Cara Memilih Pemimpin: Menatap Kontestasi Pilkada Serentak 2024

Menjelang Pilkada serentak 2024, mulai bermunculan gambar calon kontestasi dalam Pilkada serentak. Berbagai janji dan propaganda menggiurkan para calon kontestan mulai “dijajakan”. Masih akankah para konstituen yang punya hak suara  dan hak pilih  sungguh sangat berharga akan ditukar dengan kepentingan pragmatis sesaat, nilai nominal rupiah yang seberapa dibanding dengan mengorbankan kepentingan dan kemaslahatan rakyat jangka panjang?

Pilkada serentak 2024, rakyat diharap menggunakan akal “wararas” nya untuk menjatuhkan pilihannya kepada para calon pemimpin yang berkarakter.

Karakter yang harus dimiliki dalam sebuah kepemimpinan adalah: Pertama, Shidiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Dalam Alqur’an, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut.  Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah swt:  Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam: 152).

Dengan hanya menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah swt telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.

Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pemimpin yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.

Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah swt dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah swt akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana

Firman Allah swt dalam Alquran: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS Al Muthaffifiin: 1-6)

Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak, bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimbang dan mengukur barang dagangan mereka, sesungguhnya Alquran juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah swt lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS Al A’raaf: 85)

Firman Allah swt Ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.

Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan  yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis menjadi beban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.

Ketiga, tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulullah saw selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.

Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk menghasilkan pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang –calon pemimpin  maupun pemilih– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)

Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah saw memberi peringatan kepada para pemimpin untuk berbuat jujur, tidak menipu dan tidak merugikan orang lain.

Keempat, menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada rakyat terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah swt. Janji yang harus ditepati oleh para pemimpin. Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pemimpin Muslim misalnya adalah salatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran:  “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki” (QS Al Jumu’ah:10-11)

Dengan demikian, sesibuk-sibuknya pemerintahan yang sedang ditangani, sebagai pemimpin muslim, janganlah pernah sekali-kali meninggalkan salat. Lantaran Allah swt masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah salat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah swt banyak- banyak supaya beruntung.

Kelima,  murah hati. Dalam suatu hadis, Rasulullah saw menganjurkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahan. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)

Keenam, tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan  adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu salat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan salat berjamaah, ketika azan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan pemerintahan.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/whs/cara-memilih-pemimpin-menatap-kontestasi-pilkada-serentak-2024-b249828p/