Cara Kaum Muslim Menyikapi Perbedaan

Cara Kaum Muslim Menyikapi Perbedaan


ARRAHMAH.CO.ID
 – Perbedaan adalah sunnatullah dan keragaman adalah kenyataan yang menunjukkan ke-Maha-Besar-an Sang Khaliq. Allah Swt menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan ciri khasnya masing-masing. Allah berfirman:

Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di antara kalian adalah yang paling taqwa
(QS. al-Hujurat: 13).

Ayat ini merupakan bentuk pengakuan mengenai realitas
keberagaman, termasuk keberagaman di bidang keyakinan. Karena itu, keterbukaan,
toleransi dan menghormati agama-agama lain merupakan aspek penting dalam Islam.
Al-Quran menegaskan dengan jelas, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS.
al-Baqarah: 256), “dan bagimu agamamu, bagiku agamaku” (QS. al-Kafirun:
6). Al-Quran juga memerintahkan kaum muslim agar tidak mencaci maki orang yang
menyembah selain Allah karena mereka tidak tahu (QS. al-An’am). Al-Quran juga
mengajarkan agar orang yang beriman menunjukkan rasa hormat kepada semua Nabi,
bahwa “mereka semua beriman kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya dan
Kitab-kitab Suci-Nya dan Nabi-nabi-Nya. Kami tidak membeda-bedakannya”
(QS.
al-Nisa’:150-151).

Inilah sebabnya, kaum Muslim menghormati seluruh Nabi hingga
Nabi terakhir Muhammad Saw., apakah nabi-nabi itu namanya tercantum di dalam
al-Quran maupun tidak. Al-Quran juga tanpa ragu-ragu menegaskan bahwa surga
tidaklah dimonopoli oleh sekelompok agama tertentu saja. Siapa saja yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan dia berlaku baik (muhsin), dia akan mendapat pahala
dari-Nya (QS. al-Baqarah: 112).

Saat ini sulit sekali
menemukan suatu negara atau bangsa dengan warga negara yang berasal dari satu
ras, satu agama atau satu ideologi saja. Ketunggalan suatu negara dalam satu
ras, suku dan agama semakin jarang terjadi karena mobilitas penduduk yang kian
meningkat. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain – baik karena
alasan profesional maupun alasan personal melalui ikatan pernikahan –
menunjukkan kecenderungan yang kian meningkat. Ini menyebabkan keragaman
menjadi semakin tak terhindarkan.

Sebagai sunnatullah, perbedaan
dan keragaman merupakan kehendak Allah Swt. Dalam beberapa ayat al-Qur’an
disebutkan, antara lain:

Kalau saja Allah berkehendak, maka Ia akan jadikan mereka menjadi satu
umat saja, tetapi ada orang yang dikehendaki-Nya masuk dalam rahmat-Nya,
sementara orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun
atau seorang penolong
” (QS. Asy-Syura, 42: 8).

 “Jika
Tuhanmu berkehendak, maka akan beriman seluruh orang di muka bumi  ini, apakah kamu mau memaksa orang-orang agar
mereka beriman. Seseorang tidak akan beriman, kecuali atas izin Allah, dan
Allah jadikan keburukan bagi orang-orang yang tidak berakal
” (QS. Yunus,
10: 99-100).

Kita perlu bersikap arif
menghadapi perbedaan dan keragaman, bukan semata-mata karena kehidupan ini
penuh dengan keragaman, tetapi juga karena manusia tidak bisa lagi hidup
sendiri di dunia jagat raya ini; semuanya saling terkait satu sama lain dan
tidak bisa lagi mengelak dari pengaruh yang lain. Salah satu kemajuan penting
abad dua puluh satu adalah kenyataan bahwa seluruh negeri-negeri ini telah
menjadi tetangga kita berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin
menglobal.

Jika masalah keragaman
tidak ditangani dengan serius di tengah gegap gempita pertemuan berbagai
kebudayaan dalam peradaban global, maka perang peradaban bisa semakin dekat
dengan kenyataan.

 

Menghargai Perbedaan,
Menghindari Konflik

Realitas keragaman itu tentu tidak bisa dibiarkan apa adanya
tanpa ada usaha mengembangkannya dalam suatu harmoni sosial. Sebab, jika tidak
dikelola dengan baik, maka perbedan dalam keragaman dapat menjadi bibit-bibit
konflik. Perbedaan budaya, bahasa, asal usul, etnis dan keyakinan memang tidak
pernah betul-betul menjadi pemicu konflik. Tapi perbedaan dan keragaman seperti
itu bisa menjadi kendaraan efektif bagi berbagai kepentingan yang dengan mudah
menumpanginya. Perbedaan memang tidak menjadi masalah, tapi begitu kepentingan
masuk ke dalamnya, maka perbedaan yang sebelumnya berupa rahmat bisa dengan
cepat berubah menjadi laknat.

Karena itu, dibutuhkan sikap yang lebih menghargai perbedaan
dan keragaman. Sikap yang tidak hanya mengakui adanya kelompok lain, tetapi
juga memberi perlindungan terhadap kelompok lain yang terancam. sebuah sikap
pro-aktif untuk menjaga harmoni sosial dalam realitas yang beragam.

Namun, dalam konteks agama, rupanya keragaman tidak semudah
dalam konteks lainnya. Kita perlu memikirkan secara serius masalah perbedaan
agama yang sering dijadikan sebagai satu-satunya identitas pembeda. Dalam
identitas etnis, seseorang bisa saja separuh Cina dan sekaligus separuh Jawa,
tapi dalam identitas agama, seseorang tidak bisa memiliki identitas separuh
Islam atau separuh Budha misalnya.

Itulah sebabnya, cara pandang terhadap keragaman perlu
diperbarui. Selama ini cara pandang keragaman agama terlalu ditekankan pada
aspek normatif, bahwa ajaran agama sangat mendukung keragaman dengan mengutip
sejumlah ayat kitab suci. Padahal, realitas yang ada dalam kitab suci sangat
berbeda dengan realitas yang kita hadapi sehari-hari. Ada jarak yang demikian
lebar antara ajaran luhur kitab suci dengan realitas empiris di depan mata.

Jika kita gagal memperbaharui cara pandang ini, maka yang
paling terancam sebetulnya adalah umat beragama itu sendiri. Sebab, jika satu
kelompok agama terus hidup dalam komunitasnya sendiri sambil bersikap curiga
dan menganggap kelompok agama lain sebagai musuh, maka yang akan terjadi adalah
perang agama. Itulah sebabnya, kebenaran agama tidak cukup ditunjukkan hanya
dengan ajaran yang terdapat dalam kitab suci, tetapi juga dibuktikan dengan
keterlibatan agama itu sendiri untuk turut menyelesaikan berbagai problem
kemanusiaan yang kian hari kian kompleks.

Problem kemanusiaan yang kian kompleks tentu tidak mungkin
diserahkan penyelesaianya hanya kepada satu komunitas agama. Dalam konteks
seperti ini, mestinya kaum beriman sudah malampaui dialog dengan melakukan aksi
nyata secara bersama-sama dalam rangka menanggulangi berbagai bentuk problem
kemanusian.

 

Akhlaq dalam Perbedaan

Sebagai sunnatullah, tentu saja perbedaan
memerlukan etika atau akhlaq. Sebab, jika perbedaan dibiarkan tanpa akhlaq,
maka sangat mungkin perbedaan itu berubah dari rahmat menjadi laknat. Sudah
menjadi tugas manusia sebagai khalifah fil ardl untuk memelihara dan
melestarikan pesan moral dari hadits yang menegaskan bahwa perbedaan adalah
rahmat.

Perbedaan dan keragaman bukan sesuatu yang terjadi dengan
sendirinya, melainkan memang sudah disengaja oleh Allah Yang Maha Pencipta.

Kalau saja Tuhanmu berkehendak, maka Ia akan menjadikan seluruh manusia
menjadi satu umat saja, tetapi mereka akan tetap berselisih dan berbeda
pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, Dan karena
itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu telah ditetapkan. Sesungguhnya
Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya”
. (QS. Hud, 11: 118-119).

Sebagai hasil ciptaan ALLAH, tentu saja perbedaan dan
keragaman mempunyai tujuan. Allah Swt menciptakan langit dan bumi dan seluruh
isinya tidak sia-sia. Selalu ada tujuan dalam menciptakan mahluk-Nya. Salah
satu tujuan diciptakan-Nya keragaman adalah agar manusia saling kenal dan
saling tolong menolong.

Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(al-Hujurat ayat 13)

Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita melihat bahwa
perbedaan seringkali menjadi pemicu konflik. Perbedaan tidak dilihat sebagai
rahmat, tapi justru dianggap sebagai bencana. Keragaman dianggap sebagai
bencana. Dari cara pandang inilah lahir upaya-upaya untuk mengingkari perbedaan
dengan cara penyeragaman. Karena menyalahi Sunnatullah, maka penyeragaman ini
melahirkan konflik berkepanjangan, bahkan diwarnai kekerasan. Sudah berapa
banyak nyawa dan harta melayang karena manusia tidak mampu mengelola perbedaan
dan keragaman.

Sudah banyak usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut melalui pendekatan toleransi. Sayangnya,  toleransi selama ini hanya difokuskan pada
hidup berdampingan secara damai antara satu kelompok dengan kelompok yang lain,
tanpa ada usaha untuk membuka ruang komunikasi yang lebih terbuka di antara
kelompok-kelompok tersebut. Sehingga mereka hidup dalam ketidaktahuan satu sama
lain.

Usaha dialog antar pemeluk agama juga
sudah lama dilakukan, namun usaha ini lebih bersifat retorik ketimbang empirik.
Upaya dialog biasanya lebih sering mencari titik temu ketimbang mencoba
mengelaborasi keunikan masing-masing kelompok. Padahal, substansi toleransi
bukan pada persamaan, tetapi justru pada pernghargaan terhadap perbedaan.
Manusia bergaul akrab dengan yang lain bukan semata-mata karena adanya
kesamaan, tetapi terutama karena adanya perbedaan yang menandai keunikan
masing-masing. Akibat dialog yang hanya bersifat permukaan tidak mampu
memberikan saling pengertian dan pemahaman mengenai keunikan masing-masing.
Keunikan tetap tersembunyi di balik permukaan. Ironisnya, ketika terjadi
dialog, masing-masing kelompok seringkali masih menggunakan bahasa agamanya
sendiri-sendiri sehingga dialog yang berlangsung pun tak ubahnya seperti
berbicara kepada diri mereka sendiri, bukan dengan kelompok lain yang berbeda.

Dialog semacam itu harus digeser dari
upaya mencari persamaan ke upaya mengenali keunikan masing-masing. Dan, di atas
itu semua, tentu saja dialog itu harus ditingkatkan lebih dari sekadar saling
mengenal, tetapi juga dalam bentuk dialog kemanusiaan misalnya. Tema dialog
yang mesti diangkat bukan tema-tema keagamaan, tetapi tema-tema kemanusiaan
yang menyangkut kepertingan dan problem bersama.

Persoalan lainnya adalah bahwa  dialog antar-agama yang selama ini dilakukan
hanya terjadi di kalangan elite agama tanpa melibatkan kelompok arus bawah.
Padahal justru kelompok arus bawa lah yang seringkali bersentuhan secara riil
dengan kelompok lain. Mereka hanya mengetahui kelompok lain berdasarkan
prasangka, sehingga ketika terjadi persentuhan diantara mereka – apalagi jika
kemudian diwarnai ketegangan – tentu saja akan sangat mudah memicu konflik
diantara mereka.

Karena itu, yang paling penting
sebetulnya adalah dialog di tingkat akar rumput. Karena di sanalah
persinggungan yang sesungguhnya terjadi. Sudah saatnya kita sebagai khalifah
fil ardl memulai usaha yang lebih serius untuk membumikan pesan moral dari tujuan
diciptakannya keragama ini. Allah Swt menciptakan perbedaan bukan untuk saling
bermusuhan, tetapi justru untuk berkenalan, belajar satu sama lain dan tolong
menolong dalam kebaikan.***

 

Oleh: Ust Fathoni Muhammad, salah seorang PP. Al Miftah Gresik, pengurus Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.

 

https://www.arrahmah.co.id/2021/03/cara-kaum-muslim-menyikapi-perbedaan.html