Daftar Isi Profil Prof. KH. Saifuddin Zuhri
- Kelahiran
- Wafat
- Keluarga
- Pendidikan
- Peranan di Nahdlatul Ulama (NU)
- Menjadi Menteri Agama dan Mengembangkan IAIN
- Pekerjaan
- Menjadi Penulis
- Penghargaan
Kelahiran
Prof. KH. Saifuddin Zuhri lahir pada tanggal 1 Oktober 1919 di Kawedanan Sokaraja Tengah, Banyumas, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Mohammad Zuhri dengan Siti Saudatun.
Saifuddin dilahirkan dari keluarga yang sederhana, ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani. Meskipun berasal dari keuarga yang sederhana, tetapi orang tua Saifuddin memiliki obsesi yang sangat besar. Mereka mengharapkan agar Saifuddin kelak dapat menjadi “orang besar”.
Wafat
Prof. KH. Saifuddin Zuhri wafat pada 25 Februari 1986.
Keluarga
KH. Saifuddin Zuhri melepas masa lajangnya dengan menikahi ibu Solichah. Buah dari perinikahannya beliau dikaruniai sepuluh anak. Putra-putri diantaranya, (1) Dr. Fahmi Dja’far (yang beristrikan Dra. Maryam putri tokoh NU KH. Ahmad Syaikhu), (2) Farida (bersuamikan Ir. Shalahuddin Wahid putra ketiga KH. Wahid Hasyim – adik kandung KH. Abdurrahman Wahid), (3) Anisa, istri Dr. Solichul Hadi (mantan aktivis PMII), (4) Aisyah, yang dipersunting Drs. Wisnu Hadi (pengusaha), (5) Andang FN, (6) Baehaqi, berpendidikan di Kairo dan Belanda yang menikah dengan Gitta (Gadis Belanda), (7) Julia, (8) Annie, (9) Adib yang menikah dengan Yanti Ilyas (putri KH. M. Ilyas) dan (10) Lukman Hakim Saifuddin, kini Wakil Ketua Umum DPP PPP dan Wakil Ketua MPR-RI.
Pendidikan
Pada masa kecil, pagi dan siang hari, Saifuddin belajar di Sekolah Dasar (Umum) dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Nahdlatul Ulama. Pada malam hari dia mengaji al-Quran dan mempelajari kitab-kitab kuning di berbagai pondok pesantren yang bertebaran di daerahnya. Pada usia kanak-kanak dia telah fasih membaca al-Quran dan mengkhatamkan beberapa kitab. Ketika berusia 13 tahun, dia sudah mengkhatamkan kitab Safinah, Qathrul Ghaits, Jurumiyah, dan kitab kuning lainnya.
Ketika berumur 17 tahun, Saifuddin ingin mengembara ke daerah lain karena hausnya ia akan ilmu pengetahuan. Kota Solo, menjadi target tujuannya untuk menambah ilmu pengetahuan. Meskipun dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Akan tetapi, dengan tekad dan semangat yang membara Saifuddin tetap berangkat ke kota Solo.
Di kota Solo ini, Saifuddin belajar sambil bekerja untuk membiayai sekolahnya. Awalnya ia berencana menjadi pelayan toko dan pelayan hotel, namun terdengar oleh ayahnya dan melarang rencana tersebut. Dia berusaha kerasa untuk mencari pekerjaan yang lebih baik untuk membiayai sekolahnya. Karena Saifuddin memiliki bakat menulis, maka ia melamar sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya politik, yang terjadi di Solo.
Selain di surat kabar Pemandangan, untuk menambah penghasilan ia juga membantu surat kabar berbahasa Jawa, Darmokondo, yang terbit di Solo. Dengan penghasilan tersebut ia berhasil membiayai sekolahnya di Madrasah Mambaul Ulum sampai kelas VIII (kelas tertinggi). Pekerjaannya sebagai wartawan agak terganggu karena sekolah di Mambaul Ulum masuk siang. Karena itu dia memilih untuk pindah ke sekolah lain.
Dari Mambaul Ulum dia pindah ke Madrasah Salafiyah dan diterima di kelas tertinggi. Namun, di sekolah baru Saifuddin hanya bertahan satu bulan karena alasan serupa: waktu belajarnya siang hari. Sulit baginya meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan, karena dengan itu dia bisa membiayai sekolahnya.
Tak lama setelah keluar dari dua lembaga pendidikan tersebut, Saifuddin belajar di lembaga pendidikan Al-Islam, juga di kelas yang paling tinggi. Di sekolah ini di merasa kerasan. Pertama, karena sekolahnya masuk pagi sehingga tidak mengganggu pekerjaannya sebagai wartawan di siang hari. Kedua, beberapa mata pelajarannya dinilai cukup menarik, misalnya tajdid (pembaruan).
Pada tahun 1938, di Gedung Habipraya, Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia sebagai perkembangan lebih lanjut dari Sumpah Pemuda 1928. Menurut saifuddin peristiwa ini perlu diliput karena merupakan peristiwa nasional yang “layak berita”. Selain acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional, juga karena bahasa Indonesia harus dikuasai oleh setiap warga Indonesia. Karena itulah, Saifuddin mengikuti setiap acara dengan seksama dan meliputnya dengan lengkap. Untuk keperluan ini, dia harus meninggalkan bangku sekolah dan pesantren dalam beberapa hari.
Peranan di Nahdlatul Ulama (NU)
KH. Saifuddin Zuhri termasuk tokoh penting dalam Jamiyah NU, baik ketika sebagai ormas pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagai partai politik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun sewaktu bergabung bersama partai Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.
Bersama ormas Islam terbesar yang didirikan tahun 1926 itu, KH. Saifuddin Zuhri memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dalam pembangunan karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, mengembangkan paham nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
KH. Wahab Chasbullah dan KH. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu dengan KH. Wahib Wahab dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan KH. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama.
Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan semua mendukung permintaan Bung Karno untuk mengangkat KH. Saifuddin Zuhri menduduki posisi Menteri Agama menggagntikan KH. Wahab Chasbullah. KH. Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama periode kesepuluh pada tahun 1967.
Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, KH. Saifuddin Zuhri berupaya untuk mengembangkan IAIN. Dan upayanya ini membuahkan hasil, IAIN berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten. Menurut pemrakarsanya, IAIN harus menjadi perguruan tinggi yang memiliki kedudukan strategis dalam rangka mewujudkan tesis agama sebagai unsur mutlak nation building.
Usaha untuk mengembangkan IAIN ini bukan tidak ada tantangannya. Reaksi muncul dari sebagian kalangan DPR dan dari sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengembangan IAIN. Mereka menuduh, Departemen Agama seolah-olah hanya menganakemaskan umat Islam. Berarti pemerintah telah berbuat diskriminatif terhadap rakyatnya.
Sebagai orang yang bertanggung jawab atas proyek ini, KH. Saifuddin berupaya menjelaskan. “Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan rakyat melalui pendidikan dan pengajaran. Dalam sistem pendidikan kolonial tempo dahulu, hanya segolongan masyarakat kecil yang diuntungkan oleh sistem itu, dengan menikmati berbagai fasilitas dan sarana yang baik. Sementara masyarakat Islam yang mayoritas itu dibiarkan dalam kebodohan.”
Untuk mengembangkan wawasan bagi mahasiswa maupun dosen IAIN, KH. Saifuddin Zuhri membuat kebijakan mengirim mereka belajar ke luar negeri, misalnya ke negara Timur Tengah. Di antara nama-nama yang pernah mendapat beasisiwa adalah zakiah Daradjat di Ain Syams Kairo, Mesir dan Abdurrahman Wahid di Al-Azhar di kota yang sama.
Pekerjaan
Pada akhir 1980-an, KH. Saifuddin Zuhri memiliki kebiasaan baru yang tidak diketahui oleh putra-putrinya. Setiap habis shalat dhuha, sekitar pukul 09.00, dia keluar rumah mengendarai mobilnya sendiri. Menjelang dzuhur tiba, dia sudah kembali ke rumah. Ke mana gerangan mantan Menteri Agama ini pergi? Dan untuk urusan apa?
Kegiatan ini berjalan cukup lama tanpa satupun anggota keluarganya mengetahui. Sampai suatu hari, salah seorang putranya berhasil memergoki apa yang dikerjakan oleh KH. Saifuddin di luar rumah. Bukan kepalang kagetnya ketika sang putra mengetahui yang dikerjakan oleh ayahnya selama ini.
Rupanya, sehabis shalat dhuha, dia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta Pusat. Tanpa harus merasa jatuh gengsi, dai berdagang beras kecil-kecilan. Sampai akhir hayatnya, tokoh yang satu ini hidupnya sangat bersahaja. Semasa menjadi pejabat dan tokoh penting, sangat berpantangan dengan budaya aji mumpung. Seandainya dia mau, boleh jadi pada akhir tahun 1980-an itu dia tidak perlu harus keluar rumah setiap pagi untuk menjadi pedagang kecil dan menjual beras.
Jika saat ini banyak pejabat yang aji mumpung ketika menduduki pos-pos tertentu yang strategis, namun tidak bagi KH. Saifuddin Zuhri. Hal ini terlihat ketika sang adik (ipar), Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) Depag. Departemen Agama memang lazim menghajikan orang-orang tertentu, baik sebagai hadiah maupun kepentingan sebagai petugas haji.
Namun permintaan sang adik ipar (Mohammad Zainuddin Dahlan) tidak dikabulkan oleh sang kakak (ipar). KH. Saifuddin Zuhri menjawab keinginan Mohammad Zainuddin Dahlan dengan jawaban, “sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan….” ujar KH. Saifuddin Zuhri.
Menjadi Penulis
Tradisi menulis tampaknya telah menyatu pada diri KH. Saifuddin Zuhri. Topik-topik tulisan yang diangkat bukan sekedar masalah intern NU atau masalah politik dalam negeri, melainkan juga masalah dunia internasional. Jenis tulisannya pun bervariasi, dari artikel, ulasan dalam tajuk koran yang dipimpinnya, sampai analisis dan esai. Ini terlihat jelas melalui karya-karyanya berupa buku berjumlah tak kurang dari 11 buah yang kini bisa dinikmati oleh generasi baru.
Buku-buku karya KH. Saifuddin Zuhri antara lain; Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam National Building (1965), K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU (1972), Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid: 1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1982), Secercah Dakwah (1983), dan Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung menjelang akhir hayat.
Melalui karyanya, sesungguhnya KH. Saifuddin ingin menyatakan kepada penerusnya agar tidak sekadar menikmati kekayaan para pendahulunya. Generasi baru itu, selain harus melestarikan tradisi yang baik juga menciptakan sesuatu yang baru untuk generasi berikutnya.
Buku-buku Hasil Karyanya:
- (1947) Palestina dari Zaman ke Zaman
- (1965) Agama Unsur Mutlak dalam National Building
- (1972) K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU
- (1974) Guruku Orang-orang dari Pesantren
- (1979) Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
- (1981) Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid)
- (1982) Unsur Politik dalam Dakwah
- (1983) Secercah Dakwah
- Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung menjelang akhir hayat.
Riwayat hidup dan sejarah perjuangannya yang panjang dalam berbagai medan khidmah sebagai sebagai ulama-pejuang, politisi dan pejabat negara, disadari oleh KH. Saifuddin Zuhri, terlalu sayang kalau sampai terlupakan dalam sejarah. Karena itu ia mengabadikannya dalam sebuah buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang ia selesaikan penulisannya pada 10 September 1985, kurang lebih enam bulan sebelum wafatnya, 25 Februari 1986.
Buku ini akan menjadi saksi sejarah yang berharga tentang makna perjuangan, pengabdian dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, maju dan sejahtera. Buku yang terbit pada tahun 1987 yang ternyata menjadi karya terakhirnya itu, pada 3 Oktober 1989, mendapat penghargaan Buku Utama kategori Bacaan Dewasa bidang Humaniora dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Penghargaan
Pada usia 45 tahun KH. Saifuddin Zuhri diwisuda menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, Saifuddin Zuhri juga mendapat bintang jasa dan kehormatan berikut:
- Bintang Gerilya, No. 0006/V/65, SK Presiden RI No. 2/BTK/Th 1965, 4 Januari 1965, oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, Sukarno.
- Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kesatu, No.M/B/217/64/ A-4-11-1964,oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
- Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua No. M/B/217/64/ B-4-11-1964 oleh Menteri Koordinator Pertahahan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
- Satyalancana G.O.M I, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
- Satyalancana G.O.M V, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
- Satyalancana G.O.M VI, No. M/B/217/64, oleh Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, Djenderal TNI Dr. A.H. Nasution
- Bintang Equitem Commendatorem Ordinis Sancti Silvestri Papae dari Sri Paus di Vatican, Roma, Tahun 1965
- Piagam Penghargaan Palang Merah Indonesia, No. 01364, 17 September 1972, oleh PB PMI.
- Penghargaan Buku Utama kategori Buku Bacaan Dewasa bidang Humaniora atas buku berjudul Berangkat dari Pesantren (Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1987), pada 3 Oktober 1989, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hasan.
- Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana, No. 3877/II/ 1998, 6 November 1998, oleh Presiden RI, B.J. Habibie.
- Penghargaan sebagai tokoh nasional penerima Bintang Keteladanan Akhlak Mulia Tahun 2007 oleh Komite Pusat Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia.
https://www.laduni.id/post/read/58589/biografi-prof-kh-saifuddin-zuhri.html