Cara Kiai Zuhri Zaini Menelaah Kitab Minhajul Abidin Karya Al-Ghazali

Kiai Zuhri Zaini adalah ulama dan kiai yang bisa menyatukan amal dan ilmu. Ilmu tasawuf Kiai Zuhri tak hanya mengalir di kerongkongan melainkan juga mewujud dalam tindakan. Kiai Zuhri tak hanya kesohor sebagai kiai yang mengasuh pesantren, beliau juga dikenal sebagai ulama yang memiliki penguasaan dalam terhadap ilmu-ilmu keislaman terutama fiqh dan tasawuf.

Bahkan, seluruh hidupnya dicurahkan untuk membangun moral masyarakat dengan bertumpu pada kitab-kitab tasawuf. Namun, fokus penulis kali ini bukanlah ketokohan tentang Kiai Zuhri, akan tetapi mengulas hasil ngaji dari beliau yaitu tentang kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali.

Syahdan, seperti kita ketahui bersama bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali kepada-Nya. Dan tentunya kembali kepada Allah swt. itu ada yang menyenangkan dan tidak. Akan tetapi, jika kita menjalani jalannya ibadah sebagai kewajiban hidup di dunia, (saat meninggal) pasti berada dalam keadaan menyenangkan dan membahagiakan.

Di dalam menempuh jalan ibadah ini ada beberapa tahapan berat yang harus di penuhi oleh salik, yang dalam bahasa al-Ghazali disebut aqabah (jalan mendaki di bukit). Di sebut aqabah karena pekerjaan ini memang tidaklah ringan.

Sekurang-kurangnya, dalam kitab Minhajul Abidin al-Ghazali meringkas tahapan itu menjadi beberapa. Pertama, tahapan ilmu dan ma’rifah (aqabah al-ilm wa al-ma’rifah) yaitu kesadaran dan pengetahuan tentang ibadah. Artinya, dalam ibadah kita harus mempunyai dasar pengetahuan, tidak bisa hanya dengan semangat saja.

Tak hanya itu, dawuh Kiai Zuhri, sesudah kita mempunyai pengetahuan tentang ibadah, dalam hal ini ibadah bukan hanya mencakup ibadah mahdah (ritual), melainkan juga ibadah sosial. Namun demikian, setelah mengetahui kewajiban-kewajiban, ternyata banyak manusia yang perilakunya tak sesuai dengan ibadah itu. Maka, secepatnya kita harus berbenah diri.

Kedua, aqabah al-taubah. Adalah menyesali kesalahan dan berusaha memperbaiki. Mulai dari kesadaran, penyesalan, dan berhenti melakukan kekeliruan sembari meminta maaf (bertekad tak melakukan). Perlu di ketahui, bahwa taubat tidak boleh dilakukan hanya sekali seumur hidup, karena manusia dalam mencari kebenaran selalu berada dalam kesalahan bahkan kesesatan. Dan, taubat adalah obatnya (berakhirnya taubat ketika manusia mati).

Baca juga:  Bung Hatta, Buku, dan Karya Sastra

Ketiga, awaiq (penghalang). Tahapan ini harus di hadapi supaya kita bisa beribadah dengan baik. Al-Ghazali menyebutkan ada empat penghalang bagi salik. Pertama, kesenangan duniawi; kedua, pengaruh pergaulan; ketiga, godaan syetan; dan keempat adalah nafsu. Soal dunia, bagaimana kita tak bergantung atau tak menjadikan dunia sebagai parameter utama, melainkan hanya kebutuhan saja selama di dunia (bekal ibadah).

Menyikapi pengaruh pergaulan, kita harus selektif mencari lingkungan. Sebisa mungkin kita bisa merubah lingkungan pada hal positif. Dan inilah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Jika kita tak bisa merubahnya kita harus hijrah. Sekiranya hijrah tak memadai, maka solusi yang tepat menurut Kiai Zuhri adalah uzlah (menyepi).

Dalam menghadapi syetan kita harus melawan. Tentu saja, mengenali apa dan bagaimana ciri-ciri syetan. Mengingat, karena jenis syetan ada dua jenis yaitu bangsa jin (bisikan) dan manusia (berupa fisik). Sementara itu, menghadapi nafsu melalui riyadhah dan mujahadah dengan penuh ketaqwaan.

Riyadhah dan mujahadah maksudnya menjalankan perintah Allah swt., bukan karena keinginan nafsu. Sebab, bisa saja manusia melakukannya karena keinginan nafsunya seperti, orang tirakat karena ingin sakti mandraguna. Contoh lain misalnya, kira memaksakan diri untuk puasa pada hari tasyrik, meski kelihatannya tampak riyadhah, tapi sebetulnya bukan riyadhah atau tirakat, melainkan menuruti nafsu. Disinilah pentingnya ilmu pengetahuan khususnya syariat.

Sekiranya empat hal itu sudah kita lalui, jangan di kira sudah final dan mateng. Kita akan berhadapan dengan persoalan rikzi. Artinya, soal rizki sekalipun bukan penghalang bagi salik tapi ini bisa menyibukan kita, karena hidup manusia punyak kebutuhan (terutama kebuthan pokok seperti makan dan lainnya).

Baca juga:  Ulama Banjar (67): KH. Djamaluddin

Inilah yang kadang-kadang mengganggu ibadah kita. Tak sedikit manusia yang tekun ibadah masih kepikiran tentang persoalan makan dan lainnya, meski mencari rizki dengan niat dan cara benar itu bentuk ibadah. Maksudnya, seringnya saat akan melakukan kewajiban (ibadah), kita tak mau melaksanakan karena mau mengurus rizki dulu, misalnya (masih menunggu dirinya kaya).

Tak berhenti disini, lanjut Kiai Zuhri, pengganggu selanjutnya adalah kehawatiran-kehawatiran (resiko). Terkadang dalam melakukan satu kewajiban yang penuh resiko, padahal itu wajib kita lakukan, manusia cenderung maju mundur. Sebaliknya, kita melakukan satu perkerjaan yang kurang jelas baik buruknya, kita justru malah semangat melakukannya.

Menghadapinya kata Kiai Zuhri, maka kita harus memasrahkannya kepada Allah swt. sekali lagi, jika satu kewajiban, sekalipun mengandung resiko, maka kita harus melakukan dan pasrahkan kepada-Nya.

Pengganggu berikutnya kata Kiai Zuhri penderitaan dan musibah. Cara menghadapinya adalah dengan sikap sabar. Sebab, jika musibah sudah terjadi pada kita itu merupakan takdir Tuhan. Sabar dalam hal ini bukan berarti diam. Jika musibah bisa dihilangkan seperti halnya sakit, maka harus berobat.

Masih tentang pengganggu. Berikutnya adalah qada’ atau takdir Allah swt. (baik yang manis dan pahit). Semuanya kita terima dengan lapang dada khususnya pada hal yang kita tak menyukainya. Tentunya, jika menyenangkan maka kita hadapi dengan rasa syukur. Disinilah kata al-Ghazali pentingnya sikap raja’ (berharap anugrah rahmat Allah) dan khauf (termotivasi untuk melakukan amal ibadah) yang perlu kita tanamkan sebaik mungkin.

Penting juga dicatat, bahwa bersyariah berarti berpegang teguh pada agama Allah, melaksanakan perintah dan larangan yang termaktub tegas dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Begitu juga, thariqah bukan hanya bersyariah, melainkan mengambil, memilih ajaran-ajaran agama yang lebih hati-hati, serta meninggalkan doktrin agama yang tidak penting dan tak bermanfaat bagi kehidupan sekalipun boleh dilakukan.

Baca juga:  Ulama Banjar (29): KH. Muhammad As’ad

Alhasil, thariqah mengambil ajaran-ajaran terbaik dari sekian pilihan yang tersedia. Seperti sikap dermawan, wira’i, zuhud, dan lainnya. Hakikat adalah mencapai tujuan beragama dan selalu menyaksikan cahaya Tuhan yang terang benderang. Ringkasnya, syariah adalah perahu, thariqah adalah lautan, dan hakikat adalah permata yang tersimpan dalam kedalaman lautan itu (tak ada hakikat tanpa thariqah, dan tak ada thariqah tanpa syariah).

Dengan demikian, orang yang asyik dengan syariah, ngobrol halal dan haram, asyik berdebat akan hal yang tak penting seperti ziarah kubur, qunut, tahlilan, dan lain-lain, persis seperti orang berada di atas perahu yang berhenti jalan. Ia selalu berada di pinggir lautan, dan tak akan pernah menembus dan meyelami dalamnya lautan.

Pun, orang yang hanya berthariqah, tapi tidak bersyariah, ia seperti memasuki lautan tanpa bantuan perangkat apapun. Tentunya, memasuki samudera tanpa bantuan (perahu) dan perangkat lainnya sangat membahayakan.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata seorang sufi besar, kelahiran Uzbekiatan, 805 M, Fudhail bin Iyadh, mengatakan kepada dirinya sendiri (mengkritik dirinya):

يا مسكين

انت مسيء وتری انك محسن

وانت جاهل وتری انك عالم

وتبخل وتری انك كريم

واحمق وتری انك عاقل

اجلك قصير واملك طويل

(سير اعلام النبلاء ٨ ص ٤٤٠)

“Duhai diriku yang nista ini”.

“Betapa sering kau melakukan hal-hal buruk, tetapi kau merasa berbuat baik saja”.

“Kau sesungguhnya tak tahu dan tak paham, tetapi kau merasa diri jadi ulama”.

“Kau sesungguhnya kikir bin pelit, tetapi kau merasa dermawan”.

“Kau amat dungu, tetapi kau merasa pintar”.

“Hidupmu sebentar saja, tetapi angan-anganmu begitu panjang”.

Wallahu a’lam bisshawab.

https://alif.id/read/safa/cara-kiai-zuhri-zaini-menelaah-kitab-minhajul-abidin-karya-al-ghazali-b247102p/