1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Pemanahan
1.3 Nasab Ki Ageng Pemanahan
1.4 Wafat
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Pemanahan
3.1 Anak-Anak Kyai Ageng Pemanahan
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Kyai Ageng Pemanahan (dikenal juga sebagai Kiyai Gede Mataram) adalah seorang tokoh perintis wangsa Mataram yang berasal dari Sela (sebuah desa di Grobogan) dan kemudian hijrah ke Pengging. Ia dijuluki sebagai “Pamanahan” karena bertempat tinggal di desa Manahan, suatu tempat di utara Laweyan (sekarang menjadi salah satu kelurahan di Surakarta).
Kyai Ageng Pamanahan adalah putra dari Kyai Ageng Enis, ayahnya merupakan keturunan Kyai Ageng Sela yang pindah dan bertempat tinggal di Laweyan. Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu desa yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Grobogan. Mereka hijrah ke Pengging untuk membantu Sultan Hadiwijaya.
1.2 Riwayat Keluarga Ki Ageng Pamanahan
Dalam Catatan Nasab Kelembagaan Negara dimasa sesudahnya (Negara Kerajaan/ Mataram Raya) beliau memiliki Banyak Putra dan Putri Total tercatat 31 orang
Istri Pertama Kyai Gede Pamanahan adalah Seorang Syarifah dari Keturunan Sunan Giri bernama Syarifah Nyai Gede Pamanahan / Nyai Gede Sabinah binti Pangeran Sobo bin Sunan Kidul bin Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Asmorokondi bin Jamaludin al-Husein Ba’Alawi Al-Huseini. yang dikaruniai banyak putra dan putri di antaranya :
- Raja muda Manduranegara
- Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601)
- Pangeran Ronggo
- Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang
- Pangeran Hario Tanduran
- Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
- Pangeran Teposono
- Pangeran Mangkubumi
- Pangeran Singasari/Raden Santri
- Raden Ayu Kajoran
- Pangeran Gagak Baning (Raja muda Pajang, 1588-1591)
- Pangeran Pronggoloyo
- Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
- Nyai Ageng Panjangjiwa
- Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
- Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
- Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
- Nyai Ageng Suwakul
- Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
- Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
- Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
- Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
- Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
- Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
- Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
- Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
1.3 Nasab Kyai Ageng Pamanahan
Kyai Ageng Pemanahan jika diambil dari garis Ayah Masih keturunan Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi dengan Jalur Silisilah sebagai berikut :
- Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
- Bondan Kejawan atau Lembu Peteng
- Kyai Getas Pandawa
- Kyai Ageng Selo
- Kyai Ageng Enis
- Kyai Ageng Pemanahan
1.4 Wafat
Kyai Ageng Pemanahan Wafat pada 1584 dan dimakamkan dikomplek pemakaman Mataram di Kota Gede
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Pamanahan
Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Kyai Ageng Enis
2.1 Guru-guru Kyai Ageng Pamanahan
- Ki Ageng Enis
- Ki Ageng Sela
- Sunan Kalijaga
3 Penerus Kyai Ageng Pamanahan
3.1 Anak-anak Kyai Ageng Pamanahan
- Raja muda Manduranegara
- Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601)
- Pangeran Ronggo
- Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang
- Pangeran Hario Tanduran
- Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
- Pangeran Teposono
- Pangeran Mangkubumi
- Pangeran Singasari/Raden Santri
- Raden Ayu Kajoran
- Pangeran Gagak Baning (Raja muda Pajang, 1588-1591)
- Pangeran Pronggoloyo
- Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
- Nyai Ageng Panjangjiwa
- Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
- Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
- Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
- Nyai Ageng Suwakul
- Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
- Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
- Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
- Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
- Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
- Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
- Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
- Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Pamanahan
Kyai Ageng Pamanahan atau Kyai Gede Pemanahan atau Kyai Gede Mataram adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam). Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Pemanahan adalah putra Kyai Ageng Ngenis dan cucu Kyai Ageng Sela. Beliau mempunyai nama kecil Bagus Kacung. Nama “Pamanahan” diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat yang bernama Pamanahan di utara Laweyan (Surakarta). Kyai Ageng Pemanahan adalah keturunan orang-orang Sela (nama lama untuk Pati) yang pindah ke Pajang. Kyai Ageng Pemanahan menikah dengan sepupunya, Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Kyai Ageng Enis). Dari hasil pernikahannya, Kyai Ageng Pemanahan dikaruniai seorang putra bernama Bagus Srubut atau Sutawijaya.
Beliau memiliki saudara angkat bernama Kyai Panjawi. Keduanya belajar pada Kyai Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Kyai Ageng Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama di Pajang. Nama “Pamanahan” diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat di utara Laweyan bernama Manahan, sekarang menjadi kelurahan di Kota Surakarta yang dikenal sebagai kawasan pusat keolahragaan. Suatu petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Kyai Ageng Pamanahan biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan di Kampung Ngumbul. Atas prakarsa RM. Ng. Poerbatjaraka, Mangkunagara VII membangun tembok yang mengelilingi tempat tersebut.
Pada tahun 1556 Kyai Ageng Pemanahan mendapat mandat dari Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang pada waktu itu) untuk memimpin Bumi Mentaok (Mataram) sebagai bupati. Pada zaman dahulu, Hutan Mentaok merupakan wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno yang menguasai wilayah Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-8 hingga abad ke-10. Setelah Kerajaan Mataram Hindu memindahkan pusat kerajaannya ke daerah Jawa Timur, wilayah pusat kerajaan yang lama akhirnya menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok. Beberapa abad kemudian, Alas Mentaok menjadi wilayah Kesultanan Pajang. Pada 1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan kepada Kyai Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya, bersama Kyai Penjawi dan putranya, yaitu Danang Sutawijaya dalam menumpas pemberontakan Aryo Penangsang, Adipati Kadipaten Jipang Panolan yang berpusat di daerah Panolan, Kedungtuban, Blora, Jawa Tengah.
Dikisahkan sebelum peristiwa tersebut, Kyai Ageng Pemanahan pergi ke Pajang untuk mengabdikan diri kepada negara dan pemerintah Pajang, kerajaan yang baru saja berdiri sesudah Kerajaan Demak runtuh. Pada waktu itu terjadilah suatu peristiwa yang menimpa Kerajaan Demak, yakni pertempuran perebutan kekuasaan antara Aryo Penangsang, keturunan Sekar Sedo Lepen, melawan Hadiwijaya, pengganti Sunan Prawoto. Dalam pertempuran itu, Aryo Penangsang mengalami kekalahan dan Hadiwijaya keluar sebagai pemenang. Akhirnya, Hadiwijaya mendirikan Kerajaan Pajang. Pada waktu pertempuran itu terjadi, Ki Ageng Pemanahan adalah tokoh perang yang membantu dan menentukan kemenangan di pihak Pajang. Dalam peperangan melawan Aryo Penangsang tersebut, Kyai Ageng Pemanahan dibantu oleh Saudara angkatnya Kyai Penjawi dan anak laki-lakinya yang bernama Sutawijaya.
Dalam pertempuran itu, akhirnya Aryo Penangsang mati terbunuh sehingga tahta kerajaan tetap berada di tangan Hadiwijaya. Dengan kemenangan yang gemilang itu, Kyai Ageng Pemanahan mendapat anugerah dari Sultan Pajang, yaitu berupa tanah di Bumi Mentaok. Hutan (Alas) Mentaok diberikan oleh Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan tidak secara cuma-cuma. Namun, diberikan sebagai hadiah sayembara dari Sultan Hadiwijaya kepada siapa saja yang berhasil membunuh Aryo Penangsang (Adipati Jipang Panolan). Aryo Penangsang terkenal sakti dan merupakan anak angkat dan murid kesayangan dari Sunan Kudus. Perang tanding antara Danang Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan) dan Aryo Penangsang terjadi di pinggir Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya, perang tanding tersebut dimenangkan oleh Danang Sutawijaya yang berhasil membunuh Aryo Penangsang dengan menggunakan tombak Kiai Pleret (tombak pemberian Sunan Kalijaga, sesaat sebelum Danang Sutawijaya berangkat perang tanding melawan Aryo Penangsang).
Setelah peperangan, Kyai Ageng Pemanahan, Kyai Juru Mertani, dan Kyai Penjawi menyusun strategi supaya nama Sutawijaya tidak disebutkan dalam laporan sehingga akhirnya Sultan Hadiwijaya memberikan penghargaan Kadipaten Pati kepada Kyai Penjawi dan memberi Bumi Hutan Mentaok kepada Kyai Ageng Pemanahan. Perjuangan belum selesai. Beberapa tahun setelah Sultan Hadiwijaya memberikan Bumi Pati kepada Kyai Penjawi, Bumi Hutan Mentaok belum juga diberikan kepada Kyai Ageng Pemanahan. Kyai Ageng Pemanahan sempat kecewa dengan sikap Sultan Hadiwijaya yang terpengaruh oleh ramalan Sunan Giri III. Ramalan tersebut mengatakan bahwa jika bumi Hutan Mentaok diberikan kepada Kyai Ageng Pemanahan, bumi Hutan Mentaok akan menjadi sebuah kerajaan besar, yang akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Selanjutnya, atas bantuan Sunan Kalijaga, Bumi Hutan Mentaok akhirnya diberikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Kyai Ageng Pemanahan.Setelah serah terima wilayah Alas Mentaok dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Kyai Ageng Pemanahan, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani kemudian membuka Alas Mentaok, yang saat itu berupa hutan lebat, menjadi sebuah desa. Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya diberi nama Mataram dan berstatus sebagai tanah perdikan atau swatantra atau daerah bebas pajak.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Alas Mentaok semakin berkembang, penduduknya bertambah, dan menjadi sebuah daerah yang makmur yang akhirnya berubah menjadi sebuah kerajaan, yaitu Mataram. Perubahan itu terjadi setelah putra Ki Ageng Pemanahan, yang bernama Bagus Srubut atau R.Ng. Sutawijaya, memerintah menjadi raja menggantikan Raja Pajang. Raden Sutawijayalah yang pada akhirnya menurunkan raja-raja yang memerintah daerah-daerah di tanah Jawa. Beliau menjadi orang pertama dari dinasti Mataram yang menguasai Kesultanan Mataram sebagai Panembahan Senapati.
Dalam Babad Tanah Jawi juga dikisahkan keistimewaan lain yang dimiliki oleh Kyai Ageng Pemanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, sebelum berdirinya Desa Mataram yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram, terdapat kisah menarik tentang hubungan antara Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring yang pada akhirnya melahirkan Kesultanan Mataram. Kyai Ageng Giring merupakan salah satu putra dari Prabu Brawijaya IV, Raja Majapahit dengan Retno Mundri. Kyai Ageng Giring dikenal masyarakat sebagai sosok yang selalu memperdalam ilmu keagamaan dan ibadahnya secara teratur. Tidak mengherankan jika Kyai Ageng Giring sering kali diminta oleh masyarakat sekitar untuk memberikan petunjuk dan pertolongan. Oleh karena keahliannya itu, Ki Ageng Giring diangkat sebagai sesepuh, menjadi “lubuk ilmu tepian akal” atau tempat orang bertanya dan mengadukan masalah yang sulit.
Dikisahkan bahwa Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Keduanya mengembara untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Keduanya merupakan tokoh besar yang berkaitan dengan sejarah berdirinya Kesultanan Mataram. Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring merupakan orang-orang sakti yang banyak melakukan laku tapa. Karena kesaktiannya, orang-orang di sekelilingnya tidak dapat meremehkan mereka. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, mereka juga memiliki cita-cita yang tinggi. Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk anak cucu dan keturunannya. Mereka bercita-cita, keturunan mereka ada yang dapat menduduki tahta sebagai raja.Untuk mencapai cita-cita tersebut, Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring melakukan laku tapa mengasingkan diri dari keramaian dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, dan tidur) untuk memperoleh ketenangan batin dan petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Laku tapa yang dilakukan Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring semata-mata atas petunjuk Sunan Kalijaga yang melihat isyarat turunnya wahyu Keraton Mataram.
Sunan Kalijaga menganggap keduanya merupakan santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Giring pun segera melaksanakan perintah Sunan Kalijaga melakukan laku tapa. Pada suatu ketika, Kyai Ageng Pemanahan berkehendak untuk bertapa. Konon, setelah beberapa waktu bertapa, beliau mendapat wisik atau petunjuk gaib seolah-olah kedatangan Sunan Kalijaga. Dalam wisiknya itu, Kyai Ageng Pemanahan merasa diajak oleh Sunan Kalijaga pergi ke tempat seorang petapa yang bernama Kyai Kembang Ampir. Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa Kyai Kembang Ampir itu bertapa untuk memohon agar keturunannya kelak dapat menjadi raja di Pulau Jawa. Sesampainya di tempat yang dituju, Sunan Kalijaga mengetuk sebuah batu besar. Ternyata di dalam batu itu ada Kyai Kembang Ampir yang seketika itu langsung keluar. Setelah keluar dari batu itu, Kyai Kembang Ampir diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga kepada Kyai Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Ampir melanjutkan tapanya, sedangkan Sunan Kalijaga beserta Ki Ageng Pemanahan melanjutkan perjalanannya.
Dalam perjalanan tersebut, Sunan Kalijaga memberitahukan bahwa sesungguhnya wahyu keraton itu adalah kehendak Tuhan. Manusia tidak dapat menerima kalau Tuhan tidak menghendakinya. Demikian juga dengan Kyai Ageng Pemanahan, jika beliau akan menerima wahyu, tidaklah kurang seribu jalan. Sebaliknya, jika sudah ditakdirkan untuk tidak menerima wahyu, dikejar bagaimana pun beliau tidak akan berhasil. Setelah Sunan Kalijaga menemui Pemanahan, beliau kemudian menghilang. Beliau hanya berpesan kepada Pemanahan agar melanjutkan tapanya sambil terus berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan.
Sementara itu, di tempat lain Kyai Ageng Giring juga melakukan laku tapa untuk mencapai niatnya. “Untuk mencapai keinginanku, aku harus melakukan laku tapa dengan tenang, jauh dari keramaian. Ya, tampaknya gua merupakan tempat yang cocok untuk bertapa. Namun, berapa lama tapa itu harus dilakukan agar Sang Pencipta dapat mengabulkan permintaanku ini? Apakah satu atau dua tahun? Bagaimana caranya? Apakah aku harus bersila atau bagaimana?” batin Kyai Ageng Giring. Lama Kyai Ageng Giring merenung dan belum juga memperoleh jawaban atas niatnya tersebut. Ki Ageng Giring meminta bantuan istrinya untuk memberikan jalan keluar yang baik.“Mbok Nyai, bagaimana kiranya aku dapat melakukan laku tapa yang baik, di mana, harus bagaimana, dan berapa lama?” tanya Ki Ageng Giring kepada istrinya.Istri Kyai Ageng Giring kemudian memberikan nasihat agar waktu dan cara laku tapa tidak perlu dipikirkan sekarang. Beliau meminta agar suaminya berangkat saja ke tempat yang sudah lama dibayangkan. “Kyai, berangkatlah segera ke tempat yang Kyai Ageng sudah rencanakan. Nanti, setiba di sana, akan ada suara hati yang membisik,” kata istri Kyai Ageng Giring.Setelah mendengar nasihat itu, Kyai Ageng Giring masih merenung sejenak lalu mengangguk tiga kali. “Benar kata istriku, aku harus segera berangkat ke tempat itu dan menunggu bisikan hati tentang apa yang harus aku lakukan setelah itu.”Kyai Ageng Giring kemudian teringat akan mimpinya semalam.
Mimpinya semalam dirasakan Kyai Ageng Giring agak lain dari malam-malam biasanya. Adapun impian itu adalah agar sebelum berangkat bertapa, beliau menemui Kyai Bintuluaji terlebih dahulu. Kyai Bintuluaji merupakan salah satu teman seperguruan Kyai Ageng Giring saat masih muda ketika menimba ilmu berolah batin. Namun, dalam hal kesaktian, Kyai Bintuaaji selalu memandang Kyai Ageng Giring sebagai sosok yang lebih hebat daripada dirinya.Mengapa Kyai Ageng Giring harus menemui Kyai Bintuluaji? Dalam mimpinya, Kyai Ageng Giring diminta untuk memberikan serabut kelapa kepada Ki Bintuluaji dengan maksud untuk ditanam agar kelak tumbuh menjadi pohon kelapa. Menurut mimpinya, Ki Ageng Giring harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan meminum airnya agar kelak dapat menurunkan raja. Tentu saja, hal ini membuat Ki Ageng Giring termangu.“Aku tidak habis pikir, bagaimana serabut kelapa bisa tumbuh menjadi pohon? Bukankah tidak demikian cara menanam kelapa? Sebutir kelapa yang dibiarkan saja, kelak akan muncul tunasnya?” Kyai Ageng Giring bertanya-tanya di dalam hati.Perintah yang datang melalui mimpi itu dirasakan aneh oleh Ki Ageng Giring. Benar-benar tidak masuk akal. Kemudian, Kyai Ageng Giring menyampaikan mimpinya itu kepada istrinya.Sambil tersenyum, istri Ki Ageng Giring berkata, “Sudahlah, Kyai, sebaiknya Ki Ageng laksanakan saja. Apakah kelak dari serabut kelapa itu akan tumbuh sebatang pohon atau tidak, sebaiknya tidak perlu dirisaukan.” “Segeralah untuk menemui Kyai Bintuluaji, Kyai,” lanjut Nyai Ageng Giring. Setelah mendengar nasihat istrinya, Kyai Ageng Giring segera berangkat ke rumah Kyai Bintuluaji. Beliau ingin segera menemui teman seperguruannya itu.
Waktu itu hari masih pagi, ketika Ki Ageng Giring tiba di rumah Ki Bintuluaji. Ki Bintuluaji terlihat agak terkejut dengan kedatangan Ki Ageng Giring. Tumben, Ki Ageng Giring datang menemuinya setelah sekian lama tidak bersama.“Tumben, Kakang datang ke rumah?” tanya Ki Bintuluaji sambil mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah dan duduk di atas balai-balai. Ki Bintuluaji segera memanggil istrinya dan memberitahukan bahwa Ki Ageng Giring datang.“Nyai, Nyai, ke sini sebentar. Ini, kita kedatangan tamu agung, Ki Ageng Giring,” teriak Ki Bintuluaji memanggil istrinya.Alangkah bersukacitanya Nyai Bintuluaji melihat kedatangan Ki Ageng Giring. Beliau segera menyambutnya dan segera menawarkan minuman dan ubi rebus yang beliau masak. “Selamat datang, Ki. Terima kasih telah sudi bertandang ke gubuk kami,” sambut Nyai Bintuluaji.“Kebetulan, Ki, saya tadi memasak ubi rebus. Ini masih hangat dan sepertinya nikmat untuk disantap pagi ini. Bukankah begitu, Kakang Bintuluaji?” tutur Nyai Bintuluaji. “Betul, Nyai, tolong buatkan kami kopi untuk menemani ubi rebus ini,” pinta Ki Bintuluaji kepada istrinya. “Baiklah, Kakang. Segera aku buatkan,” jawab Nyai Bintuluaji sembari masuk ke dalam menuju dapur.
Sepeninggal Nyai Bintuluaji, Ki Bintuluaji menanyakan maksud kedatangan Ki Ageng Giring ke rumahnya.“Tampaknya, ada sesuatu yang penting sehingga Ki Ageng bertandang ke gubuk kami ini?” tanya Ki Bintuluaji.“Benar. Begini, Adi Bintuluaji. Aku hendak bertapa. Lama. Mungkin tidak dalam hitungan minggu atau bulan. Akan tetapi, mungkin hitungan tahun atau beberapa tahun,” kata Ki Ageng Giring. Kemudian, Ki Ageng Giring menyerahkan seonggok serabut kelapa kepada Ki Bintuluaji.“Apa ini, Ki? Maksudnya apa?” tanya Ki Bintuluaji penuh penasaran kepada Ki Ageng Giring.“Sudahlah, jangan kau tanyakan tentang hal ini. Lakukan saja apa perintahku. Tanamlah serabut kelapa ini. Kelak, serabut ini akan tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa. Pohon itu akan berbuah sebutir. Jagalah, pohon itu. Jangan sampai ada orang yang berani mengusik pohon itu, apalagi berani memetik buah kelapanya,” pinta Ki Ageng Giring.“Baiklah, Ki, tetapi sebentar, Ki. Ada yang mengganjal di benakku tentang serabut kelapa ini. Apakah mungkin dari serabut kelapa yang ditanam akan tumbuh menjadi sebuah pohon, Ki?” tanya Ki Bintuluaji. “Itulah, Adi Bintuluaji, aku juga tidak tahu. Akan tetapi, demikianlah perintah yang datang melalui mimpiku. Tolong, Adi Bintuluaji. Aku mohon kau dapat melakukannya untukku. Aku mohon tanamlah serabut kelapa ini,” pinta Ki Ageng Giring. Akhirnya, Ki Bintuluaji menuruti apa yang diperintahkan oleh Ki Ageng Giring, saudara seperguruannya yang lebih tua. Setelah maksud dan tujuannya tersampaikan, Ki Ageng Giring berpamitan dengan Ki Bintuluaji.
Sepeninggal Ki Ageng Giring, Ki Bintuluaji termenung, tidak habis pikir tentang permintaan Ki Ageng Giring yang tidak masuk akal.“Bagaimana mungkin dari seonggok serabut kelapa yang ditanam akan tumbuh pohon kelapa? Aneh, aneh, tidak masuk akal. Belum pernah aku mendengar orang yang menanam pohon kelapa dari serabut kelapa,” batin Ki Bintuluaji ketika mencoba untuk mencerna kembali permintaan Ki Ageng Giring.Ketika melihat sang suami yang tampak berpikir dan kebingungan, Nyai Bintuluaji bertanya, “Ada apa, Kakang, tampaknya ada sesuatu yang membuat Kakang bingung?” “Nyai, permintaan Ki Ageng Giring yang membuat aku bingung. Ki Ageng Giring memintaku menanam serabut kelapa agar kelak tumbuh menjadi pohon kelapa. Permintaan yang aneh dan tidak masuk akal, Nyai. Bagaimana aku bisa melakukannya?” kata Ki Bintuluaji.“Sudahlah, turuti saja permintaan Ki Ageng Giring, Kang,” kata Nyai Bintuluaji.Ki Bintuluaji pun menjalankannya dengan penuh semangat. Bahkan, beliau berdoa kepada Sang Pencipta. Beliau berharap bahwa apa yang diimpikan oleh Ki Ageng Giring benar-benar terjadi.
Selang beberapa hari, keanehan terjadi. Setelah serabut kelapa ditanam, dari bawah tanah mulai tampak tunas yang timbul di permukaan tanah. Makin lama makin tinggi.Seiring waktu, Ki Bintuluaji pun rajin merawatnya. Bahkan, malam hari, menjelang tidur, Ki Bintuluaji selalu menyempatkan diri melihat pertumbuhan tunas kelapa tersebut. Lambat laun, tunas itu menjadi pohon. Pohon itu terlihat menjulang tidak terlalu tinggi, tetapi mulai berbuah yang merupakan buah satu-satunya.Ketika buah itu mulai besar, muncullah Ki Ageng Giring. Kedatangan Ki Ageng Giring yang tiba-tiba membuat Ki Bintuluaji terkejut karena beliau tidak menyangka kedatangannya. Yang lebih mengejutkan lagi, Ki Ageng Giring segera memanjat pohon dan memetik buah kelapa itu.“Ki, Ki Ageng, janganlah kaupanjat pohon kelapa itu. Bukankah kau sudah memerintahkan bahwa tak seorang pun boleh memetiknya dan aku selama ini telah menjaganya,” teriak Ki Bintuluaji.Akan tetapi, Ki Ageng tidak memperdulikan teriakan Ki Bintuluaji. Beliau terus memanjat dan akhirnya memetik buah kelapa satu-satunya di pohon tersebut. Setelah dipetiknya buah kelapa itu, beliau tidak langsung menjatuhkan buah kelapa itu sebagaimana biasanya orang-orang yang memetik buah kelapa. Dengan hati- hati dibawanya buah kelapa itu dengan cara dibungkus pada kain sarung yang diikatkan pada pinggangnya. Setelah memperoleh buah kelapa tersebut, Ki Ageng Giring segera turun dari pohon dan bergegas pulang.
Tidak dihiraukannya lagi teriakan Ki Bintuluaji yang memanggilnya. Ki Ageng Giring segera menuju ke dapur. Beliau segera meletakkan buah kelapanya itu di atas pogo (‘almari yang digunakan untuk menyimpan perkakas dapur’). Pada saat bersamaan, Ki Ageng Giring teringat akan bisikan gaib yang beliau dengar saat bertapa bahwa beliau harus minum air kelapa itu sampai habis sekali teguk.“Sampai habis? Bagaimana bisa? Aku tidak biasa minum sebanyak itu, kecuali dalam keadaan sangat haus. Bagaimana caranya?” gumam Ki Ageng Giring.Akhirnya Ki Ageng Giring menemukan sebuah cara agar beliau dapat minum air kelapa muda itu dengan sekali teguk. Keesokan harinya Ki Ageng Giring berencana untuk bekerja keras di ladang tanpa membawa bekal minuman atau pun makanan agar sepulang dari ladang beliau merasakan haus yang amat sangat. Dengan demikian, beliau berharap dapat menghabiskan air kelapa muda tersebut.Keesokan harinya, berangkatlah Ki Ageng Giring ke ladang untuk bekerja keras dengan harapan agar beliau merasa sangat haus dan dapat segera meminum air kelapa muda bertuah yang kemarin sudah disiapkan. Satu jam setelah Ki Ageng Giring pergi, datanglah Ki Ageng Pemanahan yang terlihat sangat kehausan. Ketika melihat hal tersebut, Nyai Ageng Giring bergegas membuatkan minuman. Nyai Ageng Giring pun menuju ke dapur. Namun, rupanya Ki Ageng Pemanahan tidak kuasa menahan rasa hausnya tatkala dilihatnya buah kelapa muda di atas pogo, dekat pintu masuk dapur. Ki Ageng Pemanahan segera menyusul di belakang Nyai Ageng Giring, mengambil kelapa muda tersebut dan segera meminumnya. Apa yang dilakukan Ki Ageng Pemanahan itu, tentu saja membuat Nyai Ageng Giring terkejut.
Sementara itu, setelah seharian bekerja keras di ladang, Ki Ageng Giring bergegas pulang. Sesampainya di rumah, beliau segera menuju ke pogo untuk mengambil air kelapa muda. Hal itu memang dia sengaja dengan maksud agar dapat menghabiskan air kelapa muda yang telah tersedia di atas pogo sejak tadi pagi. Beliau ingin segera meminum dan menghabiskan air kelapa muda yang bertuah itu. “Harus habis, tak boleh tersisa sedikit pun,” ujarnya dalam hati. Namun, betapa kecewanya Ki Ageng Giring ketika mendapati kelapa muda tadi sudah tidak berisi. “Ah, mungkin sudah dipindah ke tempat lain oleh istriku,” gumamnya.Segera Ki Ageng Giring bertanya kepada istrinya, “Mbok Nyai, mana kelapaku tadi? Bawa kemari, Nyai! Cepatlah, aku haus sekali!” teriak Ki Ageng Giring kepada istrinya. Nyai Ageng yang mendengar teriakan suaminya tadi segera mendekat dengan diiringi perasaan takut dan badan menggigil. Dengan suara tersendat-sendat, beliau berkata, “Ki …, ampuni aku. Tadi pagi Pemanahan datang kemari untuk meminta air. Beliau tidak sabar menanti kubuatkan minuman. Tanpa aku sadari, beliau mengikutiku dari belakang. Beliau langsung menuju ke dapur. Karena melihat ada kelapa muda, beliau segera mengambil kelapa muda itu. Beliau lantas segera meminum habis air kelapa tersebut.
Kebetulan saat itu aku sedang menuangkan air ke cangkir, dari arah belakang aku mendengar suara orang sedang meneguk air. Saat aku menoleh, aku melihat Pemanahan telah selesai meminum air kelapa muda. Kemudian, beliau meletakkan kembali kelapa muda yang kosong itu ke atas pogo. Aku berpikir, pasti nantinya aku akan dimarahi Ki Ageng atas kejadian tersebut. Demikian juga kukatakan kepada Pemanahan bahwa beliau juga pasti akan dimarahi Ki Ageng. Akan tetapi, seketika itu Pemanahan mengatakan bahwa segala sesuatu yang akan terjadi akibat perbuatannya itu akan dihadapinya, termasuk semua dosa akan ditanggungnya sendiri. Oleh karena itu, terserahlah kepada Ki Ageng Giring akan berbuat apa kepada dirinya. Aku hanya pasrah, Ki. Terserah Ki Ageng akan memberi hukuman apa atas kelalaianku itu,” kata Nyai Ageng Giring seraya menyerah.
Spontan wajah Ki Ageng Giring menjadi merah padam setelah mendengar penuturan istrinya tersebut. Ki Ageng Giring yang kembali dari ladang hanya dapat meratapi ketika mendapati air kelapa muda bertuah yang beliau petik sudah tidak lagi ada di tempatnya. Ternyata Ki Ageng Pemanahanlah yang telah meminum air kelapa muda tersebut. Setelah mendengar perkataan Nyai Ageng Giring, Ki Ageng Giring merasa seakan hancur hatinya, sedih, dan sangat kecewa. Lama beliau terdiam. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, beliau pun mengetahui takdir. Sudah takdir Tuhan bahwa Ki Ageng Pemanahanlah yang akan menurunkan raja-raja yang kelak akan menguasai tanah Jawa. Dengan langkah lebar beliau mengejar Ki Ageng Pemanahan yang belum terlalu jauh perginya. Ki Ageng Giring berniat melampiaskan kemarahnya kepada Ki Ageng Pemanahan. Namun, apa yang terjadi, sungguh tidak disangka-sangka. Setelah keduanya bertemu, perasaan marah dan dendam Ki Ageng Giring kepada Ki Ageng Pemanahan pupus sudah.Ki Ageng Giring tidak kuasa lagi melampiaskan amarahnya.
Dengan perasaan haru, beliau mengusap dada seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Ki Ageng Pemanahan sambil berkata, “Selamat, wahai engkau, Pemanahan. Mungkin sudah menjadi takdir Tuhan, engkaulah yang akan beruntung mendapatkan wahyu.”Ki Ageng Pemanahan dengan cepat memotong pembicaraan Ki Ageng Giring dengan berkata, “Kakang Ageng, … apa maksud Kakang Ageng berkata demikian? Aku menjadi bingung dan tidak mengetahui maksud pembicaraan Kakang. Apa pula yang Kakang maksudkan bahwa aku mendapatkan wahyu?” Ki Ageng Giring meneruskan pembicaraannya, “Ah, jangan kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Kita sama-sama menjdi panutan masyarakat di daerah ini dan kita selalu dihormati dan disegani oleh masyarakat. Oleh karena itu, janganlah kita saling membuat kecewa pihak lain. Kita tidak bersikap terus terang dan apa adanya.” Ki Ageng Pemanahan masih belum mengetahui apa maksud Ki Ageng Giring. Karena melihat Ki Ageng Pemanahan kebingungan, Ki Ageng Giring lalu memutuskan untuk menceritakan masalah kelapa muda yang bertuah tadi sambil berkata, “Baiklah, Pemanahan.
Aku akan menceritakan kepadamu tentang kelapa muda yang telah kau minum tadi. Beberapa waktu sebelumnya, ketika aku akan menyadap air nira tiba-tiba aku mendengar suara gaib dari sebatang pohon kelapa yang hanya berbuah sebiji. Suara gaib itu menyebutkan bahwa barang siapa yang dapat meminum air kelapa dari pohon tadi dan dapat habis sekali minum, beliau akan dapat menurunkan raja-raja di Pulau Jawa ini. Setelah mendengar cerita itu, Ki Pemanahan tercengang dan keheran-heranan. Beliau berkata, “Sungguh keajaiban dunia dan aku … yang telah meminum air kelapa tadi. Kalau demikian, apakah aku yang akan menurunkan raja-raja di Jawa ini, Kakang?”“Maaf, Kakang, tampaknya engkau tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku,” kata Ki Pemanahan dengan terbata-bata.“Sudah terlanjur, Adi!” sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan sangat kecewa.”“Sebenarnya, air kelapa tersebut merupakan wahyu yang telah aku upayakan dengan laku tapa yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari,” katanya lebih lanjut untuk menegaskan. “Wahyu Keraton Mataram yang aku peroleh itu berwujud air kelapa muda tersebut,” lanjut Ki Ageng Giring.
Dengan berbesar hati, akhirnya Ki Ageng Giring berkata lagi, “Adi, barangkali ini semua memang telah menjadi takdir Tuhan sehingga aku harus rela anak cucumulah yang kelak akan menjadi penguasa tanah Jawa ini”. Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh, Kakang Giring, aku mohon maaf karena ketidaktahuanku dan kelancanganku ini. Aku menjadi penghalang kemuliaan anak cucumu.”“Aku tidak akan memarahimu. Barangkali ini memang sudah menjadi takdir Tuhan. Hanya saja, kalau kau rela dan tidak keberatan, aku mempunyai satu permintaan karena aku adalah pemilik kelapa itu, tetapi kau yang minum air bertuahnya,” kata Ki Ageng Giring kepada Ki Ageng Pemanahan.Ki Ageng Giring menyampaikan permintaannya kepada Ki Ageng Pemanahan, “Adi, air degan sudah kau minum, bagaimana aku akan dapat memintanya kembali? Sudahlah. Permintaanku begini saja, kelak keturunanku akan bergantian dengan keturunanmu untuk menjadi raja di tanah Jawa. Keturunanmu sekali, kemudian bergantian dengan keturunanku sekali,” ujar Ki Ageng Giring.
Setelah mendengar kata-kata dari Ki Ageng Giring itu, Ki Ageng Pemanahan hanya diam saja. Ki Ageng Pemanahan tidak menghendaki hal tersebut. Ketika melihat itu, Ki Ageng Giring segera mendesak seraya berkata, “Kalau kau tidak membolehkan bergantian, ya sudahlah, dua keturunanmu lalu satu keturunanku, demikian seterusnya.” Ki Ageng Pemanahan tetap diam dengan perbandingan tiga-satu, empat-satu, lima-satu, enam- satu. Permintaan Ki Ageng Giring yang demikian itu diajukan sampai yang keenam kalinya. Ki Ageng Pemanahan tetap terdiam.Dengan sikap yang demikian itu, Ki Ageng Giring semakin mengetahui bahwa sesungguhnya di dalam hatinya Ki Ageng Pemanahan tidak rela apabila masalah keturunan itu diminta.Sekali lagi Ki Ageng Giring berusaha mengajukan permintaan kepada Ki Ageng Pemanahan, “Adi, bagaimana kalau keturunan yang ketujuh yang akan bergantian menjadi raja tanah Jawa?”Ki Ageng Giring hanya dapat pasrah dan memupus takdir bahwa Ki Pemanahan rupanya lebih unggul dalam kualitas rohani sehingga dipilih Sang Pencipta untuk menjadi raja di tanah Jawa.
Dengan sikap yang tenang akhirnya berkatalah Ki Ageng Pemanahan, “Wahai Kakang Ageng Giring, aku, dalam hal ini, tidaklah dapat memberikan jawaban. Bagaimana baiknya kelak, aku tidak dapat mengetahuinya. Namun, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah keturunanku yang ketujuh nanti, anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. Untuk itu, maafkanlah aku! … dan lihatlah wahai Kakang siapakah yang ada di belakang.” Ketika mendengar jawaban itu, Ki Ageng Giring menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya hati Ki Ageng Giring setelah melihat ada seseorang yang berdiri di belakangnya yang ternyata adalah Sunan Kalijaga. Dengan segera, beliau memohon maaf seraya berkata, “Aduh, perkenankan kami mohon maaf, … kami tidak menyangka apabila Kanjeng Sunan berada di sini. Apakah maksud Kanjeng Sunan datang kemari?”Dengan suara yang pelan tetapi jelas, berkatalah Sunan Kalijaga, “Ki Ageng Giring, sebenarnya sudah sedari tadi aku berada di sini dan aku melihat bagaimana kamu sekalian telah berembuk. Untunglah kamu sekalian adalah orang yang bijaksana dan pandai serta sabar. Andaikata tidak, pasti engkau sudah berkelahi. Akan tetapi, wahai Anak Cucuku … ingatlah bahwa kamu semua hidup di dunia ini karena ada yang menghidupkan atau yang memberi hidup, yaitu Tuhan.
Semua kehidupan di dunia ini pastilah ada yang mengatur. Siapakah yang mengatur? Tuhan, bukan? Nah, kalau kamu sudah yakin dan percaya bahwa di dunia ini semuanya sudah diatur oleh Tuhan, seharusnya kau, wahai Ki Giring, tidaklah engkau meminta wahyu dan kebahagiaan yang akan diberikan oleh Tuhan kepada Pemanahan.”Ketika mendengar nasihat itu, Ki Giring terdiam dan tertunduk kepalanya. Setelah selesai mendengarkan apa yang dikatakan Sunan Kalijaga, berkatalah Ki Ageng Giring, “Mohon maaf, Kanjeng Sunan, saya sudah mengerti apa Kanjeng Sunan maksudkan. Saya akan melaksanakan semua perintah Sunan.”Setelah mendengar perkataan Ki Ageng Giring yang ikhlas atas menerima takdir tersebut, Sunan Kalijaga tiba-tiba menghilang.
Dengan hati yang lega, berkatalah Ki Ageng Pemanahan kepada Ki Ageng Giring, “Kakang Ageng Giring, kita sama-sama kawan, tidak ada gunanya kita berselisih dalam masalah ini. Marilah ini kita serahkan semuanya kepada Tuhan dan apa yang akan terjadi nanti hanyalah atas kehendak dan takdir Tuhan.” “Betul, Ki, marilah kita saling bersaudara dan berteman. Apa yang akan terjadi nanti, kita tidak akan mengetahuinya. Kalau toh keturunanmu yang akan menjadi raja di tanah Jawa, itu semua merupakan karunia dan nikmat dari Tuhan. Kami yakin bahwa semua itu semata-mata kehendak Tuhan, Beliau yang menentukan,” sahut Ki Ageng Giring.Sepeninggal Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Giring merasa masygul hatinya. Baginya, kesempatan menjadi Raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati oleh generasi ketujuh. Beliau banyak merenung untuk memupus takdir di pinggir sungai yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali Gowang. Dinamai Kali Gowang karena hatinya terluka, gowang ‘kecewa’ atas kegagalannya memperoleh wahyu Keraton Mataram.Manusia hanyalah bisa berusaha, tetapi Tuhan jugalah yang akan menentukan. Dengan dasar itu, Ki Ageng Giring tidaklah merasa kecewa dan iri hati akan kebahagiaan yang diterima oleh Ki Ageng Pemanahan.
5 Keteladanan Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pemanahan atau Kiai Gede Mataram adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam). Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Pemanahan adalah putra Ki Ageng Ngenis dan cucu Ki Ageng Sela. Beliau mempunyai nama kecil Bagus Kacung. Nama “Pamanahan” diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat yang bernama Pamanahan di utara Laweyan (Surakarta). Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan orang-orang Sela (nama lama untuk Pati) yang pindah ke Pajang. Ki Ageng Pemanahan menikah dengan sepupunya, Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Ngenis). Dari hasil pernikahannya, Ki Ageng Pemanahan dikaruniai seorang putra bernama Bagus Srubut atau Sutawijaya.
Dikisahkan bahwa Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Keduanya mengembara untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Keduanya merupakan tokoh besar yang berkaitan dengan sejarah berdirinya Kesultanan Mataram. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring merupakan orang-orang sakti yang banyak melakukan laku tapa. Karena kesaktiannya, orang-orang di sekelilingnya tidak dapat meremehkan mereka. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, mereka juga memiliki cita-cita yang tinggi. Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk anak cucu dan keturunannya. Mereka bercita-cita, keturunan mereka ada yang dapat menduduki tahta sebagai raja.Untuk mencapai cita-cita tersebut, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring melakukan laku tapa mengasingkan diri dari keramaian dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, dan tidur) untuk memperoleh ketenangan batin dan petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Laku tapa yang dilakukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring semata-mata atas petunjuk Sunan Kalijaga yang melihat isyarat turunnya wahyu Keraton Mataram.
Sunan Kalijaga menganggap keduanya merupakan santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring pun segera melaksanakan perintah Sunan Kalijaga melakukan laku tapa.
6 Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
- Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
- Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
- Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian Lokasi Bekas Kraton Demak.Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
- Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
- Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ki Ageng Pemanahan: Cerita Rakyat dari Jawa Tengah/ Inni Inayati Istiana. Dony Setiawan (Penyunting). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016