Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Perjalanan Hidup dan Dakwah
2.1 Mendirikan Pesantren
3. Teladan
3.1 Ahli Tirakat
3.2 Tegas dalam Mendidik
4. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Nyai Lathifah dari keluarga besar Pondok Pesantren Tambakberas juga ibunda dari masyayikh besar di Jombang. Beliau merupakan ibunda dari KH. Wahab Chasbullah, salah satu Kyai besar sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama.
1.1 Lahir
Nyai Lathifah diperkirakan lahir pada abad 18, di Tawangsari Sepanjang Sidoarjo, Beliau merupakan mertua dari Kyai Bisri Syansuri Denanyar, karena putrinya yang bernama Khodijah menikah dengan Kyai Bisri. Sebagai istri seorang Kyai besar beliau tidak lantas berpangku tangan kepada suaminya.
1.2 Riwayat Keluarga
Nyai Hj. Lathifah merupakan istri dari KH. Chasbullah Sa’id, dari pernikahannya memiliki delapan putra. Diantaranya:
- Kyai Abdul Wahab,
- Kyai Abdul Hamid,
- Nyai Khodijah,
- KyaiAbdur Rohim,
- Nyai Fatimah,
- Nyai Sholihah,
- Nyai Zuhriyah
- Nyai Aminatur Rokhiyah.
Semuanya menjadi ulama besar yang banyak dikenal masyarakat.
1.3 Wafat
Nyai Hj. Latifah wafat pada tahun 1942 M, kepemimpinan Pesantren putri digantikan oleh menantunya yaitu Nyai Wahab (Nyai Sa’diyyah). Nyai Wahab memimpin Pesantren bersama KH. Wahab, pengelolaan Pesantren mengalami peningkatan hingga permulaan dekade 1970. Pada tahun 1971 KH. Abdul Wahab wafat, tugas kepengasuhan dan pendidikan Pesantren terus dilaksanakan oleh Nyai Wahab.
2. Perjalanan Hidup dan Dakwah
2.1 Mendirikan Pesantren
Beliau turut membantu merawat Pesantren dengan mengajar dan mendidik langsung para santri. Nyai Zubaidah Nasrullah (salah satu cucu menantu Kyai Hasbullah Said) menceritakan bahwa kakaknya pernah dikirim oleh ayahandanya untuk mondok di Tambakberas sekitar tahun 1940-an. saat itu kakaknya dididik langsung oleh Nyai Latifah.
Pondok Pesantren putri Al-Lathifiyyah Bahrul Ulum merupakan pondok Pesantren putri pertama dilingkungan pondok Pesantren Bahrul Ulum. Pesantren tersebut ada sekitar abad ke-20 yang dipelopori Nyai Latifah. Pada saat itu Nyai Latifah menangani 15 santri putri didaerah Tambakberas. beliau membimbing para santri dirumahnya. Kemudian atas inisiatif KH. Abdul Wahab, dibangunkannya surau untuk para santri tersebut belajar dan menetap.
Dalam perjalanan sejarahnya, pondok putri Al-Lathifiyyah bertugas menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat, keberadaannya mendapat perhatian dari khalayak yang ingin belajar ilmu Agama. Pengelolaan Pesantrenpun mengalami peningkatan terus menerus.
3. Teladan
3.1 Ahli Tirakat
Selain mementingkan pendidikan agama putra-putrinya, Kyai Chasbullah serta Nyai Lathifah juga salah seorang yang ahli tirakat. Tirakat ini memang sudah dilakukan beberapa garis keturunan sebelumnya. Mbah Said, atau ayah dari Kyai Chasbullah merupakan ahli tirakat. Tirakat Mbah Said dalam bentuk tidak tidur selama dua tahun lamanya.
Ahli tirakat dari Mbah Said juga mengalir ke darah Kyai Chasbullah. Yang paling tampak, Kyai Chasbullah tirakat pada saat istrinya, Nyai Lathifah sedang mengandung putra-putrinya.
Yakni, Kyai Chasbullah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu satu sampai tiga hari sekali. Sehingga selama istrinya hamil, Kyai Chasbullah bisa menghatamkan Al-Qur’an hingga 100 kali. “Mungkin itu juga yang membuat semua putra putrinya berhasil dan menjadi orang besar,” tambah Gus Rofiq, sapaan akrabnya.
Tidak saja Kyai Chasbullah yang melakukan tirakat, Nyai Lathifah juga dikenal kuat tirakat. Seperti ikut melakukan riyadah dalam upaya mengembangkan Pesantren. Bahkan Akhmad Taqiyudin Mawardi dalam buku Tambak beras Menelisik Sejarah memetik Uswah, menulis “peran Mbah Nyai Lathifah senantiasa mendukung perjuangan Mbah Hasbullah”.
Ini mengingatkan pada pepatah Arab waro’a kulli adziimin adziimatun (dibalik lelaki agung pasti terdapat perempuan yang agung pula)” tulisnya. Bentuk tirakatnya sama, yaitu puasa dan mengkhatamkan Al-Qur’an.
3.2 Tegas dalam Mendidik
Tidak banyak yang tahu bagaimana cara Nyai Lathifah mendidik putra putrinya. Hanya saja, diceritakan jika Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah sangat tegas dengan syariat saat mendidik putra-putrinya.
Itu terlihat saat 1912 M. didirikan Madrasah yang metode pengajarannya menggunakan papan tulis dan kapur. “Lalu papan tulis itu dilempar menggunakan batu kerikil sambil beliau berkata, sekolah kok niru londo,” ungkap Tim Peneliti Sejarah Tambakberas, Ainur Rofiq Al Amin.
Pada saat itu memang dilarang keras menganut apa saja yang dilakukan Belanda, sedangkan mengajar dengan papan tulis dan kapur merupakan salah satu ciri metode belajar Belanda.
Semua putra putrinya diajarkan hanya berlandaskan Al-Qur’an dan menganut semua syariat yang berlaku. Tidak hanya itu, Nyai Lathifah bersama Kyai Chasbullah juga menyekolahkan semua putra-putrinya ke pondok. Bahkan tidak hanya di satu pondok, tapi dari satu pondok ke pondok lain. Seperti Kyai Abdul Wahab Chasbullah mencari ilmu ke tujuh pondok pesantren sekaligus.
4. Referensi
- radarjombang.jawapos.com
- Digilib UIN Sunan Ampel Surabaya