ARRAHMAH.CO.ID –Di bulan Ramadhan, seolah semua
jenis kuliner keluar menampakkan diri. Jika itu di perkotaan maklum saja,
tetapi jika muncul di meja makan sendiri di perdesaan tentu itu hal special.
Rendang, opor ayam, sop kepala kakap, sate meranggi, ikan bakar, kari, Tengiri
kuah asam, dan lainnya, tiba-tiba saja mudah muncul di meja makan. Apalagi
dalam kebiasaan masyarakat urban, perkara mengadakan makanan yang “rada aneh” tentu
bukan hal sulit. Mereka tinggal datang ke pasar serba ada, lalu memasaknya di
dapur. Atau jika tak mau repot, tinggal mendatangi ke resto atau warung makan
yang menyediakannya. Meski di masa pandemi ini tentu itu masih dibatasi
sehingga sulit, kecuali dimasak sendiri di dapur sendiri.
Dilihat dari seluk-beluk kuliner,
masyarakat nusantara punya selera tinggi dan ragam rasa. Tentu ini karena
kekayaan rempah, yang zaman dulu juga disebut Palappa, begitu melimpah. Sehingga kemampuan mengolah “testa rasa”
dari rempah ini dianggap sebagai keahlian tersendiri. Di keraton-keraton seperti
di Hadiningrat Ngayogyakarta, juru masak adalah ahli yang menempati kedudukan
tersendiri dalam dunia pelayanan “abdi dalem” ke keluarga Sulthan era kolonial.
Tetapi, anehnya di daerah-daerah dimana kekuasaan kesultanan di kepulauan
rempah Maluku, justru masakan-masakan tidak menggunakan rempah seperti pala dan
cengkih, dimana dua barang ini berasal. Kemahiran mengolah ragam rempah menjadi
olahan pangan super enak ini, jika kembali baca sejarah emperium Majapahit,
menjadi satu pelatuk bagi Mahapatih Gajah Mada untuk bersumpah Amukti Palappa:
bersumpah tidak mau makan enak-enak, alias berpuasa, sebelum menyatukan nusantara
di bawah payung kekuasaan Majapahit.
Lebih fenomenal lagi, hanya di
bulan Ramadhan Timun Suri yang warnanya kuning kemuning menggoda bermunculan di
pinggir-pinggir jalan atau lapak buah. Padahal secara lughowi “Ramadhan” itu
artinya “panas”, “kering” ya gersang, sebagaimana mustaq (berakar kata) dari ramadh. Mungkin karena di bulan ini diwajibkan berpuasa—tidak
makan, minum, dan senggama siang hari—maka tubuh terasa panas kepanasan. Nafsu
terkekang api kelaparan (neraka lapar) [baca: https://www.arrahmah.co.id/2021/04/bunga-bungan-ramadhan-bag-1.html],
dahaga sangat seolah menggorok leher. Badan jadi lemah lunglay, tak bertenaga.
Tetapi demikianlah sebenarnya tujuan Shoum ini ialah untuk mendidik diri (nafsu).
Dalam kitab “Risalah Ash Shiyam”, Ramadhan digambarkan sebagai “keadaan panas”.
Puasa di bulan Ramadhan sendiri sebenarnya sudah disyariatkan (diwajibkan) pula
ke beberapa kaum sebelumnya, yakni masyarakat Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Al Quran juga menjelaskan demikian (QS:2: 183). Dalam Risalah Ash Shiyam, dulu
umat nashrani diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan yang jatuh pada musim
panas. Karena beratnya berpuasa di puncak musim panas yang terik, akhirnya
puasa digeser ke bulan lainnya. Walhasil, muncul fatwa di kalangan rahib mereka
untuk menambahkan 10 hari lagi berpuasa karena kewajiban puasa 30 hari itu
dipindah ke bulan lainnya. Ujungnya umat ini berpuasa selama 40 hari penuh.
Tentu sangat memberatkan—hingga lama-kelamaan kemudian tradisi berpuasa 40 hari
ini hilang, ditinggalkan dan puasa Ramadhan sendiri tak dikenali lagi di
generasi sesudahnya. Padahal hanya beberapa hari saja (QS:2:183-184), yakni
berpuasa 30 hari sebagaimana Bapak Adam a.s. telah mengawali puasa 30 hari [klik:
Bag.1]
sebagai pertobatan setelah keluar dari surga.
Ramadhan yang berarti “panas”
rupanya memang untuk membakar dan “memanggang” nafsu agar ia tunduk dan kelak
mencapai derajat “Muthma’innah”, “Radhiyah” dan “Mardhiyah”. Sehingga layak dan pantas memasuki surga (QS: 89:27-30).
Tetapi kenapa Ramadhan-nya umat
Nabi Muhammad SAW, saat ini, tidak terasa “panas” ya; malah nafsu
makan makin lahap ketika berbuka puasa? Pemandangan
adhem menggiur sepanjang jalan
apalagi saat ngabuburit; timun suri
kuning merona, jajanan takjil kolak pisang kolang-kaling, es pacar cina, cincau
dingin, es campur 7rupa menjaja. Belum lagi minuman “soft-drink” kekinian
seperti buble tea, boba, kopi cincau kapucino, thai-tea, yang jadi minuman
gen-Millenial. Apakah ini keutamaan Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW? Padahal
keutamaan Syahru Ramadhan ialah manakala semua kebaikan diganjar dan
dilipatgandakan, semua doa mustajab, didengar dikabulkan, pintu-pintu surga
dibuka lebar, semua pintu neraka dikunci, semua malaikat, arasy, kursi, dan
mahluk bernyawa memohonkan ampunan bagi umat Nabi SAW (Durratun Nashihin; Al Majlis Al-awwal fi Fadilati Syahr Romadhon/ Majelis
Pertama: Keterangan dalam Keutamaan Bulan Suci Ramadhan). (bersambung)[]
*). Alumni PPs Kyai Syarifuddin
Wonorejo, Lumajang Jawa Timur.
https://www.arrahmah.co.id/2021/04/bunga-bunga-ramadhan-bag-2.html