Anak tumbuh dan berkembang tidak hanya melalui makanan tetapi juga bacaan. Dengan makanan tubuh akan membesar, dengan bacaan pikiran akan merekah. Bacaan anak sama pentingnya dengan kebutuhan akan makanan.
The Railway Children (1905) gubahan Edith Nesbit dan Tempat Minum Plastik dari Toko (1986) gubahan Arswendo Atmowiloto adalah dua buku dari beragam bacaan anak abad ke-20. The Railway Children menceritakan kisah tiga saudara, yaitu Roberta, Peter dan Phyllis. Mereka hidup bahagia di Villa Edgecombe hingga suatu ketika harus pindah ke sebuah rumah dekat stasiun kereta api. Perpindahan dilatarbelakangi dugaan korupsi yang ditujukan kepada ayahnya. Di tempat baru itu, mereka banyak melakukan petualangan.
Tempat Minum Plastik dari Toko juga menceritakan tiga orang anak bernama Euis, Ara, dan Agil. Buku mengisahkan keluarga kaya yang jatuh miskin. Abah, ayah Euis lebih memilih kehidupan sederhana menjadi tukang becak dan serabutan ketimbang kembali bekerja di perusahaan. Tuduhan kasus korupsi yang pernah disematkan pada Abah, membuatnya enggan memasuki pekerjaan itu lagi.
Kekurangan dari buku The Railway Children menurut saya pada ending cerita yang kesemuanya selalu berakhir bahagia. Sementara, pada buku Tempat Minum Plastik dari Toko berakhir sebaliknya. Kesempurnaan dalam karya Nesbit menampilkan ketidak jujuran menggambarkan realitas kepada anak. Di tengah segala kebahagiaan dan keberhasilan, sepertinya anak juga perlu dikenalkan kata sedih dan gagal. Arswendo sebaliknya, setiap kisah lebih banyak berakhir pada kesedihan, membuat pembaca hopeless. Barangkali, bacaan anak akan lebih menarik jika komposisi realitas yang ditampilkan utuh, ada bahagia-sedih, berhasil-gagal.
Novel gubahan Nesbit dipenuhi pengetahuan. Meskipun dalam kondisi miskin, kehidupan keluarga sangat bahagia. Rumah dipenuhi puisi dan cerita. Kemiskinan hanya terbatas pada fisik tidak pada batin: “Tidakkah menurutmu menyenangkan untuk berpikir bahwa kita berada dalam sebuah buku yang ditulis oleh Tuhan? Jika aku yang menulis buku itu, aku mungkin akan membuat kesalahan. Namun Tuhan tahu bagaimana membuat cerita itu berakhir dengan tepat-dengan cara yang terbaik bagi kita.”
Dalam The Railway Children terjadi pembentukan biografi sosok ibu di Inggris: “Ibu tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk menelepon ibu-ibu yang membosankan, dan duduk dengan bosan di rumah menunggu ibu-ibu yang membosankan itu meneleponnya. Ia hampir selalu ada di sana, siap bermain dengan anak-anak, membacakan buku untuk mereka, dan membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah. Selain itu, ia biasa menulis cerita untuk mereka saat mereka di sekolah, dan membacakannya dengan suara keras setelah minum teh, dan ia selalu membuat puisi lucu untuk ulang tahun mereka dan untuk acara-acara besar lainnya.” Sosok ibu digambarkan berpengetahuan.
Pembagian peran gender yang dilukiskan Nesbit cukup adil: “Anak perempuan sama pintarnya dengan anak laki-laki, dan jangan lupakan itu!” Nesbit tidak menempatkan posisi perempuan dalam porsi yang timpang dengan laki-laki. Karakter Roberta, anak pertama dalam cerita digambarkan punya pikiran bijak juga keberanian. Ia diposisikan sebagai tokoh yang sepadan dengan Peter, adik laki-lakinya yang aktif.
Novel Arswendo melukiskan kondisi anak-anak di era 90-an dan mengkritik budaya korupsi yang terjadi pada pada masa orde baru. Tiga puluh satu tahun setelah kemerdekaan, Eni, teman Lis yang semestinya menduduki bangku sekolah harus bekerja di warung nasi karena keterbatasan biaya: “Uis mengerti sendiri bahwa Eni bekerja sejak dini sekali, sampai sore hari. Menghidangkan kopi yang diseduh tantenya, mencuci piring, gelas, sendok, membeli kopi, gula, teh, serta menggoreng pisang, singkong, tahu, tempe, telur, dan nanti membersihkan semuanya.” Anak sekecil itu berkelahi dengan pekerjaan.
Kisah tersebut tidak jauh berbeda dengan lagu Sore Tugu Pancoran (1985) gubahan Iwan Fals. Lirik merekam nasib anak yang bergulat dengan pekerjaan. Delapan puluh tiga tahun sebelumnya, pada masa kolonialisme Belanda, Kartini juga mengisahkan bocah yang tidak sekolah dan harus menjual rumput untuk menghidupi keluarga. Perubahan pada nasib anak sangat lambat di Indonesia.
Abah, digambarkan sebagai laki-laki jujur dan teguh pendirian. Dalam salah satu cerita, dikisahkan Abah menolak tawaran temannya untuk kembali bekerja di perusahaan. Ia memilih hidup miskin ketimbang berurusan dengan tindakan korupsi . Sosoknya menjadi antitesis dari kondisi di era 90-an: “Aku tak percaya pada diriku sendiri. Apakah aku bisa mempertahankan kejujuran secara penuh kalau aku kembali bekerja. Aku berhadapan dengan banyak manusia yang mempunyai sikap dan cara berpikir yang berbeda denganku.” Buku merekam kondisi Indonesia di masa orde baru.
The Railway Children Gubahan Edith Nesbit (1905) dan Keluarga Cemara; Tempat Minum Plastik dari Toko (1986) gubahan Arswendo Atmowiloto pada akhirnya tidak hanya menjadi bacaan anak tetapi juga bacaan orang dewasa. Pembaca dibuat mengetahui sejarah hidup anak di masing-masing negara dan situasi negara di masa lampau.
Baca Juga
https://alif.id/read/ylp/buku-anak-abad-ke-20-antara-edith-nesbit-dan-arswendo-atmowiloto-b249605p/