. saya sangat seneng suatu saat kalau mbok ada waktu datanglah ke Surakarta akan saya beri hadiah”,
Kemudian sang Sinuhun dan pengiringnya melanjutkan perjalanan dengan selamat sampai di Surakarta.
Raden Bagus Harun, sampai di Surakarta terus masuk mesjid Suronatan untuk Sholat Hajad mempertegas permohonannya kepada Allah SWT. Kurang lebih 40 hari lamanya di Kraton Surakarta dan kekuasaan dalam lingkungannya dalam keadaan aman, Raden Bagus Harun mohon ijin pulang ke Tegalsari. Sang Sinuhun mengijinkan dan memberi hadiah berupa Payung Kebesaran dan Lampit ( tikar dibuat dari anyaman belahan rotan) sebagai tanda jasa pembelaan.
Setelah sampai di Tegalsari Raden Bagus Harun melapor kepada Kyai Ageng Muhammad Besari bahwa keadaan di Negeri Surakarta dari awal sampai akhir. Payung dan Lampit pemberian dari Sinuhun sebagai anugrah juga diserahkan kepada Kyai Ageng, tapi Kyai Ageng Muhammad Besari tidak mau menerimanya. Diantara ketidak tahuan yang pasti dari maksud Sinuhun dan Kyai Ageng Muhammad Besari matanya berketap ketip tidak bisa tidur semalaman.
4.7 Kisah Berdirinya Desa Sewulan, Dagangan Madiun
Akhirnya Raden Bagus Harun berketatapan hati untuk kembali ke Surakarta untuk mencari tahu apa maksud payung dan tikar tersebut.Dalam perjalanan menuju Surakarta dalam pikirannya berkecamuk atas kejadian yang dialami sehingga ketika sampai di Surakarta udara waktu panas sekali dia pun membuka Payung untuk berlindung dari terik matahari dan melanjutkan perjalanan sampai dengan Alon-alon Surakarta. Karena demi keamanan sekitar alon-alon dijaga ketat oleh pasukan keraton dengan tentara pemanah yang luar biasa tangkasnya, mengetahui ada orang memakai payung yang tidak jelas penampilannya maka orang tersebut yang tidak lain Raden Bagus Harun dihujani dengan panah namun ajaib tidak ada satu panahpun yang bisa menembus dan melukai Raden Bagus Harun.
Setelah mengetahui yang datang adalah Raden Bagus Harun maka Sang Sinuhun menjelaskan bahwa payung tersebut dianugrahkan kepadanya untuk selama-lamanya, setelah mengetahui yang sebenarnya maksud Sinuhun Raden Bagus Harun mohon ijin untuk pulang kembali ke Tegalsari Ponorogo.
Ketika perjalanan pulang Raden Bagus Harun sampai digrojokan (dam) Bang Peluwang didesa Nglengkong, kec. Sukorejo, Distrik Sumoroto dia berhenti dan berpikir tentang payung dan lampit tersebut : Jika dua benda ini aku simpan sampai kelak kemudian hari, maka anak cucuku nanti pasti punya pikiran gumede, sopo siro sopo insun, maka sambil bermunajad kepada Allah Raden Bagus Harun melempar dua benda tersebut kedalam grojogan tersebut
“Ya Allah, grojogan ini sebagai saksi limpahkanlah karunia berkahmu kepada anak cucuku dengan Kebesaranmu ya Allah.”
Begitulah kata orang-orang yang datang ketempat grojogan Bang Peluwang itu apabila ada penampakan dua benda tersebut maka keberhasilan akan datang pada yang melihatnya. Wallauhallam.
Sekembalinya Raden Bagus Harun dari Surakarata, lalu ikut (nyuwita) lagi pada Kyai Ageng Muhammad Besari, lama kelamaan Raden Bagus Harun mempunyai keinginan menjadi orang yang berdiri sendiri dan mempunyai tanah bukaan (babadan) sendiri juga merdeka seperti Tegalsari.
Pada suatu hari Raden Bagus Harun menghadap Kyai Ageng Tegasari dan menyampaikan keinginan hatinya,
“Duhai rama Panembahan, perkenankanlah kami menyampaikan keinginan kehadapan rama Panembahan, ada apa gerangan coba haturkan.”
“Hamba ingin punya tanah babad sendiri yang merdeka seperti tanah babad milik rama penembahan, kiranya tanah mana yang bisa dibabad untuk anak cucu keturunan kami kelak “demikian tutur Raden Bagus Harun.
Kyai Ageng Muhammad Besari memberi petunjuk, “Harun kalau engkau ingin babad tanah carilah payungmu yang kau buang di grojogan Bang Peluwang dahulu itu, nanti dan kitari mengikuti hutan jangan berhenti sebelum ketemu.”
Kebingungan melanda Raden Bagus Harun kembali, maka sang Kyai Ageng Muhammad Besari menegurnya,”jangan termangu-mangu dan linglung Harun, Allah itu mempunyai kekuasaan yang Maha Besar kalau engkau ingin segera memiliki tanah babad cepat-cepatlah cari payungmu.” Setelah mendengar kata-kata Kyai Ageng Muhammad Besari maka Raden Bagus Harun mencari payung yang dibuang tersebut sampai dengan 1000 hari, baru ditemukan disuatu tempat dengan ditandai bau yang harum ditempat tersebut.
Maka bergegas kembali ke Kyai Ageng Besari sambil menghaturkan payung tersebut dan serta merta sang Kyai menyuruh untuk membuka ( babad) dimana payung tersebut ditemukan. Tempat tersebut akhirnya dinamakan dengan nama desa SEWULAN berasal dari 1000 (sewu) dino.
4.8 Kisah Kyai Zainal Abidin Menjadi Menantu Raja Selangor Malaysia.
Sepeninggal Raden Bagus Harun menuju ketempat baru (sewulan) dari Tegalsari menjadi buah bibir orang-orang sebelah timur gunung lawu sampai ke cangkring Pacitan. Tidak ketinggalan Putri bungsu Tumenggung Cangkringan Pacitan membicarkan kehebatan Tegalsari pada waktu itu, dan matur kepada ayahandanya bahwa kelak menginginkan untuk dijodohkan dengan putra Kyai Ageng Muhammad Besari, Ponorogo. Mendengar permintaan putrinya tersebut Tumenggung Cangkringan Pacitan kemudian berangkat menuju Tegalsari untuk menemui Kyai Ageng Muhammad Besari dan menyampaikan maksud kedatangannya.
Maka Kyai Ageng Muhammad Besari menyambut apa yang dikehendaki oleh Putri Tumenggung Cangkring tersebut dengan penjelasan bahwa Kyai punya Putra tapi buruk rupa dan berperawakan cebol, apa sekiranya putri tumenggung mau dengan putra saya tersebut ?
Tanpa pertimbangan apapun tumenggung Cangkring menyetujui, kemudian pulang ke pacitan sambil berpesan kepada Putra Kyai untuk datang melamar ke Cangkring Pacitan. Tidak lama kemudian Kyai Ageng Muhammad Besari memanggil putranya yang bernama Kyai Zainal Abidin dan memberitahukan tentang maksud pernikahannya dengan putri tumenggung Cangkring Pacitan.
Singkat kata Kyai Ageng Muhammad Besari mengutus kakak Kyai Zainal Abidin yaitu Kyai Ilyas untuk mewakili dan pergi ke Cangkring Pacitan disertai santri untuk keperluan melamarkan adiknya Kyai Zainal Abidin. Tetapi setelah acara pernikahan diatur sedemikian rupa terjadi keributan ternyata setelah dipertemukan antara Kyai Zainal Abidin dan Putri Tumenggung Cangkring sang putri menolak setelah melihat mempelai laki-lakinya buruk rupa dan cebol, dan maunya hanya dinikahkan dengan Kyai Ilyas kakak Kyai Zainal Abidin yang mewakili pada waktu lamaran. Singkat kata untuk menyelesaikan maka akhirnya Kyai Ilyas yang dinikahkan dengan Putri Tumenggung Cangkring dari Pacitan, sedangkan Kyai Zainal Abidin sangat malu atas nasib yang menimpa dirinya dan atas pertimbangan dengan kakaknya Kyai Iskak Coper bermaksud untuk menunaikan ibadah haji kepada orang tuanya.
Karena ketiadaan biaya untuk memberangkatkan kedua putranya ke tanah suci Kyai Ageng Muhammad Besari bermunajad kepada Allah SWT dan setelah selesai bermunajad maka dipanggilah kedua putranya. Nak, lihatlah dibawah pesujudan apabila ada emasnya ambillah untuk berangkat kalau tidak ada mungkin Allah SWT masih memberikan kita ujian untuk bersabar. Maka kedua putra Kyai Ageng Muhammad Besari pergi menuju tempat persujudan dan membuka dibawahnya ternyata ada banyak sekali emas dibawah tempat persujudan, dan mereka mengambil emas secukupnya untuk biaya menunaikan ibadah haji, sambil bersujud pada kedua orang tuanya minta ijin berangkat.
Setelah keduanya pergi menunaikan ibadah Haji dalam perjalanan pulang kapal yang dinaiki keduanya berlabuh diselangor selama 7 hari dan keduanya meluangkan waktu untuk berjalan-jalan melihat keadaan kota. Ketika kapal sudah mau berangkat Kyai Iskhak Coper memanggil adiknya Kyai Zainal Abidin untuk segera naik kekapal, akan tetapi Kyai Zainal Abidin tidak mau dan memilih tinggal di Selangor. Selama di Selangor Kyai Zainal Abidin banyak sekali dan terus menerus melakukan i’tikaf didalam Masjid kota dan menjalani kehidupan sebagai orang perantuan.
Pada suatu ketika putri Kanjeng Sultan Selangor menderita sakit yang tambah lama tdak tersembuhkan. Karena putus asa Sang Sultan membuat sayembara barang siapa yang bisa menyembuhkan sang putri kalau laki-laki maka akan diambil sebagai menantu kalau wanita akan dijadikan anak putri Kanjeng Sultan Selangor, maka sayembarapun bergema sampai pelosok penjuru negeri namun tak satupun yang dapat menyembuhkan penyakit sang putri. Syahdan diceritakan, Kyai Zainal Abidin yang sudah dua bulan melakukan I’tikaf di Masjid kota bermaksud keluar dari masjid untuk melihat lihat sejenak, dan sesampainya diluar gapura masjid mendengar berita tentang sayembara tersebut. Tergerak hatinya mendengarkan penderitaan sang Putri maka diputuskan untuk menghadap sang Sultan dan menyampaikan maksud kedatangannya untuk membantu menyembuhkan putri. Sang Sultan pun berkenan dan Kyai Zainal Abidin dibawa ke keputrian untuk mengusahakan penyembuhan sang putri.
Atas ijin Allah SWT maka Kyai Zainal Abidin bisa menyembuhkan penyakit Sang Putri dan alangkah bahagianya Sang Sultan melihat kejadian tersebut, maka sesuai dengan janji Sultan Kyai Zainal Abidin diambil menantu dan terus dinikahkan dengan putri Raja Selangor. Setelah itu keturunan Kyai Zainal Abidin dan putri Sultan Selangor menjadi penerus kekuasaan raja-raja Selangor.
4.9 Kisah Kyai Ibnu Umar atau Kyai Kyai Ibnu Umar Membuka Desa Banjarsari Madiun.
Sesudah Kyai Ageng Muhammad Besari mengangkat semua putra-putrinya kejenjang rumah tangga, tinggal seorang putrinya yang bungsu yang belum mendapatkan jodoh sehingga membuat prihatin Kyai Ageng Muhammad Besari. Beliau memohon kehadirat Allah SWT agar putri bungsunya segera mendapatkan jodoh.
Diceritakan bahwa Kyai Ageng Pugeru mempunyai putra lelaki yang bernama Kyai Ibnu Umar atau Kyai Kyai Ibnu Umar dilamarkan ke Tegalsari oleh ayahnya.Setelah diterima oleh Kyai Ageng Tegalsari, Kyai Ibnu Umar kemudian dinikahkan dengan putrinya. Antara 7 hari sesudah hari pernikahan di Kraton Yogjakarta terjadi suatu kejadian yang menggemparkan ialah hilangnya Pangeran Singosari yang pergi dari Yogjakarta dan membuka (babad) hutan didaerah Malang, didesa Singosari dan mendirikan istana (Kraton) sendiri.
Sinuhun Yogja bertanya kepada Tumenggung. Ki Tumenggung ini nanti akhirnya bercerita bahwa Pangeran Singosari tidak mau kembali ke Yogja, daripada nanti ada perang Saudara bagaimana ini Tumenggung.
Ki Tumenggung lalu memberikan jawaban kepada Kanjeng Sinuhun Yogja “Gusti sebaiknya paduka saya mohon mengirim utusan ke Tegalsari minta pertolongan kepada Kyai Ageng Muhammad Besari, supaya Kyai Ageng mau mengajak pulang Pangeran Singosari kembali ke Yogja.”
“Kalau demikian engkau saya utus pergi ke Tegalsari menyelesaikan persoalan ini” perintah Sinuhun.
Ki Tumenggung menyanggupi kemudian buru-buru berangkat menuju Tegalsari.Sesampainya di Tegalsari kemudian menemui Kyai Ageng Muhammad Besari dan mengatakan maksud dan tujuannya menghadap Kyai Ageng.
“Kyai saya diutus oelh Sinuhun Yogja untuk mohon bantuan Kyai membawa pulang Pangeran Singosari yang dewasa ini sedang babad dihutan desa Singosari Malang. Dikhawatirkan kalau pengeran tidak mau pulang ke Yogja kelak akan timbul perang saudara. Nanti apabila Kyai Ageng dapat membawa pulang Pangeran Singosari maka Kyai akan diberi anugrah yaitu bumi merdika yang tidak dikenakan pajak untuk selama-lamanya.”
Kyai Ageng Muhammad Besari kemudian memanggil Kyai Kyai Ibnu Umar, putra menantu yang baru menikah dan memerintahkan Kyai Ibnu Umar.
“Hari ini engkau saya utus ke Singosari Malang supaya membujuk pangeran yang sedang Babad hutan mau kembali ke Yogja.”
Kyai Ibnu Umar pun sendiko dawuh atas perintah yang diberikan oleh mertuanya dan berangkat bersama-sama dengan Ki Tumenggung. Sesampainya di Malang Kyai Ibnu Umar sholat di perbatasan hutan yang sedang di buka oleh Pangeran Singosari. Setelah sang Pangeran mengetahui kedatangan tamu dan salah satunya Ki Tumenggung dari Yogja maka Pangeran memerintah senopati untuk menangkap Ki Tumenggung.
Kyai Ibnu Umar menerangkan segala maksud tujuannya menemui Pangeran Singosari dan Ki Tumenggung hanyalah mengantarkan Kyai Ibnu Umar, dan setelah keduanya berbicara panjang lebar akhirnya ada kesepakatan bahwa Pangeran Singosari mau pulang ke Yogja dan Kyai Ibnu Umar sebagai jaminan atas keamanan Pangeran Singosari. Ki Tumenggung diutus berangkat dahulu untuk memberitahu kepada Sinuhun Yogja atas segala perihal yang sudah dilaksanakan dan meminta penjemputan oleh prajurit dibatas kota jogja. Atas jasa Kyai Ibnu Umar maka Sinuhun menghadiahkan bumi Perdikan Banjarsari Madiun bebas pajak
5. Keteladanan Kyai Ageng Muhammad Besari
Kemunculan Tegalsari sebagai sebuah tempat yang ramai bagi pemburuan ilmu, tidak dapat dilepaskann dari pengaruh pendiri Desa sekaligus Pondok Pesantren, yakni Kyai Ageng Muhammad Besari. Kondisi ini semakin memperoleh momentum baik pada saat keraton Surakarta di bawah Susuhunan Pakubuwono II datang ke Tegalsari untuk meminta perlindungan saat mereka mengalami instabilitas keraton akibat situasi politik serta intervensi penjajah yang semakin jauh ke jantung keraton. Hal ini menunjukkan pesantren Tegalsari telah memiliki pengaruh kuat hingga ke kantung keraton sehingga pesantren ini dipercaya sebagai tempat untuk meminta perlindungan
Kelahiran Pesantren Tegalsari itu dimulai sejak Kyai Ageng Muhammad Besari sengaja tinggal bertahun-tahun di kawasan kaki Gunung Wilis tersebut. Setiap hari, Kyai Ageng Muhammad Besari menjalankan hidup prihatin dengan makan akar-akaran, tentu dengan lingkungan yang hening dan sunyi, untuk memfokuskan diri bermunajat dan beribadah kepada Sang Pencipta semata. Selang beberapa waktu, sanak saudara serta keluarga turut pindah ke tempat Kyai Ageng Muhammad Besari, selain dalam rangka kumpul keluarga, juga menimba ilmu dari Kyai Ageng Muhammad Besari. Lambat laun area sunyi tersebut semakin ramai dan diserbu para santri mencari ilmu agama.
Pada masa berdirinya pesantren Tegalsari, berlangsung proses penyebaran Islam di berbagai tempat. Dengan memasukkan pengaruh Islam ke kraton-kraton Jawa, bahasa religius yang digunakan oleh para penulis babad dan pendongeng semakin dipengaruhi oleh mistisisme sufi, termasuk saat mereka menggambarkan kehidupan penyebar Islam di Jawa. Keunggulan para walisongo sebagai pendidik agama Islam berasal dari kekuatan batin mereka untuk mengadopsi sikap halus (mampu mengendalikan perasaan), yang sangat dihargai orang Jawa.
Meskipun diperlakukan secara tidak adil atau marah, Wali Songo hanya menggunakan cara bertempur yang halus sebagai mekanisme pertahanan, salah satunya dengan silat. Lawan mereka yang kasar, sebaliknya, akan berjuang untuk membalas dendam atau mengambil keuntungan dari individu dalam posisi yang lebih lemah. Silat, yang digunakan sebagai teknik pertahanan umum oleh Wali Songo dan pahlawan Jawa lainnya, adalah bentuk seni bela diri lokal yang banyak dikenal yang dikembangkan melalui pengembangan batin melalui periode puasa yang lama, meditasi, dan pantang dari aktivitas seksual. Praktek pertapaan ini adalah alasan bagi orang-orang kudus untuk memupuk kegigihan dalam memelihara 4 kehalusan.
6. Referensi
- Nurdianto, Saifuddin Alif dkk. Kajian Poskolonial Gerakan Pemikiran dan sikap Ulama Pesantren Tegalsari dalam Pusaran Konflik Multidimensional di Jawa (1742-1862), Jurnal Theologia, Vol. 29, No. 1, Juni 2018
- Rohmatullah, Dawam M. Lokal Muslim Heritage: Pelestarian Warisan Budaya Pesantren di Tegalsari Ponorogo, 2nd Proceeding, Annual Conference for Muslim Scholars, Kopertais Wilayah IV Surabaya, 21-22 April 2018
- Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995)
- Daulay, Haidar Putra, Sejarah pertumbuhan dan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007)
- Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982)
- Haji, Haris Daryono Ali, Menggali Pemerintahan Negeri Daha: Dari Majapahit menuju Pondok Pesantren, sebelum Walisongo dan Babad Tegalsari, (Yogyakarta: Elmatera, 2016)
- Ham, Ong Hok, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani Di Karisidenan Madiun Abad-XIX, (Jakarta: KPG, 2018)