Buka Bersama: Ketika 90% Hadirinnya Tidak Berpuasa

Bagi umat Islam, tatkala memenuhi persyaratan untuk melakukan puasa, Ramadan adalah siklus untuk memaknai ibadah dalam setahun sekali. Setapak demi setapak, orang-orang mengisi ruang dan waktu dalam menjalankan hari demi hari. Dalam hakikat waktu, Ramadan sama halnya dengan bulan lain. Namun, nampak ada imajinasi religiositas yang menyertai di sana. Sekalipun itu berhubungan pula dengan pemaknaan “keluarga”.

Paling pasti, kata “keluarga” ketika bulan Ramadan akan kita saksikan tergunakan oleh banyak pihak. Kata tersebut dijadikan sebagai subjek maupun objek. Betapa tidak, Anda mungkin bosan saat membuka telepon genggam menyaksikan wahana media sosial komunitas dan organisasi serentak memberikan ucapan selamat berpuasa dengan penyematan kata “keluarga”.

Tidak kalah penting adalah perhatian kita terhadap keberadaan iklan, baik barang maupun jasa. Sederet merek akan memberi porsi banyak pada makna keluarga, baik lewat narasi maupun imajinasi berbentuk audiovisual. Memang itu lumrah, dari segi iklan tujuannya tak lain dan tak bukan untuk komodifikasi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sematan “keluarga” saat Ramadan bukan lagi pada pemaknaan bagi ikatan sekelompok orang di dalam sebuah rumah?

Walhasil, puasa di bulan Ramadan terkadang juga memunculkan seremoni “buka bersama” dengan pelbagai ragam motif di belakangnya. Buka bersama secara denotasi bukanlah sebatas pertemuan di meja makan dengan hidangan lengkap. Namun, selain singgungan tubuh dengan piring, sendok, gelas, dan pranata lainnya di sana ada pelbagai motif. Setiap perjumpaan orang-orang pasti mengobrol. Di sanalah kumpulan tanda lahir.

Baca juga:  Anak Muslim: Bacaan dan Imajinasi

Pada Ramadan 1444 H, orang-orang disibukkan menafsir aturan larangan buka bersama ASN yang dikeluarkan pada 21 Maret lalu. Sepintas, kita mestinya paham surat itu pasti tak terlepas dari keputusan politik. Kisah ini mengingatkan sebuah buku berjudul Bermain Politik di Bulan Ramadhan (Pustaka Adiba, 1998). Buku itu merupakan kumpulan tanya-jawab di rubrik surat kabar Surabaya Post pada 1 Februari-2 Maret 1995/Ramadan 1415 H. Tiga tokoh yang menjadi narasumber: Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat.

Di tulisan “Terpeleset Buka Bersama”, Emha Ainun Nadjib berbagi kisah penting akan seremoni buka bersama. Ungkapnya: “Saya sering diundang buka puasa bersama yang 90% hadirinnya tidak berpuasa, atau bahkan mayoritas mereka tidak beragama Islam. Ya itu tadi, puasa tidak berposisi primer, melainkan sekunder. Puasa hanya alat kepentingan dagang, lobi politik, atau untuk media tender.” Pernyataan Emha bisa jadi relevan di tahun ini. Kita tahu banyak orang terus menyibukkan diri untuk kepentingan pemilu 2024.

Terlepas bagaimana cuaca kultural yang terjadi akhir-akhir ini berhubungan dengan maraknya tindakan pamer kekayaan oleh sebagian pejabat, negara mungkin menaruh kepentingan yang mendalam atas “pengondisian” ASN. Semua harus patuh dan wajib melakukan! Barang siapa ingkar, ada risiko yang terjadi di belakangnya. Kalau sebelumnya, negara dalam berperan ihwal Ramadan meletakkan kepentingannya dalam penentuan waktu, kini tugas itu bertambah: penertiban acara buka puasa bersama.

Baca juga:  Revolusi Ilmu Pengetahuan

Mungkin layak jika kita membaca kembali gagasan seorang filsuf Prancis, Louis Althusser (1984) tentang aparatus ideologi. Konsep itu dapat terbaca lewat buku Althusser yang diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof dengan judul Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Jalasutra, 2008). Althuser membagi menjadi dua: Repressive State Apparatus dan Ideological State Apparatus. Pertama dengan cara kekerasan dan kedua dengan persuasif.

Pada konteks yang sedang kita bahas, yang terjadi adalah Ideological State Apparatus di mana ia bekerja dengan persuasif dan ideologis mencakup pada keberadaan agama, pendidikan, keluarga, hingga media massa. Gejala itulah yang menjadikan kita untuk membaca dan berpikir jauh—bahwa ada kepentingan lain di balik sebuah tindakan maupun keputusan. Sayangnya, sedemikian rupa yang terjadi dalam ruang publik didominasi oleh pembacaan sekilas dan tak utuh.

Putusan itu agaknya juga menggeser keberadaan makna “keluarga”. Hal itu selaras dengan kajian penting yang pernah dilakukan oleh Saya Sasaki Shiraishi (1997), yang mana karyanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tim Jakarta Jakarta dengan judul Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001). Siraishi dengan jeli memotret hal-hal kecil yang menjadi kebijakan Orde Baru saat itu.

Pernyataan penting ditulisnya berupa: “Dalam sebuah “keluarga”, ada semacam hierarki dan anggota-anggotanya terbagi antara yang melindungi (bapak, ibu) dan mereka yang menerima kebaikan hati ini dengan rasa syukur.” Penjelasan itu tentu penting dengan semakin bergesernya makna keluarga di mata kepentingan politik. Paling pasti, mereka kelompok urban sangat merasakan. Mereka menghadapi kemacetan jalan, bukan kemacetan pikiran. Setiap perjalanan saat puasa adalah tujuan pulang ke keluarga, meski terkadang terlambat dalam buka bersama. Ada kerendahan hati memaknai keluarga. Jauh dari ingar-bingar kepentingan politik.

Baca juga:  Warkop, Warkopi, dan Sekitar Humor

Omong-omong bagaimana nasib para jomlowan/wati di kalangan urban? Jawaban yang seharusnya diungkapkan barangkali begini: Wis kana urusen! Aku ora patheken. Aku tak ngurus awak dhewe dhisik kanti lila, andhap ashar, lan katresnan.[]

https://alif.id/read/joko-priyono/buka-bersama-ketika-90-hadirinnya-tidak-berpuasa-b247430p/