Laduni.ID, Jakarta – Indonesia kembali berduka dengan wafatnya salah satu putra terbaik bangsa yaitu Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’I Ma’arif atau yang kita kenal dengan sebutan Buya Syafi’I Ma’arif. Beliau wafat di RS PKU Muhamadiyyah pada tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB.
Semasa hidupnya, Buya tidak pernah menampilkan “ketundukan” terhadap gemerlapnya kehidupan dunia. Beliau tidak tergoda oleh rayuan untuk kemasyhuran dan kemakmuran pribadi yang sebenarnya dengan kapasitasnya beliau bisa dapatkan itu semua. Namun, semua itu beliau kesampingkan dengan tetap menampilkan kesederhanaan yang sangat anggun dan membumi. Hal ini yang menjadi salah satu identitas organik yang dimiliki oleh seorang Buya dan tentu dengan berbagai gagasan dan pemikiran yang sudah beliau tuangkan.
Buya dikenal dengan gagasannya tentang Islam, humanisme, pluralisme, HAM & demokrasi, dan keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi yang sangat tinggi, sehingga Najwa Shihab menyebut Buya sebagai “pegiat antikorupsi sampai tulang sumsum”.
Buya memandang bahwa Islam adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur’an adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik. Pasca dari Universitas Chicago pemikirannya tentang keislaman dan keindonesiaan telah melebur menjadi satu. Menurutnya Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk tidak boleh menang sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil dan proporsional. Baginya Islam adalah agama yang secara tegas menawarkan keseimbangan kepada manusia.
Selain itu, pandangannya terkait humanisme sangat menarik. Humanisme, menurut Buya harus berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Buya manusia itu memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan.
Baca Juga: Pluralisme Gus Dur adalah Gagasan Para Sufi
Menurut Buya kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanisme Buya sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.
Humanisme Buya sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanisme Buya adalah Humanisme Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada di tengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.
Pandangan Buya tentang Islam, toleransi, pluralisme, dan humanisme tidak terlepas dari pengarus sang guru yaitu Fazlur Rahman. Dengan metode kritisnya, Buya tidak segan melontarkan kritik terhadap realitas islam di abad modern. Beberapa kritik yang dilontarkan oleh Buya diantanya sebagai berikut:
1. Agama selalu tidak berdaya dalam mengawal prilaku penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh penguaa muslim.
2. Sejarah kepahitan harus dikatan dan dibongkar meski harus menelanjangi diri karena sejarah merupakan pedoman untuk bertindak dalam batas ruang dan waktu.
3. Ada kecendrungan manusia untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan dibalik ayat-ayat suci
4. Tinggalkan sikap bangga dalam kesemuan, pakai ukuran akurat untuk berkaca diri secara kritis, jangan menyembunyikan kelemahan diri dan bersiaplah menertawakan diri sendiri.
Baca Juga: NU dan Pluralisme
Kritik yang dilontarkan oleh Buya tersebut merupakan bentuk reaksi terhadap realitas sosial keberagamaan kita yang menggambarkan kelemahan kita sebagai orang muslim dalam menjawab tantangan modernitas. Bahkan ada sekelompok umat islam yang masih terglorifikasi dengan sejarah masa lalu tanpa melihat realitas yang terjadi saat ini. Mereka dengan penuh kesungguhan terus memperjuangakan gagasan-gagasan politik masa lalu agar diterapkan di Indonesia. Mengenai hal ini Buya pernah memberikan komentar sebagai berikut:
“Ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan dalam melawan arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekedar “menghibur”, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah larut dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak selalu berhasil”.
Masih banyak lagi gagasan Buya tentang Islam yang bisa ditemukan dalam berbagai naskah intelektual lainnya. Dari berbagai gagasan yang beliau sampaikan, kita dapat menyimpulkan bahwa Buya adalah seorang negarawan sejati yang tidak bisa didikte oleh siapapun.
Meskipun pandangan-pandangan Buya mengenai Islam, seringkali disalahpahami oleh orang-orang yang mungkin belum mengerti gagasan Buya tentang keisalaman dan keindonesiaan, sejatinya Buya telah menjadi soko guru bagi kita generasi penerus bangsa. Apa yang telah Buya berikan adalah warisan yang agung dan tidak ternilai harganya.
Akhirnya kita berdoa semoga Buya ditempatkan disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan semoga bisa meneruskan gagasannya untuk Indonesia yang lebih baik.
Wallahu A’lam
Sumber:
1. Buku Titik-titik Kisar di Perjalanan Ku
2. Buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
3. Buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia