Daftar Isi Biografi Kyai Muqoyyim (Pendiri Pondok Pesantren Buntet Cirebon)
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Nasab
1.4 Wafat
2. Sanad Keilmuan
2.1 Guru-guru
3. Penerus
3.1 Murid-Murid
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Mendirikan Pesantren Buntet
1. Riwayat Hidup dan Keluarga Lahir
1.1 lahir
Kyai Muqoyyim bin Abdul Hadi lahir di Cirebon, ayah beliau yakni Kyai Abdul Hadi adalah Mufti Keraton Kanoman Cirebon.
1.2 Riwayat Keluarga
Suatu saat di wilayah Cirebon, tepatnya Setu, sering terjadi banjir. Masyarakat berusaha untuk mengantisipasinya, namun tetap saja banjir tidak dapat dihindari. Banjir ini berasal dari Sungai Nanggela yang tidak dapat menampung air. Ada seorang tokoh masyarakat bernama Kyai Entol Rutjitnala yang terkenal akan kesaktiannya.
Bersama anggota masyarakat, Kyai Entol membuat bendungan sebagai tempat penampungan air. Akan tetapi, bendungan ini tidak dapat menahan derasnya air, terutama pada musim hujan. Akhirnya, Kyai Entol membuat sayembara yang isinya adalah siapa saja yang mampu membuat bendungan akan dinikahkan dengan anak perempuannya yang bernama Randulawang.
Saat diumumkan sayembara ini, Mbah Muqoyyim saat itu menjabat sebagai mufti di Kerajaan Cirebon semacam Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam istilah sekarang, beliau ditunjuk menggantikan posisi ayahnya.
Karena merasa terpanggil untuk membantu masyarakat, Mbah Muqgoyyim mengikuti sayembara tersebut. Menjadi menantu Kyai Entol bukanlah tujuan utama nya, tidak ingin sendirian membangun bendungan. Beliau ingin dibantu oleh Kyai Entol yang sama-sama orang sakti. Kemudian, Mbah Muqoyyim mengeluarkan seutas benang dari dalam jubah yang dikenakannya. Lalu, benang itu dibentangkan di sepanjang bendungan.
Kyai Entol membantu dengan terus membacakan doa. Konon, benang tersebut kemudian berubah menjadi tembok kokoh yang dapat menahan banjir. Sesuai dengan perjanjiannya Mbah Mugoyyim dinilai berhasil membangun bendungan kemudian dinikahkan dengan Randulawang, putri Kyai Entol.
1.3 Wafat
Kyai Muqoyyim wafat dan dimakamkan di Kampung Tuk, Sindang Laut berdekatan dengan sahabat seperjuangan beliau, yakni Kyai Ardi Sela.
2. Sanad Keilmuan
Semenjak kecil Kyai Muqoyyim diasuh dan dididik oleh ayah beliau yaitu Kyai Abdul Hadi yang saat itu menjabat sebagai Mufti Keraton Kanoman Cirebon.
3. Penerus
3.1 Murid-murid
- Pangeran Muhammad Chaeruddin
- Kyai Ismail (Menantu Kyai Muqoyyim)
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Pada akhir abad XVII atau awal abad XVIII, Belanda mulai menentukan kebijakan di Kerajaan Cirebon. Persoalan suksesi dan perdagangan selalu mendapat campur tangan Belanda. Mbah Muqoyyim yang menjadi anggota Kerajaan Cirebon merasa resah dengan kehadiran penjajah ini, kemudian mengadakan perlawanan, namun tidak dengan kekerasan atau menggunakan senjata, yang dilakukan adalah dengan mengasingkan diri atau melakukan perlawanan secara tidak langsung.
4.1 Mendirikan Pesantren Buntet
Berawal dari keinginannya membentuk sebuah komunitas yang islami atau pesantren dan meninggalkan keraton atas dasar kekecewaan terhadap Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan keraton.
Alasan itulah yang kemudian Kyai Muqoyyim mendirikan Pondok Buntet Pesantren pertama kali di daerah Cimarati, Dawuhan Sela, Desa Buntet. Wilayah yang dipilih sebagai lokasi pesantren adalah Buntet, sebuah wilayah yang berada 12 km dari Cirebon. Buntet dipilih sebagai lokasi pesantren karena pernah dijadikan sebagai padepokan oleh Mbah Kuwu Cirebon (leluhur Syarif Hidayatullah).
Mbah Muqoyyim telah dikenal oleh masyarakat karena memenangkan sayembara di Setu. Hal ini menjadikan Pesantren Buntet lebih dikenal banyak orang. Banyak para santri yang belajar, tidak ada keterangan tahun berapa Pesantren Buntet didirikan.
Tak perlu butuh waktu lama, banyak orang berdatangan, mengaji hingga belajar bela diri. Saat itu pihak belanda mengetahui pesantren tersebut, hingga akhirnya belanda menyerbu. Namun, Belanda dikagetkan dengan kondisi kampung yang tak berpenghuni, mereka memborbardir hingga rata dengan tanah, bahkan di perkampungan yang tidak jauh dari pondok tersebut terdapat bocah seusia santri ditembaki secara brutal. Di tempat inilah yang kemudian dikenal Makam Santri.
“Sebelum pihak belanda datang, Kyai Muqoyyim beserta santrinya sudah mengetahui penyerangan yang akan terjadi, yakni dari sahabatnya Kyai Ardi Sela. Sehingga Kyai Muqoyyim dengan cepat berpindah tempat.”
Kemudian beliau menetap di Pasawahan, Sindang Laut. Kyai Muqoyyim membangun dan membenahi pondok pesantren seperti masjid, dan bilik-bilik santri. Kedigdayaan Kyai Muqoyyim teruji ketika ingin membangun sebuah masjid dan memerintahkan santri untuk menebang jati satu pohon saja. Ternyata hanya dengan sebatang pohon jati, seluruh kebutuhan kayu untuk masjid terpenuhi, tidak lebih dan tidak kurang. Seketika itu masyarakat terheran-heran akan kesaktiannya.
Dikisahkan di satu malam, Kyai Muqoyyim diserang oleh serdadu Belanda di daerah tersebut. Suasana begitu mencekam. Dengan cepat Kyai Muqoyyim melemparkan kendi ke balong, hingga akhirnya suasana begitu gelap disepanjang pertempuran dan dari balong itu meluapkan air hingga banjir yang mengakibatkan sebagian tentara Belanda mati namun ada juga yang melarikan diri.
Ancaman demi ancaman yang dilakukan Belanda membuat Kyai Muqoyyim merasa tidak aman, sehingga beliau pergi lalu bermukim di Kampung Tuk. Kemudian Belanda kembali mengetahui keberadaanya. Atas saran Kyai Ardi Sela agar Kyai Muqoyyim berpindah tempat dan menjadi rakyat biasa. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya menuju Pemalang tepatnya di kampung Beji, Jawa Tengah.
Disana beliau bertemu dengan Kyai Abdussalam (kerabat dekat Pangeran Diponegoro). Kyai Muqoyyim tahu bahwa beliau hanya menetap sementara dirumahnya, sehingga beliau sama sekali tidak menampakkan kealiman dan kesaktiaanya. Dikisahkan ketika Kyai Muqoyyim sering keluar masuk hutan Pedurungan yang terkenal angker. “Konon barang siapa yang memasuki hutan tersebut maka tidak akan kembali”. Tidak bagi Kyai Muqoyyim, beliau kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
Sebagian orang bertanya-tanya, tidak terkecuali Kyai Abdussalam. Pertanyaan itu semakin menjadi-jadi ketika salah seorang penduduk melihat sinar cahaya pada diri salah satu orang yang tidur di serambi rumah Kyai Abdussalam. Dikarenakan serambi itu dipenuhi orang, maka seorang penduduk itu merobek kain sarung tersebut kemudian dilaporkan ke Kyai Abdussalam. Setelah diperiksa keesokan harinya, ternyata robekan kain sarung tersebut milik Kyai Muqoyyim.
Setelah kejadian tersebut para penduduk kampung semakin yakin bahwa Kyai Muqoyyim bukanlah orang sembarangan. Setelah menetap di Kampung Beji. Perjalanan Kyai Muqoyyim dilanjutkan. Beliau berangkat ke Aceh atas permintaan Kyai Abdusslam dan penduduk kampung. Sebab mereka menyakini bahwa Kyai Muqoyyim memiliki kesaktian. Beliau lalu pergi dalam rangka melawan penjajah dan tergabung dalam barisan perang Diponegoro.
Dikisahkan ketika Cirebon sedang dilanda wabah to’un. Seluruh masyarakat panik, baik dari pihak Belanda, pejabat kesultanan maupun rakyat jelata. Konon, wabah yang melanda di Cirebon mengakibatkan tingkat kematian yang semakin tinggi. “pagi sakit, sore mati, malam sakit, pagi mati”. Meski pihak Belanda memiliki fasilitas kesehatan yang cukup memadai hingga memanggil para tabib dan orang sakti. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, muncul pendapat dari kalangan pemerintahan Cirebon untuk meminta bantuan kepada Kyai Muqoyyim dan disetujui langsung dari kalangan pejabat kesultanan dan para tokoh Islam di Cirebon.
Atas inisiatif tersebut, bertemulah dengan Kyai Muqoyyim di Kampung Beji. Dengan sangat arif nan bijaksana beliau mengatakan kesanggupannya bahwa atas izin Allah SWT, saya akan berusaha mengatasi musibah tersebut, tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, pihak Belanda harus membebaskan Pangeran Santri (Pangeran Muhammad, putra Sultan Chaeruddin Awwal/Sultan Kanoman), dan mengembalikannya ke Cirebon dari Ambon. Kedua, disetiap desa di wilayah Cirebon harus didirikan Masjid.
Perjanjian itupun disetujui lalu Kyai Muqoyyim berangkat ke Cirebon. Atas izin Allah Wabah to’un segera hilang, dan Belanda pun menepati janjinya. Setelah wilayah Cirebon aman terkendali atas musibah yang terjadi. Karisma Kyai Muqoyyim semakin tinggi hingga dikagumi masyarakat. Dan pada akhirnya beliau pulang menata kembali pondok Buntet Pesantren di daerah yang berbeda yakni bertempat di Blok Manis, Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura.
Selama di pondok Buntet Kyai Muqoyyim hidup dengan sederhana serta sering mengamalkan riyadlah yakni “tiga tahun berpuasa untuk keberkahan tanahnya, keselamatan seluruh warga Buntet Pesantren dan sekitarnya. Tiga tahun untuk keselamatan anak cucunya dan tiga tahun untuk keselamatan dirinya”. Inilah yang kemudian sampai saat ini riyadhah tersebut dikenal luas khususnya bagi seluruh keluarga, santri, dan warga Buntet Pesantren Cirebon.
5. Teladan
Kyai Muqoyyim adalah seorang Kyai khasrismatik dengan kealiman yang dimiliki serta dikenal sosok Kyai sakti madraguna asal Buntet Cirebon. Santun dan digdaya merupakan watak asli Kyai satu ini. Semasa hidupnya beliau sangat dihormati dari berbagai kalangan, meski bagi penjajah Belanda, Kyai Muqoyyim merupakan ancaman karena mempunyai peran dan pengaruh yang sangat besar sehingga dapat mempengaruhi rakyat untuk melawan dan menentang Belanda.
Sikap dan perilakunya yang selalu non-cooperation (tidak ingin diajak kerjasama) diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti KH Raden Muta’ad, KH Abdul Jamil, dan KH. Muhammad Abbas yang mempunyai peran signifikan dalam perjuangan membela agama, bangsa dan negara.
6. Referensi
- Mbah Muqoyyim Kiai pendiri buntet
- Sumber pendukung lainnya