Cadar adalah Adat dan Bukan Ibadah?

Sebuah buku kecil saya temukan di toko buku bekas, namanya Nadi’ Rubu’. Tempatnya memang tak jauh dari tempat tinggal saya, tapi untuk berjalan ke sana, kaki ini harus melangkah sekitar 200 langkah.

Setiba di sana, rasa capek yang tak seberapa berhasil terbayar dengan melihat banyak sekali buku-buku berjejer rapi. Bahagia versiku memang sederhana. Namun, tiba-tiba mata saya mengarah pada satu buku yang begitu tipis, bersampul hijau-putih yang secara badani masih bagus. Bukan badaniyahnya yang membuat saya tertarik, melainkan judul yang membuat hati saya meraba-raba. Jika anda berkenan saya terjemahkan judulnya di sini sebagai “Cadar adalah Adat Bukan Ibadah; Sebuah Pendapat yang Sesuai Syariat dalam Permasalahan Cadar Ditulis oleh Ulama Senior (al-Azhar)”.

Buku ini sekarang sudah resmi saya miliki. Jika dilihat sampulnya kita akan mengetahui, bahwa buku kecil ini adalah kumpulan esai para ulama senior al-Azhar yang membahasan perihal cadar serta hukumnya dalam timbangan syariat. Adapun orang yang menggawanginya adalah Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, seorang Mentri pewakafan Mesir. Ia juga sekaligus menjadi penulis kata pengantar dalam buku ini.

Esai Pertama (kata pengantar)

Oleh : Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq

Dalam mukadimahnya, ia menjelaskan bahwa manusia yang hidup di alam semesta ini pasti akan membutuhkan satu lain, itu adalah sunnatullah. Lalu ia mengutip perkataan para filsuf klasik “Manusia adalah mahluk madani secara tabiat” maksud dari madani adalah kinayah dari perkumpulan manusia. Madani diambil dari kata Madinah dalam bahasa arab yang berarti kota, sehingga maksud dari kalimat tersebut adalah manusia secara tabiat aslinya adalah entitas yang hidup secara berkumpul dan saling membantu layaknya sebuah kota yang menjadi tempat berkumpulnya manusia. Tidak sampai di situ, Ia juga mengutip perkataan para ahli sosiolog bahwa manusia sejatinya adalah entitas sosial, artinya manusia selalu memerlukan manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Manusia memang berbeda satu dengan lainnya dalam segala hal, tetapi hanya ada satu yang menyatukan mereka, yakni tabiat. Sedangkan termasuk tabiat manusia yang bisa kita temukan kesamaannya dengan manusia lain adalah mereka selalu membutuhkan komunikasi dalam menjalani hidupnya.

Tabiat termasuk fitrah yang telah diberikan oleh yang Maha Kuasa. Seorang manusia yang hidup di tengah-tengah kota, pasti akan membutuhkan orang lain, akses untuk itu tidak lain dengan berkomunikasi di antara mereka, sehingga mereka tahu apa yang ia butuhkan dan ia tahu apa yang mereka inginkan.

Dalam Al-Qur’an Allah Swt telah mengafirmasi, bahwa manusia diciptakan secara berbeda-beda -satu sisi- sekaligus juga menyuruh mereka untuk saling mengenal -sisi yang lain-. Darinya kita bisa melihat bahwa mengenal adalah jalan pertama untuk menggapai proses komunikasi antar manusia yang mana itu adalah termasuk fitrah mereka.

Setelah sampai di sini, ia kemudian mencoba melempar pertanyaan kepada pembaca. “Bagaimana proses komunikasi/hubungan antar manusia bisa berjalan dengan sempurna? Atau media dari proses ini?”. Mungkin kalian bertanya-tanya, saya pun demikian.

Dari awal Allah Swt menciptakan manusia dalam bentuknya yang paling ideal, wajah adalah media yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan manusia lain. Dari wajah juga peran-peran alat komunikasi yang lain seperti telinga, hidung, mulut dan mimik wajah bisa berfungsi dengan sempurna. Wajah menjadi ekspresi pertama yang dapat dilihat oleh manusia lain. Sehingga saat wajah yang ditampakkan bahagia maka ia akan mendatangkan ketenangan bagi yang lain, tetapi jika yang ditampakkan adalah raut wajahnya yang cemberut maka hasilnya orang lain akan enggan mendekatinya.

Maka jika demikian, wajah secara khusus mempunyai peran yang signifikan dalam merawat keberlangsungan hidup di antara manusia.

Kebenaran fenomena yang dipaparkan Hamdi Zaqzuq didukung dengan hadist-hadist Nabi saw yang banyak menganjurkan untuk selalu tersenyum dengan orang lain, karena itu dihitung sedekah. Bahkan, kita dilarang untuk merendahkan orang lain walaupun dengan memasang muka yang cemberut/cuek kepadanya.

Ini semua adalah mukadimah untuk menjadi basis kita dalam membahas isu yang sedang ramai, yang terepresentasikan dalam  fenomena menutup akses komunikasi antar manusia.

Apa yang telah disebutkan di atas adalah pandangan yang sudah sesuai dengan takaran akal sehat dan ajaran Islam yang benar. Keberlakuannya juga bukan hanya bagi wajah perempuan secara personal, namun berlaku bagi para lelaki juga.

Fenomena penutupan jendela komunikasi ini merepresentasi pada apa yang telah umum diistilahkan sebagai Niqob sebuah alat penutup wajah, ketika diterjemahkan dalam bahasa kita adalah cadar.

Fenomena ini telah merambah ke banyak elemen masyarakat dan menyebar sebagai sesuatu yang menarik banyak perhatian. Para perawat dalam rumah sakitnya, guru-guru di dalam ruang belajarnya, anak siswi di kelas, bahkan pejabat di kantornya. Mereka mengira “bercadar” adalah satu dari sekian alamat yang mewakili kualitas agama seseorang yang baik, mereka banyak berdalih bahwa bercadar termasuk hak kebebasan setiap individu manusia.

Menanggapi argumen mereka, Hamdi Zaqzuq dengan tegas mengatakan “Sesungguhnya perkara ini tidak ada hubungannya dengan hak asasi manusia, alih-alih bercadar justru menodai hak manusia itu sendiri, karena hakikatnya mereka merusak tabiat manusia yang secara fitrah telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, apalagi perkara ini berdampak buruk pada ajaran Islam yang luhur”.

Kebenaran yang sebenarnya, di sana ada sebuah adat istiadat yang diinginkan oleh sebagian orang untuk diwajibkan/dimasukkan sebagai ajaran agama, padahal itu bukan.

Di sisi lain, Islam telah mengajarkan untuk membuka wajah tatkala berhaji dan di dalam solat. Tak ada satu pun dalil baik dari Al-Qur’an atau Hadist atau secara akal sehat yang menunjukkan bahwa Islam menuntut seseorang untuk menutup wajahnya. Maka dengan demikian bercadar itu adat bukan ibadah, karena yang namanya ibadah harus berasal dari nash yang shorih (jelas).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perempuan jahiliyah di masa primordial Islam kerap menutup wajahnya dengan menyisakan mata saja. Sehingga bisa dipastikan fenomena ini termasuk adat tradisional dan kearifan lokal, bukan sebuah ibadah yang digembor-gemborkan mereka di luar sana.

Pengalaman pribadi Hamdi Zaqzuq menjadikan pandangannya dalam memilih status cadar sebagai adat adalah kabar yang ia dapatkan dari salah seorang teman, dia menceritakan bahwa ada sebuah acara tv yang ditonton banyak orang membahas tentang cadar secara spesifik. Kesimpulan dari acara ini berujung pada pendapat tidak boleh menampakkan wajah secara keseluruhan dan yang diperbolehkan terlihat cuma lensa hitam matanya saja.

Jika demikian adanya -pendapat Syekh Muhamad Ghazali- ayat (قل للمؤمنين يغضوا من أبصلرهم) yang menjelaskan perintah menutup mata  tidak relevan maknanya, karena di ayat itu kita disuruh memalingkan mata dari wajah-wajah perempuan. Seandainya perempuan zaman itu sudah tertutup wajahnya, maka apa gunanya seorang pria disuruh memalingkan matanya dari wajah tersebut yang sudah tertutup dari awal. Apakah ia disuruh untuk memalingkan matanya dari pundak perempuan!?.

Lalu Syekh Muhammad Ghazali mendebat orang-orang yang beragumen dengan menggunakan ayat lain (وليضربن بخمورهن علي جيوبهن) yang menyuruh perempuan untuk menurunkan penutup kepalanya sampai area dada dan sekitarnya. Lalu jika saja yang disuruh adalah menutup wajah, seharusnya ayatnya akan berbunyi (وايضربن بخمورهن علي وجوههن).

Kemudian Hamdi Zaqzuq memotret satu riwayat yang menguatkan pendapatnya. Suatu ketika, tatkala Hari Raya Nabi saw pernah ditanya oleh seorang wanita yang pipinya “coklat kemerah-merahan”. Pertanyaanya, dari mana sang rawi hadist mengetahui wanita tersebut saf’a yakni pipinya coklat kemerah-merahan, jika memang tidak melihat wajahnya!? Dan itu terjadi di suatu majelis yang Nabi saw hadir langsung di situ.

Kesimpulan

Dari sekian banyak nash yang ada, baik di Al-Qur’an maupun Sunah dan juga secara akal sehat, di sana tak ditemukan satu keterangan pun yang menjelaskan perintah menutup wajah secara kaffah (keseluruhan). Alih-alih menutup wajah merupakan perampasan hak wanita dan menodai ajaran Islam yang sebenarnya. Sebagai muslim yang baik ketika ber-tadayyun  (beragama) sebisa mungkin dengan mengikuti para ulama yang sudah kredibel di bidangnya dan juga selalu mengedepankan maslahat bersama, -katanya- فحيثما توجد المصلحة فثم شرع الله di mana di sana ditemukan sebuah maslahat, maka itu bisa dipastikan syariat Allah Swt.

Hemat saya pribadi, beliau sebenarnya menawarkan satu konsep penting dalam tulisannya yang panjang ini, bahwa cadar pada hakikatnya adalah adat saja, sehingga orang yang tidak bercadar bukan berarti agamanya buruk, karena itu tidak menunjukan apa-apa terhadap kualitas agama setiap orang. Di tulisan ini, ia juga sejujurnya ingin mengkritik orang-orang yang bercadar dengan terlalu ekstrim, bukan melarangnya. Memakainya boleh-boleh saja, dan jika itu memang ada maslahat baginya dan sekitarnya maka itu sangat dianjurkan sebagaimana kaidah diatas, hanya saja jika memasukkannya kepada sebuah ajaran Islam yang sifatnya wajib, itu yang tidak ia inginkan.

Esai kedua “Wajah Perempun bukan Aurat, Cadar itu Adat bukan Ibadah”

Oleh : Dr. Muhamad Sayid Thonthowi (Mantan Grand Syekh)

Tanpa ada mukadimah, ia langsung memaparkan pendapat banyak ulama mengenai permasalahan ini. Saya kira tulisan ini memang akan sangat singkat.

Jumhur ulama fikih sepakat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Selama ia menggunakan pakaian yang sopan, tidak menampakkan darinya selain wajah dan telapak kedua tangannya, maka ia sudah menggunakan pakaian yang sudah sesuai syariat dan sudah menaati apa yang diajarkan dalam Islam.

Ia berargumen dengan ayat (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) yang menerangkan larangan untuk menampakkan seluruh badan wanita kecuali yang terbiasa terlihat dengan wajah dan telapak tangan. Jumhur fuqoha’ dan Imam Thobari dalam tafsirnya juga mengatakan demikian.

Imam Nawawi juga mengatakan bahwa aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya. Didukung oleh Imam Malik, al-Auza’i, Abu Tsur, Abu Hanifah, Tsauri, Ahmad ibn Hanbal.

Ulama empat juga berpendapat sama bahwa aurat wanita adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya. Ditambah banyak ulama dari kalangan mufassir dan ahli hadist, fikih yang berpendapat demikian, sehingga berimpilkasi pada ijma’ ulama.

Terakhir beliau mengutip fatwa mantan seorang mufti Mesir pada masanya Syekh Hasanain Muhamad Mahluf yang terapat di kitabnya Fatawa as-Syar’iyah juz 1 hal 119 “Wajah wanita bukan aurat menurut madzab Hanafiyah dan banyak ulama lainnya, maka bagi boleh membukanya. Untuk seorang laki-laki yang bukan mahramnya boleh juga melihatnya, namun tanpa syahwat..”

Kesimpulan

Dari semua yang sudah dipaparkan, maka ia berpendapat dengan jelas bahwa wajah perempuan bukan aurat. Adapun masalah cadar ia hanya mengatakan secara singkat saja, bahwa cadar hanyalah adat biasa tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibadah.

Esai ketiga “Cadar berhubungan erat dengan Adat”

Oleh : Dr. Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir)

Di awal tulisannya ia langsung menyuguhkan pertanyaan retorikal “Apa pakaian syar’i bagi perempuan muslimah? Dan apa hukum menggunakan cadar?.

Secara syariat Islam berhijab (menutup aurat) adalah kewajiban. Dengan dalil ayat 30-31 an-Nur, ayat 59 al-Ahzab. Dalam sebuah hadist Aisyah pernah meriwayatkan bahwa suatu ketika Asma’ binti Abu Bakar pernah memasuki rumah Nabi saw dengan pakaian yang sangat tipis, lalu Nabi saw spontan memalingkan wajahnya darinya sembari bersabda “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang perempuan jika sudah mencapai baligh maka seluruh badannya tidak boleh terlihat kecuali ini”  Nabi saw mengisyaratkan wajah dan telapak tangannya.

Pakaian seorang muslimah harus bisa menutupi seluruh badannya dan yang tidak menembus bagian dari tubuhnya, apalagi sampai terlalu ketat, sehingga lekuk tubuhnya terlihat menggairahkan. Tidak ada larangan untuk memakai pakaian yang bercorak, hanya saja dengan catatan tidak menarik perhatian dan tidak menimbulkan fitnah. Apabila syarat-syarat ini terpenuhi, mau memakai pakaian apapun -dengan syarat ini- itu diperbolehkan.

Adapun hukum cadar (yang menutupi wajah) yang shahih adalah tidaklah wajib, karena sejatinya aurat perempuan muslimah merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya, sehingga membuka wajah hukumnya jawaz (boleh). Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama Hanafiyah, Syafiiyah, Malikiyah dan diikuti oleh Imam Ahmad dan pengikutnya (menurut riwayat Imam Mirdawi). Madzab salaf pun demikian, dari Mulai Imam al-Auza’i dan Abu Tsur sampai dengan yang lain. Bahkan, secara shorih (terang-terangan) madzhab Malikiyah men-nash (meredaksikan) bahwa cadar akan berimplikasi makruh, jika adat yang berlaku di daerah tersebut tidak lazim dengan cadar.

Syekh al-Islam Zakariya al-Ansori dalam kitab Asna al Mathalib berkata “Aurat perempuan merdeka dalam solat dan ketika ada lelaki ajnabi (bukan mahram) -sekalipun di luar solat- adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan”.

Rata-rata jumhur ulama akan berargumen menggunakan ayat (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) bahwa ma dhoharo minha ditafsiri dengan wajah dan telapak, karena mereka berdua adalah hal yang lumrah terlihat. Dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah, Abd Humaid, Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas RA. Para mufasir salaf pun berkata demikian seperti Umar, ‘Atho, Ikrimah, Said ibn Jubair, Abu Syufaa’, Dhohak, Ibrahim an-Nakho’i.

Lalu Ali Jum’ah memaparkan beberapa potret hadist yang menunjukkan bahwa wajah memang boleh terbuka.

Pertama, Riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi saw melarang perempuan yang sedang ihram untuk menggunakan cadar atau sapu tangan. Komentar Ali Jum’ah “Seandainya wajah aurat, tidak mungkin Nabi saw akan mengaharamkan”.

Kedua, riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan saudaranya Fadl ibn Abbas yang dijuluki pembonceng Rasuluah saw. Suatu hari di tanggal 10 Dzul hijjah pada saat Nabi saw melaksanakan Haji wada’ tiba-tiba ada wanita yang elok wajahnya datang dari khaitsam -kabilah Yaman- bertanya kepadanya “Bapak saya telah udzur untuk melaksanakan haji, apakah saya boleh membadalinya? Jawab Nabi saw “boleh”. Nah, saat perempuan ini bertanya kepadanya, Nabi saw seketika memalingkan wajah Fadl -yang diboncengnya- agar ia tidak melihat wajah perempuan tadi. Komentar Ali Jum’ah “Seandainya wajah perempuan adalah aurat yang wajib ditutup, niscaya Nabi saw tidak akan membiarkannya tetap terbuka di tengah lautan manusia saat itu dan niscaya Nabi saw akan menyuruh menurunkan hujabnya ke wajahnya agar tertutup, dan seandainya wajah perempuan tadi pada waktu itu tertutup, niscaya sang rawi hadis tidak akan mensifatinya dengan elok wajahnya atau sebaliknya.

Sesungguhnya hajah (kebutuhan) zaman sekarang menuntut untuk membuka wajah dan telapak tangan untuk kepentingan bermuamalah.

Lantas sebagian ulama yang berpandangan wajib memakai cadar, mereka menggunakan dalil yang masih ihtimal (tidak kuat). Sedangkan kaidahnya berbunyi إن ما تطرق إليه الإحتمال بطل به الإستدلال  bahwa jika dalil yang digunakan masih bersifat ihtimal maka istidlalnya (penggunaan dalil) batal dan kaidahnya lagi jika terjadi taarudl (pertentangan) atara dua dalil maka yang diambil adalah jalan  براءة الذمة من التكليف yakni melepas tanggungan dari hukum taklif.

Lalu Ali Jum’ah ,menjelaskan bahwa permasalahan pakaian berhubungan kuat dengan adat di suatu daerahnya. Namun, fatwa Mesir mengatakan bahwa boleh seorang perempuan membuka wajahnya dan telapak tangannya. Adapun masyarakat yang kebetulan bermadzab Hambali dan di daerahnya memang lazim menutup wajah menggunakan cadar maka itu diperbolehkan, selama menutup wajah tidak dijadikan ukuran kualitas agama seseorang, hanya sekedar memang kebetulan adatnya demikian di sana.

Terakhir Ali Jum’ah menegaskan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi ini hanya dalam konteks ketika cadar tidak berimplikasi pada terpecahnya umat Islam dan juga bukan merupakan syi’ar beragama atau beribadah. Tetapi apabila ternyata cadar berimpilaksi demikian, maka hukumnya yang tadinya bisa sunah dan ibahah (boleh) menjadi bid’ah, karena semuanya ini menyebabkan perpecahan umat Islam yang lebih wajib darinya.

Setelah membahas panjang lebar tentang isu yang sangat krusial dan kaitannya dengan menutup wajah yang kita istilahkan dengan penggunaan kain cadar, kita sekarang akan memasuki bab khusus yang membahas tentang cadar itu sendiri. Tetapi agaknya akan sedikit tentang tulisan khusus ini, karena memang rata-rata ide pokoknya sudah dibahas di depan tadi.

Pertama, tentang niqob secara terminologi diambil dari ما تنتقب به المرأة yakni sesuatu yang dijadikan oleh perempuan sebagai cadar; penutup wajah. Adapun perbedaan niqob dengan hijab, kalau hijab adalah satir/penutup yang digunakan perempuan secara umum, sedangkan niqob ialah penutup khusus wajah perempuan.

Kedua, membahas pendapat para sekaliber ulama beserta dalil-dalilnya yang secara umum sudah terbahas di tulisan di atas. Intinya adalah -menurut jumhur ulama- aurat wanita di depan seorang laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Kenapa kedua bagian ini bukan aurat karena perempuan hajah/berkebutuhan untuk bermuamalah dengan orang lain. Adapun memandang wajah perempuan hukumnya boleh selama tidak dibarengi syahwat, namun hemat saya lebih baik tidak usah melirik, siapa di dunia ini yang tidak bersyahwat ketika melihat wajah indah seorang perempuan!?.

Niqob akan makruh secara mutlak (baik dalam sholat atau pun diluar salat) ketika adat di daerah tersebut tidak lazim menggunakannya dan seandainya adat di daerahnya lazim menggunakan cadar maka hanya makruh ketika dipakai di dalam salat saja.

Mungkin tulisan ini akan saya cukupkan, karena ide tawaran dari ulama-ulama yang telah disebutkan di atas sudah saya paparkan, kiranya jika berkenan saya akan undur pamit.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/arz/cadar-adalah-adat-dan-bukan-ibadah-b248235p/