Narasi yang terungkap dalam opini-opini Buya Syafii Maarif di berbagai media massa cetak maupun online, menyiratkan keprihatinan masyarakat Indonesia yang senantiasa berada dalam tekanan, bahwa semuanya harus serba cepat demi meraih produktivitas sebanyak-banyaknya. Tetapi, cara penuturan narasi di mana sang penulis mampu berdiri di luar keruwetan dan kesemrawutan itulah yang membuat pemikiran Buya Syafii menjadi asyik dan menarik.
Di bawah tekanan sistem yang kapitalistik, hampir setiap intelektual dan cendekiawan tak punya cukup ruang dan waktu bagi dirinya sendiri. Dalam situasi seperti itu, energi kreatif orang perorang dan masyarakat tidaklah dapat tumbuh dan berkembang. Khususnya dalam soal produksi barang yang bersifat material, sebagian masyarakat mampu, tetapi mereka miskin dalam energi kreatif kebudayaan. Mereka kehilangan ilham-ilham kreatif, lebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan rohani dan kulturalnya.
Katakanlah ada segelintir orang yang kekayaannya melimpah, namun jiwanya tak memperoleh kebahagiaan karena tak bisa berkembang dalam keseluruhannya. Sementara, gaya penulisan cendekiawan, yang mampu memberi jarak antara kreator dengan hasil kreasinya, hanya mungkin dikerjakan orang-orang yang siap “urip selo”, yakni mereka yang sanggup hidup mandiri dan meluangkan waktu untuk berefleksi dan memperdalam kekayaan akal budinya.
Dengan urip selo, Buya Syafii mampu mengidealkan pencapaian rohani, melewati batas-batas keduniawian dan kematerialan hidup. Ia juga mampu membangkitkan motivasi dan kesadaran diri, bahwa manusia bukan semata-mata “makhluk pekerja” melainkan juga makhluk rohani yang kreatif berjuang dan meluangkan waktu demi pembangunan peradaban umat.
“Cendekiawan dan sastrawan negeri ini sudah cukup banyak menulis dan menggambarkan orang lain, pihak lain, atau tradisi suku dan bangsa lain, tetapi seberapa banyak kita menemukan karya-karya sastra yang sanggup membicarakan diri sendiri, memerangi kekurangan dan kelemahan diri, atau bahkan menertawakan diri kita sendiri?” tutur Hafis Azhari saat acara bedah bukunya di pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten.
Sebenarnya, kritik dan gugatan Buya Syafii – baik lisan maupun tulisan – tidak berhamburan teori untuk mendeklamasikan manifes protes politik. Juga tidak mengkritik demokrasi secara tendensius. Akan tetapi, ia mengungkap gagasan sederhana yang mewakili kaum awam dan marjinal, dan kadang memaksa diri kita untuk menyoal dan menertawakan diri sendiri.
Sebagaimana membaca sebuah karya sastra, kritik-kritik yang terlontar dari mulut Buya Syafii dalam dekade terakhir ini, bagaikan menghimpun kepingan puzzle yang terserak, hingga kemudian dikumpulkan dan disatukan oleh kepekaan, kepedulian dan kecintaannya pada rakyat Indonesia. Di sinilah pentingnya siasat dan strategi kebudayaan yang ditegaskan oleh Buya Syafii.
Sebagian cendekiawan memilih jalan yang berbeda, bahwa hidup yang serba susah, nelangsa, banyak urusan kredit sana-sini, selayaknya dihadapi dengan sikap jemawa dan keangkuhan intelektual. Bagi mereka, kritikan Buya Syafii tak ubahnya dengan menggoreskan pena di atas kertas, dan sulit menembus kekuatan benteng dan kuasa politik yang sedemikian tangguh di negeri ini. Menurut saya, jiwa apriori dan skeptisisme seperti itu justru memengaruhi kualitas dirinya, terkait dengan mindset dan pola pikirnya sendiri. Tetapi, bagi jiwa-jiwa yang tegar dan kokoh seperti Buya Syafii, ia telah memetik buah dari hasil-hasil kreasinya yang takkan lekang dimakan sang waktu.
Buya Syafii jelas memiliki pendirian berbeda dengan sebagian intelektual kita yang terang-terangan – tanpa disadari – menelanjangi segala kekhilafan dan kegelisahan dirinya. Ia mengungkap segala kegundahan dan keresahan yang merupakan bagian dari indentitas keindonesiaan kita. Kejujuran dan transparansi merupakan prasyarat bagi cendekiawan manapun yang berjiwa merdeka dan menjaga kewarasannya.
Di sinilah Buya Syafii memberikan garis besar bahwa problem kegelisahan kita bukan lantaran faktor eksternal yang berada di luar diri kita. Akan tetapi, musuh sebenarnya yang mesti dilawan berada dan bercokol di dalam diri kita sendiri. “KPK tentu punya kekurangan, dan kita semua perlu meluruskannya, tetapi kita perlu berhati-hati, bahwa orang-orang KPK adalah bagian dari diri kita sendiri (pewaris Orde Baru), dan mereka bukan orang-orang suci,” tandas Buya Syafii Maarif.
Buya Syafii pernah mengkritik para penguasa dan politisi tua (senior) yang terjangkiti depresi laiknya post power syndrome. Ia seakan mendekonstruksi pelbagai kemapanan yang menghinggapi politisi, termasuk tokoh agama yang seringkali latah dan mudah kepincut mendambakan kekuasaan dalam gelimang politik-praktis.
Pada prinsipnya, segala karya dan kreasi Buya Syafii – baik lisan maupun tulisan – telah berhasil memaparkan perikehidupan sehari-hari masyarakat secara transparan bagaikan menyuguhkan prasmanan. Saat ini, kita bisa mengambil teladan dan hikmah yang berharga, dan sebagian besar telah terhampar melalui media cetak maupun daring. Segala kritik dan gugatannya seakan mendobrak kebekuan dan kejumudan para penulis dan cendekiawan yang merasa nyaman dengan habitat status quo.
Buya Syafii menggugat fakta di lapangan, bahwa ternyata banyak topeng dan kepalsuan yang layak dipersoalkan. Bagaikan menyingkap topeng-toprng gelap yang terhampar dalam menikmati buku Perasaan Orang Banten. Tujuan dan motif yang dicapai pengarangnya barangkali ingin menyodorkan kebenaran atau keyakinan baru, tapi sekaligus menggoyahkan segala keyakinan lama dan kebenaran palsu yang seringkali berjalan di tengah masyarakat. Jadi, bukan hanya sistem politik dan kekuasaan yang digugat, melainkan juga kesalehan dan kesucian yang sering bernalurikan kemunafikan.
“Kenapa banyak karya-karya cendekiawan kita bagaikan menggoreskan jari-jemari di pasir pantai yang mudah terhempas oleh pasang-surut gelombang air laut?” tegas Buya Syafii.
Pernyataan bersayap ini jelas bukan omongan ringan yang mudah dipahami cendekiawan yang adem-tentrem menyiulkan burung perkutut sambil mengepulkan asap rokok ke mana-mana. Benih kemerdekaan jiwa begitu kentara pada karakteristik Buya Syafii. Perilaku dan wataknya bisa membawa konsekuensi pengabaian atas segala takhayul dan segala hal yang tak masuk akal. Ini menjadi semacam permisifisme yang secara sosial akan membentuk karakter orang-orang waras di negeri ini, yakni mereka yang tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam persoalan remeh-temeh yang ditimbulkan oleh politik dan kekuasaan. Sebab, orang waras adalah wujud rasionalitas publik yang bisa secara cerdas dan bijaksana ketika berhadapan dengan absurditas dan ketakrasionalan para penguasa.
Kewarasan pemikiran Buya Syafii akan tetap terjaga dengan baik, terlebih di saat negeri ini dilanda situasi dan kondisi yang penuh kegilaan, stres, dan depresi masal. Di sinilah pemikiran Buya Syafii memiliki peran aktif untuk menjaga kewarasan, serta mempertahankan kesadaran hidup dan kewaspadaan. Di sisi lain, Buya Syafii telah menebarkan dan menghamparkan berbagai wacana dan dialektika yang positif, hingga bangsa ini tidak akan mudah terhasut oleh fitnah, hoaks maupun isu-isu negatif yang berseliweran di sekitar kita.
Dengan loyalitas dan ketulusannya pada nilai-nilai kemanusiaan, Buya Syafii punya caranya sendiri untuk melakukan apa yang bisa dilakukan meskipun dalam kondisi terbatas. Hal ini disebabkan, negara dan pemerintah seringkali absen saat rakyat marjinal membutuhkan perannya, lantaran direpotkan oleh urusan remeh-temeh politik praktis, birokrasi yang tidak efisien, kasus hukum yang tak berujung-pangkal, serta disibukkan oleh pemikiran-pemikiran dangkal dan sempit belaka. (*)