Cara Memilih Pemimpin: Belajar dari Nabi Yusuf dan Kisah Mohammed Bouazizi

Mohammed Bouazizi, seorang penjual buah di Tunisia. Dia adalah pedagang dengan penghasilan minim dan harus menghidupi delapan anggota keluarganya. Pada tahun 2010, ada kejadian bersejarah yang menimpanya. Alih-alih mendapatkan bantuan dari pemerintah karena kondisi ekonominya, dia mengalami penggusuran yang dilakukan oleh aparat setempat hanya karena tidak mampu membayar uang pelicin bagi aparat.

Kisahnya berlanjut, Bouazizi melakukan protes secara ekstrem dengan menyiram seluruh tubuhnya dengan bensin lalu menyalakan korek api. Aksinya itu berakhir tragis, karena 90% tubuhnya terbakar dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. Kejadian mengerikan ini menjadi momentum kebangkitan kesadaran rakyat Tunisia saat itu hingga membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali tumbang setelah lebih dari 23 tahun berkuasa.

Akhirnya dia tertangkap, dan dianggap bersalah oleh pengadilan militer karena terlibat dalam terbunuhnya empat orang dalam kasus Ouardanine, sehingga dijatuhi 20 tahun penjara. Bukan hanya itu, dia pun dianggap bersalah oleh pengadilan sipil karena dianggap melakukan perdagangan senjata illegal dan korupsi, hingga dihukum 66 tahun penjara.

Pemimpin-pemimpin yang berakhir tragis karena terbukti tidak berintegritas sangat banyak contohnya dalam sejarah kepemimpinan di dunia. Hal itupun banyak ditemui hingga detik ini, hanya saja sekarang dilakukan dengan lebih terorganisir sehingga sulit untuk disadari oleh masyarakat. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir, ungkapan terkenal tersebut mungkin ada benarnya jika memperhatikan keadaan saat ini.

Baca juga:  Kisah Kecil Syaikh Nawawi dan Ir. Sukarno yang Jarang Dibidik

Ternyata beragama Islam saja belum cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Lantas, bagaimana seharusnya kriteria pemimpin yang harus dipilih? Surah Yusuf ayat 55 berbunyi, “Berkata Yusuf: Jadikalah aku bendaharawan negara, sungguh aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. Jika menelaah Surah Yusuf ayat 55 tersebut, maka didapati ada dua unsur penting seorang pemimpin.

Pertama, hafidzun. Dapat dimaknai sebagai orang yang mempunyai integritas. Parameter integritas tersebut merujuk kepada sifat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan/public speaking), dan fathonah (cerdas, cerdik, kreatif). Kedua, alim. Dapat dimaknai sebagai orang yang berkompeten, yakni mempunyai ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Sebagaimana Nabi Yusuf ‘alaihi salam yang bisa menafsirkan mimpi rajanya tentang tujuh ekor sapi gemuk dan tujuh ekor sapi kurus. Seorang pemimpin diharapkan juga mampu menafsirkan keadaan bangsa yang dipimpinnya dan dapat mengambil langkah tepat untuk setiap masalah.

Rasulullah mengingatkan, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggu saja kehancuran terjadi. Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya, bagaimana maksud amanah yang disia-siakan yaa Rasulullah? Beliau menjawab, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”(HR. Bukhari). Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang harus mempunyai sifat amanah, terlebih lagi seorang pemimpin. Karena sifat amanah akan menarik keberkahan, sedangkan sifat khianat akan mendorong kefakiran.

Baca juga:  Denys Lombard ke Makam Kiai Telingsing: Ziarah dalam Sepi (2)

Di sisi lain, diperlukan orang yang tepat untuk memimpin sesuatu. Kredibilitas atau keahlian menjadi parameter utama supaya tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan optimal. Hal tersebut mengisyaratkan pentingnya menempatkan seseorang sesuai dengan keahliannya (The right man in the right place).

Selain kedua hal tersebut, seorang pemimpin haruslah orang yang taat beribadah, terutama salat wajib lima waktu. Salat melahirkan tanggung jawab yang menguji sifat amanah seseorang kepada Tuhannya. Sehingga pemimpin yang baik dan layak dipilih adalah yang paling sempurna dalam menegakkan salat. Hal terakhir yang juga harus menjadi pertimbangan adalah sikap selalu menunaikan zakat dan sedekah. Kedua hal tersebut juga menjadi bukti sebaik apa hubungan seseorang dengan manusia (habblumminannas). Karena zakat dan sedekah menunjukkan kepedulian seseorang terhadap sesame (sosial).

Wasiat Rasulullah tentang kepemimpinan berikut ini yang harus dijadikan sebagai motto hidup bagi para calon-calon pemimpin. “Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika wasiat Rasulullah tersebut yang dijadikan motto hidup oleh para pemimpin, maka haqqul yaqin (yakin dengan seyakin-yakinnya) tidak aka nada lagi pemimpin seperti Presiden Zine El Abidine Ben Ali.

Baca juga:  Kota Islam (15): Zanzibar, Sebuah Pulau yang Diberkati

https://alif.id/read/asdn/cara-memilih-pemimpin-belajar-dari-nabi-yusuf-dan-kisah-mohammed-bouazizi-b244232p/