1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Sunan Bejagung Lor
1.3 Nasab Sunan Bejagung Lor
1.4 Wafat
2.1 Guru Sunan Bejagung Lor
3.1 Anak-Anak Sunan Bejagung Lor
3.2 Murid Sunan Bejagung Lor
5.1 Menyalakan lampu Masjidil Haram
5.2 Ikan Meladang
5.3 Mengambil Jenazah Sunan Bonang
5.4 Siti Garet dan Watu Gajah.
5.5 Ikan Dodok dari daun Waru.
5.6 Pohon kelapa direbahkan dengan jari tangan dan peristiwa Mojo Agung
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Sunan Bejagung Lor terlahir dengan nama Sayyid Abdullah Asy’ari bin Sayyid Jamaluddin Kubro/ Syekh Jumadil Kubro.Menurut keterangan dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau adalah adik Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang).
1.2 Riwayat Keluarga Sunan Bejagung Lor
Beliau menikah dengan wanita dari Tuban dan dikaruniai tiga orang putra :
- Syekh Abdurrahim atau Sunan Pojok.
- Nyai Faiqoh atau isteri Pangeran Penghulu atau Syekh Hasyim Alamuddin atau Sunan Bejagung Kidul
- Syekh Afandhi atau Sunan Waruju, makamnya di belakang pengimaman Masjid Bejagung.
1.3 Nasab Sunan Bejagung Lor
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
- Al-Imam Al-Husain
- Al-Imam Ali Zainal Abidin
- Al-Imam Muhammad Al-Baqir
- Al-Imam Ja’far Shadiq
- Al-Imam Ali Al-Uraidhi
- Al-Imam Muhammad An-Naqib
- Al-Imam Isa Ar-Rumi
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
- As-Sayyid Ubaidillah
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Muhammad
- As-Sayyid Alwi
- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
- As-Sayyid Alwi Ammil Faqih
- As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
- As-Sayyid Abdullah
- As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
- As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar
- As- Sayyid Abdullah Asy’ari
1.4 Wafat
Sunan Bejagung Lor wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung Lor
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Bejagung Lor
Beliau dididik dan dibesarkan oleh ayahanda As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar/ Syekh Jumadil Kubro
2.1 Guru Sunan Bejagung Lor
- Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar/ Syekh Jumadil Kubro
3 Penerus Sunan Bejagung Lor
3.1 Anak-anak Sunan Bejagung Lor
- Syekh Abdurrahim atau Sunan Pojok.
- Nyai Faiqoh atau isteri Pangeran Penghulu atau Syekh Hasyim Alamuddin atau Sunan Bejagung Kidul
- Syekh Afandhi atau Sunan Waruju
3.2 Murid Sunan Bejagung Lor
- Pangeran Sudimoro/ Syekh Hasyim Alamuddin atau Sunan Bejagung Kidul
4. Perjalanan Dakwah Sunan Bejagung Lor
Ketika rombongan ulama dari Turki yang dipimpin oleh Syekh Jumadil Kubro termasuk juga ikut dalam rombongan adalah Syekh Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung) dan lain-lain, yang kemudian datang menuju tanah Jawa. Sesampainya di tanah Jawa, lalu Syekh Jumadil Kubro membagi tugas dakwah. Beliau sendiri kemudian menuju kerajaan Majapahit, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Adapun Syekh Abdullah Asy’aro ditugaskan di Kadipaten Tuban. Begitu juga ulama yang lain mereka juga ditugaskan di tempat yang berbeda dengan tujuan menyiarkan agama. Kedatangan Syekh Abdullah Asy’ari di Tuban disambut baik oleh Adipati Tuban ke-6 Aryo Dwikoro atau Aryo Tejo I.
Beliau sang Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meskipun pada saat itu beliau belum bisa menerima Islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa hormat beliau kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah perdikan di sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa Bejagung. Di daerah inilah kemudian Syekh Abdullah Asy’ari mendirikan sebuah kesunanan dengan nama kasunanan Bejagung sekitar tahun 1300 M yang pada akhirnya menjadikan beliau dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung.
Di kasunanan inilah aktifitas dakwah beliau dilakukan, dakwah rutin ini diselenggarakan bersama masyarakat setempat yang tertarik mempelajari agama Islam, beliau menyampaikan dengan bahasa yang lembut, sopan sehingga masyarakat kagum atas keramahan dan kebaikan beliau, hingga akhirnya didirikanlah sebuah masjid sebagai pusat pengembangan pengetahuan agama pada saat itu karena semakin banyaknya pemeluk ajaran Islam di daerah ini. Dalam kehidupannya sehari-hari Sunan Bejagung dikenal sebagai orang yang sangat sederhana, sampai orang tidak mengenalnya mana kala bertemu di jalan karena beliau tidak menunjukkan kealiman beliau. Beliau berbusana layaknya rakyat jelata. Beliau tidak pernah menunjukkan kesakralan seorang kyai ataupun syekh, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu dan takut ketika bertanya atau bertemu beliau.
Setelah waktu berganti waktu akhirnya agama Islampun berkembang pesat utamanya di daerah sekitar kasunanan, banyak orang yang sengaja datang dari jauh untuk menimba ilmu atau menjadi santri di kasunanan ini, layaknya santri sebuah pondok pesantren dalam aktifitasnya setiap hari.
5. Karomah Sunan Bejagung
Karomah adalah sesuatu yang luar biasa yang bukan hasil dari oleh kanuragan tetapi semata-mata datang dari Allah kepada hamba-Nya yang telah mencapai derajat kewalian dengan pemahaman kema’rifatan yang tinggi kepada Allah SWT. Karomah para wali Allah ada yang ditampakkan dan ada juga yang tidak tampak tergantung pribadi dan peran figure seorang wali itu sendiri.
5.1 Menyalakan lampu Masjidil Haram
Menurut keterangan buku Babad Tanah Jawa dan buku Babad Tuban, menerangkan bahwa semasa hidupnya Kanjeng Sunan Bejagung setiap sore beliau pergi ke Makkah untuk menyalakan lampu Masjidil Haram Makkah dan menjadi muadzin Masjidil Haram Makkah Al-Mukarromah. Versi lain juga menerangkan bahwa beliau tiap-tiap siang hilang dari tempat kediamannya yang terasing di Bejagung itu, untuk membantu menyalakan lampu-lampu di Masjid Makkah dan menjadi imam di sana. Tiap malam beliau terdapat di dalam masjid Makkah dan tiap malam pula setelah itu ia kembali ke Bejagung. Tapi pada intinya sama. Sama-sama menyalakan lampu di Majid Makkah. Hal ini dapat dimaklumi sebab beliau adalah kelahiran Hadromaut yakni orang daerah Saudi Arabia.
5.2 Ikan Meladang
Suatu saat Sunan Bejagung diajak pergi haji oleh santrinya yang dari bangsa jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan Bejagung dari Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Tetapi setelah digendong dan terbang ke angkasa, tepat di atas samudra, Sunan Bejagung dilepas dan jatuh ke laut. Tetapi Sunan Bejagung selamat lantaran ditolong oleh ikan meladang dan dipinggirkan sampai Jeddah suatu pantai di Hadramaut (yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di Arab, Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai makan ikan meladang dan ternyata sampai sekarang anak cucu keturunan Sunan Bejagung tidak diperkenankan makan ikan meladang, bila makan ikan meladang akan timbul penyakit gatal.
5.3 Mengambil Jenazah Sunan Bonang
Pada saat Kanjeng Sunan Bonang wafat, Kanjeng Sunan Bejagung masih hidup walaupun Kanjeng Sunan Bejagung usianya lebih tua karena beliau adalah saudara atau adik dari Sayyid Maulana Ibrahim Asmaraqandi/ Syekh Ibrahim Asmoroqondi (kakek Sunan Bonang). Pada saat itu di Desa Bonang Lasem terjadi huru-hara dengan adanya jenazah Sunan Bonang direbut oleh orang-orang Bawean karena orang-orang Bawean sangat cinta kepada para waliyullah, utamanya rasa cinta kepada Sunan Bonang, sampai jenazah beliau direbut dari keluarga di Bonang dan langsung dinaikkan perahu. Tanpa menghiraukan situasi Bonang, orang-orang Bewean tersebut langsung menjalankan perahunya ke tengah laut menuju Bawean yang melalui pantai Tuban. Lantaran karomah Sunan Bejagung beliau mengetahuinya bahwa di pantai Tuban bakal ada orang Bawean yang membawa lari jenazah cucunya (Sunan Bonang). Seketika itu Sunan Bejagung bergegas menuju ke pantai Tuban dan langsung berjalan di atas air laut menuju ke arah perahu berisi jenazah Kanjeng Sunan Bonang tersebut.
Dengan tanpa sepengetahuan orang-orang Bawean yang berada di perahu. Sunan Bejagung mengambil jenazah Sunan Bonang dengan 2 lapis kain kafannya. Sedangkan kain kafan Sunan Bonang yang satu lapis dibiarkan di dalam perahu sehingga orang-orang Bawean masih tenang-tenang mengarungi lautan membawa satu lapis kain kafan yang dianggapnya jenazah Sunan Bonang. Setelah orang-orang sampai di Bawean, ternyata yang dibawa hanya kain kafan satu lapis, tetapi mereka tidak kecewa karena mereka sadar dan sudah melahirkan cintanya kepada auliya’ sehingga walaupun tinggal kain kafan satu lapis tetap mereka makamkan selayaknya seperti makan Sunan Bonang di Bawean. Sedangkan jenazah Sunan Bonang yang tinggal menggunakan kain kafan dua lapis digendong oleh Kanjeng Sunan Bejagung dibawa ke pantai Tuban dan disemayamkan di Tuban. Sampai sekarang tampak makam Sunan Bonang di belakang Masjid Agung Tuban
5.4 Siti Garet dan Watu Gajah.
Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat , Tarekat, Hakikat, dan Marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejaung Lor). Setelah sampai di Tuban, beliau bertemu dengan Sunan Bejagung Lor. Kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau. Sampai menjadi orang Alim.
Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu Hayam wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka Prabu Brawijaya IV memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dan bala tentaranya untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang ke Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung Lor. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan Bejagung untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung Lor.
Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan Bejagung. Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yang tersohor dengan ilmu BaratKetiga dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau).
Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran Pengulu.
Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung banyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan mengatakan, tidak gajah tetapi batu. Seketika itu semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah(Batu Gajah). Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.
5.5 Ikan Dodok dari daun Waru.
Setelah Gajah-gajah dari Majapahit semua menjadi batu, para pasukan Majapahit kembali dan Lapor kepada Sang Prabu Hayam Wuruk bahwa semua Gajah Pasukan Majapahit menjadi batu. Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada Patih Gajah Mada yang terkenal dengan Ilmunya Barat Ketigo meneliti dan mencoba sampai sejauh mana Ilmunya Sunan Bejagung.
Berangkatlah Patih Gajah Mada tanpa balatentara ia menyamar dan menggunakan nama Barat Ketigo. (suatu nama Ilmu Tinggi yang dimilikinya) Ia mengaduk air laut Tuban sampai keruh; dan berpura-pura mencari ikan dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung, Barat ketigo ditanya, ia menjawab: “mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan nyidam ingin makan ikan dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar dibuat timba/tempayan dan Barat ketigo diperintah untuk mengambil daun waru. Setelah timba/tempayan lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba. Seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Desa Bejagung, sampai sekarang apabila mengadakan kenduri selalu menggunakan ikan dodok kering.
5.6 Pohon kelapa direbahkan dengan jari tangan dan peristiwa Mojo Agung.
Suatu saat Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung. Ia pergi ke Bejagung dan setelah berada di tegal Sunan Bejagung ia menggoyang pohon Kelapa, Sunan Bejagung bertanya , untuk apa anda menggoyang pohon Kelapa. Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus ingin minum. Sunan Bejagung berkata : “Kalau digoyang keras nanti kasihan yang masih muda, ikut berjatuhan dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya. Akhirnya Sunan Bejagung mengambilkan buah kelapa dengan cara merebahkan pohon kelapa dengan cangkul kemudian Barat ketigo dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua tanpa merusak kelapa yang masih muda kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula. Ia kagum atas kesaktian Sunan Bejagung. Tetapi ia masih belum puas, setelah ia minum air kelapa ia pura-pura masih haus , ia ingin minum air yang banyak. Setelah kehendaknya itu disampaikan kepada Kanjeng Sunan kemudian Kanjeng Sunan berkata : “Kalau demikian anda tunggu di sini saya ambilkan air”.
Tidak lama kemudian Kanjeng Sunan Bejagung mengambil air dimasukkan kedalam maja kecil sebesar bola tenis (yang disebut Mojo berduri, yang konon mojo berduri tersebut sampai sekarang masih hidup terletak di lokasi Pondok Pesantren Sunan Bejagung). Melihat ulah Sunan Bejagung yang aneh tersebut Barat Ketigo tertawa geli : “masak air hanya sedikit diwadahi Mojo sekecil itu kok bisa membuat saya puas dari haus. Ternyata setelah air itu diminum sampai Barat Ketigo kekenyangan, air yang ada di dalam Mojo kecil tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga mojo tersebut disebut MOJO AGUNG (sekarang digunakan nama Desa Mojo Agung atau Bejagung). Akhirnya Barat Ketigo merasa kalah sakti dan menyatakan menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung., dan sampai meninggal dunia ia tetap menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung. Setelah ia wafat dimakamkan di perbatasan Bejagung-Perunggahan Kulon yang sampai sekarang disebut Makam Panjang atau Makam Patih Barat Ketigo.
6 Keteladanan Sunan Bejagung Lor
Sunan Bejagung Lor adalah tokoh yang pernah disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah satu pelopor penyebaran Islam di Jawa. Sunan Bejagung Lor juga merupakan salah satu tokoh kunci proses Islamisasi di tanah jawa yang hidup sebelum Wali Songo yang mampu menyebarkan dakwah Agama Islam pada jaman kerajaan Majapahit. Beliau juga berdakwah bersama para ulama-ulama lain dan mempunyai modal tersendiri untuk menyebarkan agama. Beliau umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, tapi berasal dari Asia Tengah. Sunan Bejagung Lor menjadi tokoh kunci dalam penyebaran Islam di Jawa. Beliau datang dari Hadramaut melalui laut menuju Pasai kemudian dilanjutkan menuju ke tanah Jawa atau Tokoh yang tetap kuat menyebarkan Agama Islam pada masa agama Hindu masih mayoritas dianut oleh penduduk pada masa pemerintahan Majapahit.
Sunan Bejagung Lor memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan agama Islam. Bahkan pada usianya yang sudah Sepuh belum pernah surut perjuangannya untuk terus melakukan dakwah. Awal dimulai dakwah dengan cara mendirikan Pesantren/Kesunanan. Kegiatan dakwah pun berjalan lancer perlahan tapi pasti.
Sunan Bejagung Lor menyampaikan dakwah dengan bahasa yang lembut, sopan sehingga masyarakat kagum atas keramahan dan kebaikan beliau, hingga akhirnya didirikanlah sebuah masjid sebagai pusat pengembangan pengetahuan agama pada saat itu karena semakin banyaknya pemeluk ajaran Islam di daerah ini. Dalam kehidupannya sehari-hari Sunan Bejagung dikenal sebagai orang yang sangat sederhana, sampai orang tidak mengenalnya mana kala bertemu di jalan karena beliau tidak menunjukkan kealiman beliau. Beliau berbusana layaknya rakyat jelata. Beliau tidak pernah menunjukkan kesakralan seorang kyai ataupun syekh, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu dan takut ketika bertanya atau bertemu beliau.
Setelah waktu berganti waktu akhirnya agama Islampun berkembang pesat utamanya di daerah sekitar kasunanan, banyak orang yang sengaja datang dari jauh untuk menimba ilmu atau menjadi santri di kasunanan ini, layaknya santri sebuah pondok pesantren dalam aktifitasnya setiap hari.
7 Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
- Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
- Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
- Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
- Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony, Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015
- Mukarrom, Akhwan. Sejarah Islam Indonesia I. Surabaya: Uin Sunan Ampel, 2014.
https://www.laduni.id/post/read/80966/biografi-sunan-bejagung-lor.html