Manusia butuh dan wajib menerima kemustahilan dalam hidupnya. Kemustahilan dibutuhkan sebagai ruang tumbuhnya harapan. Sebagai mahluk yang jaiz, manusia mustahil menghindari sakit dan sakit pasti tiba meski tak dikehendaki. Manusia butuh kemustahilan untuk tumbuhnya harapan sebagaimana ia butuh sakit untuk mendapatkan keutuhannya sebagai manusia.
Melalui buku Sayur Lodeh Kehidupan Teman dalam Harapan spiritualitas tersebut dikupas dengan bernas. Tiga puluh lima perawat–sebuah profesi yang membersamai manusia pada batas hidup dan mati membagi pengalamannya masing-masing dalam tiga puluh lima judul. Sebagai sebuah tulisan yang lahir dari rahim pengalaman keseharian, buku ini tidak hanya mengajak pembacanya untuk menyusuri lika-liku hidup seorang perawat namun lebih jauh mengajak pembacanya memahami hakikat rasa sakit.
Peran mulia para perawat yang lurus dan tulus pada kenyataannya tak selalu dirasa mulus. Sudut-sudut kepelikan yang tak tersingkap seperti ketergoncangan psikologis dan keletihan fisik mengurus pasien hingga mengatasi hambatan administratif dan struktural telah dikulik secara menarik terutama pada judul-judul awal seperti “Jangan ambil rahimku”, Pasien terbang, Si bujang dalam pasungan. Seperti pada kisah seorang perawat yang mengurus pasien bernama Ibu Han yang melahirkan anak pertamanya. Proses melahirkan itu tidaklah berjalan lancar, sang pasien mengalami pendarahan hebat dan drop sehingga dokter memutuskan untuk dilakukan operasi hysterectomie atau operasi mengangkat rahim saat itu juga.
Kecamuk batin ternyata tak hanya dialami oleh pasien dan keluarganya melainkan juga dirasakan sang perawat. Sang perawat perempuan mengusulkan pertimbangan lain kepada dokter dan akhirnya diterima dengan konsekuensi yang musti dijalani perawat itu yakni memijit rahim pasien terus menerus dan mempersiapkan untuk transfusi darah selain juga harus tergopoh dengan pasien lainnya. “Setiap pasien membawa kisah tersendiri. Kisah mereka ternyata adalah kisahku juga. Kalau bayi yang lahir sehat… kegembiraan si ibu dan keluarganya juga menjadi kebahagiaanku. Tetapi, bila bayi yang lahir tidak sehat… kesedihan mereka menjadi kesedihanku pula” (halaman 18).
Pekerjaan yang menuntut fokus sepenuh hati itu juga terekam jelas pada kisah perawat yang menangani pasien bernama Ibu Van penderita kanker tenggorokan. Pasien yang telah divonis tidak dapat disembuhkan lagi tersebut hanya memiliki satu-satunya harapan yang tersisa yakni mengantarnya pulang berkumpul bersama keluarganya di kampung halaman. Iktikad baik sang perawat dalam menjalankan tugasnya itu ternyata harus berhadapan dengan sambutan terbalik dari keluarganya. Namun setelah rembug yang alot akhirnya sang perawat berhasil membantu pasien mewujudkan harapan kecilnya yang tersisa.
Kisah agak berbeda dialami oleh perawat yang membantu pasien mewujudkan harapan kecilnya untuk memperoleh kebebasannya dari hidup terisolir dalam pancungan selama 4 tahun. Upaya yang berat untuk menyembuhkan kejiwaan pasien bernama Juhim yang terpukul akibat kemiskinan hingga titik si pasien dapat diterima kembali di lingkungannya berhasil dihadapi perawat.
Memang tak semua judul tulisan pengalaman perawat yang dieditori oleh Romo Sindhu ini memotret kepelikan para perawat. Beberapa judul seperti Aku mau diambil menantu dan Cincin berkedip lebih fokus pada sisi ketulusan dari perawat. Ketulusan dalam menemani dan merawat itu diterima baik dan hendak dibalas oleh para pasien. Ketulusan itu dirawat oleh para perawat dengan menjaga jarak dan memegang teguh kode etik.
Selain respon baik, tak ayal para perawat juga menelan ejekan dan dampratan seperti pada judul Pasienku menikam hati dan Kerinduan sang pejabat. Asam garam profesi perawat telah membentuk keutuhan diri mereka sebagai manusia. “Dari perjalanan menekuni profesi perawat, goncangan dan peneguhan datang silih berganti. Aku semakin menyadari bahwa peneguhan itu menjadi semakin berarti di saat ada kegoncangan” (halaman 72).
Keutuhan menjadi manusia tak hanya dialami oleh para perawat yang menemani si sakit tetapi juga banyak dialami oleh si sakit itu sendiri. Baik keluarga dan perawat yang membersamai maupun si sakit yang dibersamai setidaknya, secara tidak langsung memahami hakikatnya sebagai mahluk yang muhtajun ligairihi, yang lemah dan membutuhkan pertolongan mahluk lainnya lebih-lebih pertolongan Tuhannya. Pada titik kelemahan itulah spiritualitas menguat. Kesadaran sebagai mahluk yang membutuhkan pertolongan mahluk lain mengait dengan kesadaran keharusan dirinya sendiri membantu yang lain.
Misteri di ICU menggambarkan dengan jelas bagaimana bukan hanya antar perawat yang saling membantu dalam kerja sama team tetapi juga antar para pasien. Dikisahkan ada dua pasien dengan kondisi berbeda – salah satunya bisa bergerak namun tidak bisa bicara sedangkan yang lain tidak bisa bicara tetapi lumpuh. Pada waktu luang kedua pasien itu minta didekatkan. Pasien yang lumpuh tetap berbaring dan yang tak bisa bicara minta duduk dekat si lumpuh. Ibu yang tak bisa bicara minta dinyanyikan sementara ibu yang lumpuh mengelus-elus kaki si ibu satunya.
Akhirnya, dengan pembacaan yang saksama terhadap buku ini pembaca dapat memperoleh kearifan lain terhadap sakit. Sakit tak selalu musti dimaknai sebagai derita tetapi juga menjadi anugerah tersendiri bagi masing-masing pribadi. Dengan ridha menerima sakit, manusia datang (lahir) dan berpulang. Dengan ridha menemani dan membantu si sakit, manusia berupaya untuk sembuh dan menjadi utuh. Sudahkah secercah cahaya keilahian dan lelatu kemanusiaan itu kita dapat dalam bala?
RSUD Dr. Soedono Madiun, Februari – Mei 2022
Judul : Sayur Lodeh Kehidupan Teman dalam Harapan
Editor : Sindhunata
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Kelima, 2003
Tebal : 233 halaman
ISBN : 979-672-495-2
https://alif.id/read/enw/buku-sindhunata-ini-menjadi-obat-dikala-sakit-b243721p/