Selesai salat jumat siang itu saya pulang lebih cepat. Sepanjang jalan kaki, saya memikirkan soal Ujian Akhir Semester (UAS) yang akan saya selesaikan sesampainya di kamar nanti. Namun, baru saja masuk kamar, seorang kawan memberi kabar mengagetkan: Buya Prof. Syafi’I Ma’arif wafat. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Saya sontak terburu-buru membuka ponsel, memastikan kebenaran, lantas tak ingat apapun selain tekad yang pernah saya lontarkan pada seorang kawan, bahwa suatu hari saya ingin diajaknya sowan ke Buya Syafi’I, kakeknya itu. Namun keinginan itu berakhir di ujung bibir. Ia belum pernah mewujudkannya.
Tetapi, akhirnya saya memiliki kesempatan sowan ke Buya, untuk pertama kalinya, sekaligus terakhir kalinya, saat mengetahui jenazah Buya akan disemayamkan sampai ashar di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Saya bergegas ke sana setelah menuntaskan UAS.
“Jenazahnya sudah sampai, Pak?” Tanya saya. Itu karena saya lihat berjibun orang seperti menanti-nanti sesuatu, dan di luar tak mendengar semacam dzikir atau al-qur’an dari dalam sana.
“Sudah di dalam, Mas. Silakan sholat dulu,” jawab bapak itu.
Saya lewati ruas jalan di mana bermacam orang berdiri di kanan-kiri saya: tentara, wartawan, presenter tv, ibu-ibu. Beberapa kamera telah terpancang di tripod. Beranda terdengar riuh obrolan orang, sesekali tangis sesenggukan. Dan saya masih belum mendapat jawaban siapa yang sedang ditunggu orang-orang ketika saya melewati papan penyekat antara kerumunan dan tempat di mana Buya terbujur tertutup kain hijau di atas keranda.
“Silahkan-silahkan. Kloter terakhir ini ya. Monggo yang belum sholat,” kata seorang penjaga papan itu.
Ada tiga baris orang (atau empat baris) di kloter saya. Orang-orang memotret imam sholat jenazah, tapi saya tak tahu beliau siapa. Selepas takbir keempat, kami langsung kembali, saya tak sempat membaca tahlil singkat. Dan, masih ada kloter lagi yang hendak sholat. Saya teringat penjaga tadi, barangkali ia tak pernah tepat menebak jumlah orang yang bertakziah kali ini. Saya lalu berkeliling masjid, mencari “orang terkenal” yang bisa didekati. Saya mengitari masjid sampai ke beranda depan, tapi saya tetap tak menemukan.
Itu semua menggugah kesadaran bahwa saya sedang berada di tengah-tengah lingkungan Muhammadiyah, lingkungan yang orang-orang elitenya masih asing bagi awam semacam saya yang lahir dan tumbuh di lingkaran nahdliyyin.
Setelah sambutan penghormatan dari Presiden Jokowi dan Prof. Haedar Nashir selesai, saya merangsek ke depan, ingin ikut serta mengangkat keranda. Saya siap berdesak-desak mengantarkan jenazah Buya ke ambulan. Ponsel dan dompet saya amankan, sekiranya tak terbanting andai saya harus bertabrak-tabrakan. Jarak antara tempat pengimaman dan halaman juga tak dekat-dekat amat.
Namun, saya terkesiap saat tak mendapati halangan yang berarti ketika turut mengangkat keranda, meskipun begitu banyak orang di dalam masjid. Dua orang tentara di depan saya, di belakang berdiri seorang tentara dan satu pemuda sipil, dan saya tepat berada di tengah. Kurang lebih demikian pula komposisi pembawa keranda di baris satunya. Saya kurang tahu. Karena yang saya lihat adalah kerumunan orang terbelah menjadi dua sisi, membentuk semacam lorong yang panjang dan kami berjalan begitu lancar di tengahnya. Sementara, dari belakang, samar-samar terdengar:
La Ilaha Illallah La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah…
Di tengah ruangan hening dan suasana sedih, kalimat tauhid itu tampak digaungkan secara gamang dan malu-malu oleh segelintir orang, termasuk pemuda sipil di belakang saya. Dalam pandangan selintas, kiranya pemuda itu memiliki latar sosial-keagamaan yang serupa dengan saya. Saya pun turut menggaungkan, dengan cara yang sama. Meski sedemikian canggung dan pelan, kalimat-kalimat tauhid itu terus bersuara, karena kami percaya sosok Buya melintasi hal-hal yang menyekat kemanusiaan kita. Buya Syafii menyatukan kami.
Kepercayaan ini pula yang membuat saya tidak terlalu kaget saat melihat beberapa orang yang memakai jubah berwarna oranye-jingga di dalam masjid. Merekalah para Bhante dan Biksu dari kalangan Buddhis. Saat jenazah Buya Syafii lewat, saya melihat mereka berdiri berderet-deret seraya menangkupkan dua telapak tangannya, tanda takzim dan hormat. Seolah Buya masih hidup dan berjalan di depan mereka.
Sesampai di halaman masjid, kami digantikan oleh tiga pasang militer yang bersepatu delta dengan pakaian yang lebih rapi, dan baret merah yang gagah. Langkah mereka sejajar dan berjenjang. Di depan sana, presiden, gubernur dan beberapa pejabat lain sudah menunggunya, untuk kemudian dibawa ke pemakaman Husnul Khatimah di Donomulyo, Nanggulan, Kulon Progo. Saya berangan-angan. Andai memungkinkan, barangkali sosok yang lebih memilih bersepeda kayuh saat pergi bersimpati ke gereja yang diteror itu; sosok yang mau mengantre ketika berobat di rumah sakit milik Muhammadiyah itu, akan menampik juga terhadap penghormatan yang sedemikian agung ini.
Selepas itu, saya kembali. Orang-orang Buddhis tampak dikerubungi wartawan, juga orang-orang yang mengajaknya berfoto. Saya tertarik. Namun urung melakukan, mereka bubar begitu rintik hujan mengguyur kesedihan Yogyakarta, meski langit terlihat begitu cerah.
Kemudian saya membuka ponsel, dan mendapati Romo Santo yang juga hadir di tengah gerimis yang murung ini. Lalu beralih membuka chat dari kawan yang juga cucu Buya tadi. Ia meminta maaf belum sempat mengajak saya untuk sowan bersama. Namun saya katakan, “Tak ada yang salah, saya baru saja selesai sowan ke Buya.”
Buya Syafii memang telah wafat, tapi saya, baru saja, merasa beliau masih hidup di tengah kita. Asal kita merawat warisan ajarannya.
https://alif.id/read/ahmad-zamzama/buya-syafii-menyatukan-kami-b243750p/