Biografi Kyai Ageng Selo ( Raden Bagus Songgom ) Sang Penakluk Petir

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Kyai Ageng Selo
1.3  Nasab Kyai Ageng Selo
1.4  Wafat

2.1  Guru-guru Kyai Ageng Selo

3.1  Anak-Anak Kyai Ageng Selo

3.2  Murid-murid Kyai Ageng Selo

4.1  Masa Hidup Kyai Ageng Selo

4.2  Legenda Sang Penangkap Petir

4.3  Nasehat atau Papali Kyai Ageng Selo

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Kyai AgengSelo atau yang terlahir dengan nama Raden Bagus Songgom. Diperkirakan lahir di akhir abad 15 atau awal abad 16. Ayahanda beliau adalah Kyai Getas Pendawa putra Bondan Kejawen atau Lembu Peteng Putra Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning.

1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Selo

Kyai Ageng Selo mempunyai istrl yang bernama Nyai Bicak dan memiliki putera tujuh orang, yaitu:

  1. Nyai Ageng Lurung Ten
  2. Nyai Ageng Wanasaba
  3. Nyai Ageng Basti
  4. Nyai Ageng Jati
  5. Nyai Ageng Peranen
  6. Nyai Ageng Pakis Dadu
  7. Kiai Ageng Enis.

1.3 Nasab Kyai Ageng Selo

Ki Ageng Pemanahan jika diambil dari garis Ayah Masih keturunan Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi dengan Jalur Silisilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
  2. Bondan Kejawan atau Lembu Peteng
  3. Kyai Getas Pandawa
  4. Kyai Ageng Selo

1.4 Wafat

Kyai Ageng Selo wafat sekitar akhir Abad 16. Makam Kyai  Ageng Selo terletak di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Purwodadi.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Selo

Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Kyai Getas Pandawa

2.1 Guru-guru Kyai Ageng Selo 

  1. Kyai Getas Pendawa
  2. Sunan Kalijaga

3  Penerus Kyai Ageng Selo 

3.1 Anak-anak Kyai Ageng Selo

  1. Nyai Ageng Lurung Ten
  2. Nyai Ageng Wanasaba
  3. Nyai Ageng Basti
  4. Nyai Ageng Jati
  5. Nyai Ageng Peranen
  6. Nyai Ageng Pakis Dadu
  7. Kiai Ageng Enis.

3.2 Murid-murid Kyai Ageng Selo

  1. Kyai Juru Martani
  2. Kyai Penjawi
  3. Mas Karebet

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Selo

4.1 Masa Hidup Kyai Ageng Selo

Kyai Ageng Abdurrahman Selo atau yang terkenal dengan nama Kyai Ageng Selo hidup sezaman  dengan Walisongo. Kyai Ageng Selo juga dikenal dengan nama Kiai Ganjur. Sebab, beliau dikenal memiliki kemampuan menabuh alat musik ganjur yang bisa menarik penduduk untuk melihat dan mendengarkan Ganjur, dan setelah itu, barulah Kyai Ageng Selo melakukan dakwah Islam kepada penduduk. Makam Kyai  Ageng Selo terletak di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Purwodadi. Kyai Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai cikal bakal yang ’ menurunkan raja-raja di Tanah Jawa, seperti raja-raja ” Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. 

Kyai Ageng Selo. menurut cerita dalam Babad Tanah Jawa—adalah keturunan Majapahit . Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir, yang memiliki istri bernama Puteri Wandan Kuning. Dari pasangan ini, lahirlah seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Menurut ramalan ahli nujum kerajaan, anak ini kelak akan membunuh ayahnya. Oleh karena itu, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru  sabin raja yang bernama Kyai Biyut Masarar. Setelah dewasa, Bondan Kejawan diberikan kepada Kyai Ageng Tarub untuk menuntut ilmu agama Islam dan ilmu  kesaktian. Oleh Kyai Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. 

Raden Bondan Kejawen atau Lembu Peteng dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, puteri Kyai Ageng Tarub dari istrinya yang bernama Nawangwulan. Tidak lama kemudian, Kyai Ageng Tarub atau dipanggil juga Kidang Telangkas meninggal dunia. Maka, Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya dengan nama Kyai Ageng Tarub II . Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi ” nama Kyai Getas Pendowo dan seorang puteri yang kemudian menikah dengan Kyai Ageng Ngerang. Sementara itu, Kyai Getas Pendowo berputera tujuh, di ‘ antaranya adalah Kyai Ageng Selo,  

Kyai Ageng Selo memiliki nama kecil Raden Bagus Songgom, Beliau hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Kyai Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Pasukan Khusus Pengawal Sultan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, beliau memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, beliau dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Kyai Ageng Selo kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka beliau mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Kyai Ageng Selo bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Beliau hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Selo. Nama Selo berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Kyai Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.

4.2 Legenda Sang Penangkap Petir

Kyai Ageng Selo dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Kyai Ageng Selo membuka ladang. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun.Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Halilintar atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Tetapi Kyai Ageng Selo tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Kyai Ageng. Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. 

Kyai Ageng Selo yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut akhirnya menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Kyai Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek. Beliau segera menangkap petir itu.

“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” kata Kyai Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya.
“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu,” jawab petir.
Oleh Kyai Ageng Selo petir itu kemudian diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa,  mereka tidak takut lagi disambar petir jika ke sawah.  Penduduk desa menyambut Kyai Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.Beliau tetap meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah hari sore, selesai mencangkul beliau pulang sambil membawa petir tadi. 

Keesokan harinya beliau ke Demak,  “ bledheg “dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak.Oleh Sultan Trenggana, “bledheg“ ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu. Setelah beberapa lama kemudian datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya.Setelah minum terdengarlah bunyi menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.

Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar Kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Kyai Ageng Selo. Dengan senang hati Kyai Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang. Kisah tersebutlah yang membuat Kyai Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat dilihat di Masjid Demak. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api

Kyai Ageng Selo terkenal sebagai orang yang sangat zuhud, dermawan, dan banyak tirakat: beliau sering bertapa’ di hutan, gua, dan gunung, Selain iru, beliau juga bertani menggarap sawah. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup mereka berkecukupan, Kyai Ageng Selo juga mendirikan madrasah untuk mendidik masyarakat agar paham dan‘taat terhadap ajaran Islam, Muridnya banyak berdatangan dari berbagai daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet yang kelak menjadi Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya. 

Kyai Ageng Selo mempunyai istrl yang bernama Nyai Bicak dan memiliki putera tujuh orang, yaitu (1) Nyai Ageng Lurung Ten, (2) Nyai Ageng Wanasaba, (3) Nyai Ageng Basti, 4. Nyai Ageng Jati, (5) Nyai Ageng Peranen, (6) Nyai Ageng Pakis Dadu, dan (7) bungsunya laki-laki bernama Kiai Ageng Enis. Kiai Ageng Enis berputera Kyai Ageng Pamanahan.. Kyai Ageng  Pemanahan ini menikah dengan puteri sulung Kiai Ageng Wanasaba, dan dianugerahi putera bernama Mas ngabehi Loring Pasar atau Sultan Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Kyai Juru Martani. Kiai Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Kyai Penjawi. Mereka  bertiga dipersaudarakan dan bersama-sama berguru kepada Sunan Kalijaga. bersama dengan Jaka Tingkir.Kyai Ageng Enis diminta bertempat tinggal di dusun Lawiyan sehingga kemudian terkenal dengan sebutan Kyai Ageng Lawiyan.

Sampai sekarang, makam Kyai Ageng Selo masih menjadi tempat berziarah masyarakat karena peran Kyai Sampai sekarang, makam Kyai Ageng Selo masih menjadi tempat berziarah masyarakat karena peran Kyai Ageng Selo semasa hidupnya yang sangat peduli terhadap masyarakat kecil, selain karena beliau diyakini sebagai tokoh agama bahkan sebagai wali dan diakui menurunkan raja-raja Jawa. Kyai Ageng Selo diakui sebagai cikal yang menurunkan raja-raja atau pimpinan di tanah Jawa. Bukan hanya raja-raja di Kesultanan Demak, Pajang,

4.3 Nasehat atau Papali Kyai Ageng Selo

Kyai Ageng Selo merupakan tokoh yang memiliKyai pengaruh besar pada masyarakat. Beliau memiliKyai suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa para santri Kyai Ageng Selo mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya. Tulisan-tulisan selanjutnya menjadi pemikiran utama Kyai Ageng Selo yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Papali Kyai Ageng Selo.

Papali adalah larangan atau nasihat seorang guru kepada muridnya terkait dengan hal-hal yang dianjurkan untuk dijauhi. Nasihat lisan tersebut ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Papali Kyai Ageng Selo tersebut mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya Kyai Ageng Selo menggunakan pendekatan filsafat Jawa seperti yang pernah diterapkan oleh para wali sebelumnya. 

Banyak kearifan lokal yg sampai sekarang masih dianut oleh warga masyarakat Desa Selo kecamatan Tawangharjo Grobogan. Kearifan lokal tsb baik dari segi budaya maupun erat kaitanya dgn lingkungan. Dari segi budaya dan sosial misalnya. Warga masyarakat Selo masih mempertahankan tradisi dari petuah2 Kyai Ageng Selo yg masih berlaku hingga saat ini.
Oleh karena itu ajaranya masih dipegang teguh menjadi kearifan lokal masyarakat Grobogan khususnya. Ajaran tersebut kini terkenal dgn nama sebutan “Pepali Kyai Ageng Selo”. Pepali2 Kyai Ageng Selo akan dijelaskan sbg berikut.
Papali Kyai Ageng Selo ini dituturkan oleh sesepuh di desa Selo yaitu Kyai Pariwara mengatakan; hendaknya pesan ini dihargai karena akan membawa berkah bagi yang melaksanakan. Dan juga akan membuat selamat serta segar bugar. Kalau istilah zaman sekarang, sehat sejahtera, jauh dari segala kesulitan.

“    Eh ta kulup dèn kaparèng ngarsi, kawruhanmu nora endah-endah, ngèlmu kang sun imanakên, amung piwulangipun, eyang Kyai Agêng Selo linuwih. Nyatane wus anyata, cihnane linuhung, kang mangkoni tanah Jawa, datan liya têdhake Jêng Kiyai Selo, lah iki piyarsakna.
Papali iki ajinên ambêrkahi, tur salamêt sêgêr kawarasan, papali iki mangkene; aja agawe angkuh, aja ladak, aja ajail, aja manah surakah, lan aja calimut, lan aja guru-alêman. aja jail wong jail pan gêlis mati, aja amanah ngiwa, aja saèn dèn wêdi ing isin. Ya wong urip ywa ngagungkên awak, wong urip pinèt baguse, aja lali abagus. Bagus iku dudu mas picis, pan dudu sasandhangan, dudu rupa iku. wong bagus pan ewuh pisan, sapapadha wong urip pan padha asih, pêrak ati warnanya.    ”
Terjemahan:
“    Ketahuilah engkau, bukan hal yang muluk-muluk, ilmu yang aku percayakan, hanya ajarannya Eyang Kyai Ageng Selo yang terpuji. Nyatanya sudah terbukti, tanda luhurnya, yang membimbing tanah Jawa, tidak lain anak turunannya Jeng Kyai Selo, nah ini dengarkanlah.

Papali ini hargailah karena memberkati dan juga membuat selamat segar bugar, papali ini seperti ini; jangan berbuat angkuh, jangan ladak, jangan jahil, jangan berhati serakah, dan jangan celimutan, dan jangan memburu pujian, jangan jahil karena orang jahil cepat mati, juga jangan berhati kepada keburukan, jangan tak tahu malu yang takut akan rasa malu, juga orang hidup jangan menganggap besar diri, orang hidup carilah bagusnya, jangan lupa memperbagus (diri), yang disebut bagus bukan karena banyak emas dan uang, sungguh bukan karena pakaian, bukan dalam rupa (penampilan), orang bagus di sini sungguh sulit sekali, sesama orang hidup semua mengasihi, maksudnya semua dekat hatinya.
Ada juga nasehat Kyai Ageng Selo tersebut dipasang di bangunan tempat wudhu sebelah kiri masjid.
Dalam nasehat itu beliau berpesan jangan angkuh, jangan bengis dan jahil, jangan serakah, jangan panjang tangan, jangan mengejar pujian, jangan kasar karena orang kasar cepat mati, jangan cenderung ke kiri atau melawan aturan.

9 Pepali Kyai Ageng Selo

PERTAMA, ojo adol sego (jangan menjual nasi). Petuah ini ada sejarah dan maknanya, berasal dari pesan Kyai Ageng Selo pada anak cucu dan keluarganya.
Pada suatu hari Kyai Ageng Selo mendapat tamu dari daerah jauh. Sebagaimana adat dan kebiasaan masyarakat Selo dan Jawa jika ada tamu pastinya akan di suguhi makan dan jajan. Pada saat istri Kyai Ageng Selo akan membuat nasi dan ayam bakar yg akan dihidangkan oleh tamu tersebut. Orang tersebut menolaknya dan mengatakan “saya sudah kenyang” dan baru saja “makan”. Setelah cukup bercakap2, pergilah orang tab dan pamit kepada Kyai Ageng Selo.
Setelah tamu tersebut pulang, Kyai Ageng Selo hatinya merasa sedih. Hati kecilnya berbicara” mau shodaqoh saja kok sangat sulit, padahal di pasar dan diluar sana banyak orang2 yg menjual nasi”. Dari sinilah, Kyai Ageng Selo berujar pada anak cucunya agar jangan sekali-kali menjual nasi. Dalam Jawa dikatakan, Ojo adol sego. Nasi janganlah dijual, jika bisa malah untuk dishodaqohkan pada yg membutuhkan. Di daerah Selo sampai saat ini tidak ada orang yg menjual nasi.
KEDUA, Ojo nandhur waluh neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti.
Suatu hari wilayah Selo ada gempa bumi dan huru-hara. Semua orang lari tunggang langgang untuk menyelamatkan dirinya sendiri2. Termasuk Kyai Ageng Selo yang saat berlari terjatuh karena terserimpet akar pohon waluh (labu) di depan rumahnya.
Dari cerita inilah Kyai Ageng Selo berujar” ojo nandhur wit waluh neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti”. Artinya, janganlah kalian menanam pohon labu didepan rumah supaya tidak tersandung karena akarnya. Sebenarnya ini adalah sanepo atau makna kiasan. Buah labu itu bentuknya seperti kepala yg besar namun tidak ada isinya. Rumah dikiaskan dgn diri pribadi. Jadi maksud kata ojo nandhur waluh neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti bermakna janganlah kalian semua menjadikan orang bodoh dan sombong sebagai temen dekat kamu. Jika orang seperti itu kamu jadikan teman dekat, bisa jadi beliau akan menjadi batu sandungan buat dirimu sendiri.
KETIGA, Aja Agawe Angkuh.
Maksudnya adalah janganlah mempunyai sifat sombong. Karena sifat tersebut akan dapat mencelakai diri seseorang. Sebagai manusia haruslah rendah hati, bersikap tawadu’. Sombong akan membinasakan manusia. Iblis akan dimasukkan dalam Neraka karena sombong, tidak mau bersujud kepada Nabi Adam. Begitu juga Fir’aun, begitu juga umat Nabi Nuh yang tenggelam di air bah, dsb.
KEEMPAT, Ojo ladak lan jahil. Maknanya adalah jangan mudah marah dan jahil kepada orang.
KELIMA, Ojo ati srakah. Maknanya adalah janganlah srakah dalam urusan materiil duniawiah.
KEENAM, Ojo celimut artinya janganlah panjang tangan.
KETUJUH, Ojo mburu aleman artinya jangan memburu pujian dari orang lain.
KEDELAPAN, Ojo ladak, wong ladak pan gelis mati. Maknanya adalah jangan bersikap angkuh, orang angkung akan cepat mati.
KESEMBILAN, Ojo mlaku Ngiwo. Maknanya adalah jangan berbuat yg menyeleweng baik adat maupun norma agama.
Kearifan2 lokal di atas selanjutnya dinamai dgn pepali Kyai Ageng Selo yg kini dilestarikan menjadi nilai2 kearifan lokal masyarakat Grobogan Jawa Tengah.
Tembang Pepali Ki Ageng Sela ini menjadi alternatif untuk sarana menumbuhkan kecintaan pada budaya bangsa, sejarah daerah, dan dapat menjadi nyanyian yang memiliki nilai-nilai pendidikan akhlak.

Untuk melihat sedikit isi serat ini akan dikutipkan Serat Pepali Ki Ageng Selo tentang larangan untuk saling menyerang dan mencederai satu sama lain. Kutipan tersebut adalah pupuh 8 Serat Pepali Ki Ageng Selo diramu dalam tembang Dhandhanggula yang bunyinya adalah sebagai berikut: Aja sira watak sugih wani, (Janganlah kamu berwatak sok berani), Aja sira watak ngajak tukar (Janganlah kamu berwatak suka bertengkar), Aja ngendelake ilmune, (Jangan mengandalkan ngelmu-mu) Lan aja demen umuk (Dan jangan suka pamer), Aja sira demen nyumpahi (Janganlah kamu suka menyumpahi orang lain), Aja manah angiwa (Janganlah suka berfikiran menyeleweng), Ala kang tinemu (Hal tersebut jelek akhirnya), Sing sapa atine ala (Barang siapa yang hatinya jahat), Nora wurung ing mbesuk nemu bilahi (Siapapun akan mudah menemui kematian), Wong ala nemu ala (Orang jahat akan menemukan kejahatan).

Dari serat tersebut Ki Ageng Selo ingin mengingatkan bahwa seseorang jangan berwatak sok berani. Ketika seseorang ingin bertindak dan berbuat harus dipertimbangkan masak-masak akan akibat, untung, dan ruginya. Maka dikatakan aja sugih wani tetapi lebih baik wani sugih. Orang yang sok berani akan berbuat tanpa banyak perhitungan. Lebih parah lagi kalau watak sok berani dilengkapi dengan watak ngajak bertengkar atau berkelahi. Ki Ageng Selo juga mengingatkan agar kita tidak suka pamer (umuk). Sifat ini biasanya dimiliki oleh orang yang rendah diri. Kepamerannya tersebut diunjukkan untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Pamer juga wujud dari kurang percaya diri. Selajutnya Ki Ageng Selo juga mengingatkan untuk tidak mudah menyumpahi orang lain dengan kata-kata jelek. Jika kita melakukan hal tersebut dikawatirkannya semua akan terjadi seperti yang telah diucapkan sebelumnya. Harapnya adalah agar tetap saling mencintai satu sama lain.

Selanjutnya dalam pupuh 45 tembang Pocung yang berbunyi sebagai berikut:Datan wurung wong ngalah amanggih luhur (Akhirnya orang yang suka mengalah memperoleh keluhuran), Yekti nora cidro (Merendahkan kedudukannya), Yen asih marang sesame (Berani mengalah terhadap sesama), Winales sih sihering sagung manungsa (Akan memperoleh kemenangan jika berani mengalah untuk sesamanya). Perlu diteruskan untuk pupuh 49 yang berbunyi: Sira lamun tresno sih sesaminipun (Jika engkau mencintai sesamamu), Samaning manungsa (Sesama manusia), Kang samnya ning donya mangkin (Yang bersama hidup di dunia), Sadayanya data ana sinengitan (Semua tidak saling membenci).

Ki Ageng Selo menganjurkan orang untuk berani mengalah. Ada ucapan yang bijak yaitu wani ngalah bakal luhur wekasane bukannya wani ngalah bakal dhuwur rekasane. Dari ucapan tersebut kita diajak untuk belajar mengalah dan kelak orang lain yang akan mendapatkan keluhuran budi tersebut. Mengalah tidak berarti kalah lebih mengarah pada sikap ngeli (menghanyutkan diri) dan bukan pada sikap keli (hanyut). Orang yang menghanyut masih hidup dan selamat sedangkan orang yang hanyut pasti akan mati. Orang yang menghanyut bisa selamat karena bisa mengikuti arus yang deras sekalipun ia terengah-engah. Dari uraian di atas, kita dapat berefleksi dengan baik tentang nilai, sikap, dan perbuatan yang baik dan benar untuk diri sendiri maupun orang lain.

 Ketika mendidik anak, agar memiliki akhlak yang mulia. Perlu diketahui bahwa tingkah laku merupakan salah satu buah iman, yang meresap dalam kehidupan keberagaman anak. Maka seorang anak bila sejak dini tumbuh dan berkembang dengan dasar iman kepada Allah SWT, niscaya anak tersebut terbiasa dengan akhlak yang mulia. Maka dalam rangka mendidik akhlak anak, selain harus memberikan keteladanan yang tepat juga harus ditunjukkan bagaimana harus bersikap, bagaimana harus menghormati dan bagaimana bertutur kata yang baik.

5   Keteladanan Ki Ageng Pamanahan

Kyai Ageng Selo merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Beliau memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan.
Kyai Ageng Selo terkenal sebagai orang yang sangat zuhud, dermawan, dan banyak tirakat: beliau sering bertapa’ di hutan, gua, dan gunung, Selain iru, beliau juga bertani menggarap sawah. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup mereka berkecukupan, Kyai Ageng Selo juga mendirikan madrasah untuk mendidik masyarakat agar paham dan‘taat terhadap ajaran Islam, Muridnya banyak berdatangan dari berbagai daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet yang kelak menjadi Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya.

Kyai Ageng Abdurrahman Selo atau yang terkenal dengan nama Kyai Ageng Selo hidup sezaman  dengan Walisongo. Kyai Ageng Selo juga dikenal dengan nama Kiai Ganjur. Sebab, beliau dikenal memiliki kemampuan menabuh alat musik ganjur yang bisa menarik penduduk untuk melihat dan mendengarkan Ganjur, dan setelah itu, barulah Kyai Ageng Selo melakukan dakwah Islam kepada penduduk dengan menggabungkan unsur kesenian dan budaya seperti diajarkan oleh guru-guru beliau dan para Wali di zamannya. Makam Kyai  Ageng Selo terletak di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Purwodadi. Kyai Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai cikal bakal yang ’ menurunkan raja-raja di Tanah Jawa, seperti raja-raja ” Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. 

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Suroyo,  A.M.  Djuliati,  dkk.  1995.  Penelitian  Lokasi  Bekas  Kraton  Demak.Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
  7. Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  8. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  9. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

https://www.laduni.id/post/read/517040/biografi-kyai-ageng-selo-raden-bagus-songgom-sang-penakluk-petir.html