Biografi Syekh Ibnu Atha’illah

Daftar Isi Biografi Syekh Ibnu Atha’illah

1.         Riwayat Hidup
1.1       Lahir
1.2       Wafat

2.         Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1       Perjalanan Menuntut Ilmu
2.2       Guru Beliau

3.         Kitab Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

4.         Pemikiran Thariqat Ibnu ‘Athaillah          

5.         Tingkatan Maqam Sufi Menurut Ibnu Atha’illah

6.         Karya Beliau

7.         Referensi

1.         Riwayat Hidup
1.1       Lahir

Syekh Ibnu Atha’illah atau syekh ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari lahir di iskandariah Mesir pada 648 / 1250 M.

1.2      Wafat

Syekh Ibnu Atha’illah wafat pada tahun 709 H. Beliau dimakamkan di pemakaman Al-Qorrofah Al-Kubra. 

2.        Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1      Perjalanan Menuntut Ilmu

Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

2.2       Guru Beliu

Guru-guru Syekh Ibnu Atha’illah:

  1. Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi

3.         Kitab Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam alAta’illah untuk membedakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam. Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf . Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.

Kitab Al-Hikam adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap realitas dunia yang terjadi saat ini. Di era globalisasi seperti sekarang, kita tidak bisa lepas dari pergaulan global yang keras, saling sikut sana-sini. Dan dunia, yang konon dapat menjauhkan diri dari Tuhan, oleh sebagian orang (terutama dari kalangan sufi), sebisa mungkin untuk dijauhi dan ditinggalkan, yakni dengan melakukan suluk zuhud (meninggalkan dunia). Namun, disatu sisi, masyarakat kita dituntut agar mampu bersaing di ranah kancah dunia. Umat Islam selama ini jauh tertinggal dari umat-umat yang lain, dengan alasan melakukan zuhud tadi. Hatinya tidak ingin tercampur dengan urusan duniawi. Dunia yang dapat melengahkan dan memperbudak manusia. Namun, bagi Ibnu ‘Atha’illah, profesi dan mencari dunia (sandang, pangan, dan papan) itu penting. Sebagai kendaraan (washilah) untuk menuju rasa syukur kepada Allah. Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang perlu diluruskan, supaya umat Islam tidak gagal paham, kemudian mengasingkan diri sepenuhya kepada dunia.

4.         Pemikiran Thariqat Ibnu ‘Athaillah

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat Ibnu ‘Atha’illah adalah:

  1. Tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. “Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya,” kata Ibnu Atha’illah.
  2. Tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
  3. Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. “Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,” ujarnya.
  4. Tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha’illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
  5. Berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
  6. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha’illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
  7. Dalam kaitannya dengan ma’rifat Al Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar- riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

5.         Tingkatan Maqam Sufi Menurut Ibnu Atha’illah

Mengenai konsep maqm Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqam dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah SWT. Karena jika maqam dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan meyakini bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqam atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri. Ibn Atha’illah membagi tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan:

1. Maqam taubat

Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar. Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.

2. Maqam Zuhud

Dalam pandangan Ibn ‘Aţa’illah, zuhd ada 2 macam yaitu zuhd zahir Jali seperti zuhud dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi, dan zuhud baţin Khafi seperti zuhud dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan.

Hal yang dapat membangkitkan maqāam zuhud adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang salik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka salik akan zuhud terhadap dunia.

3. Maqam Sabar

Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi tiga macam yaitu sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.

4. Maqam Syukur

Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam yaitu:  

  • Syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
  • Syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.  
  • Syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya

Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah: “dalam syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”

5. Maqam khauf

Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya hal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqam dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.

“Bukti dari makna ini mengharuskan maqam khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqam khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”

”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu raja, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”

6. Maqam Ridha dan Tawakkal

Rida dalam pandangan Ibnu ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Ma’idah ayat 119:4 (Allah rida terhadap mereka, dan mereka rida kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.: (Orang yang merasakan manisnya iman adalah orang yang rida kepada Allah). Maqam rida bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi rida adalah anugerah yang diberikan Allah.

7. Maqam Mahabbah

Ibn ‘Aţa’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang salik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa salik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta salik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.

“Mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqam, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqam setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqam, menjadi akibat dari seluruh maqam, seperti rindu, senang, rida dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqam sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqam, seperti taubat, sabar, zuhud dan lain sebagainya”.

6.         Karya Beliau

Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

7.         Referensi

Jurnal Azizah Aryati dari Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Bengkulu yang berjudul “Pemikiran Tasawuf Syeikh Ibn ‘Athoillah As-Sakandari dalam Kitab Al Hikam (Kajian Tentang Rekonstruksi dan Kontribusi Nilai-nilai Tasawuf dalam Pendidikan Islam) dan dari beberapa sumber pendukung lainnya.

https://www.laduni.id/post/read/75015/biografi-syekh-ibnu-athaillah.html