Setiap orang pasti memiliki cerita dalam hidupnya yang menggambarkan berbagai hal yang telah dialami dan dilaluinya. Cerita-cerita itu merajut tenun kehidupan setiap orang. Tidak perlu dipusingkan apakah cerita-cerita yang telah dilalui setiap orang itu baik maupun buruk, yang patut kita renungkan adalah makna apa yang dapat kita ambil dari setiap cerita-cerita yang mewarnai kehidupan kita semua.
Bukankah setiap manusia itu dilahirkan dengan beragam warna yang berbeda untuk dapat saling melengkapi satu sama lain. Tulisan kali ini, saya akan bercerita tentang secuil kehidupan di pesantren. Pesantren merupakan tempat menuntut dan mengembangkan ilmu agama serta mendidik adab/akhlak agar lebih baik.
Pengalaman hidup menjadi santri sangatlah tidak mudah. Pengalaman ini tidak akan mungkin bisa terlupakan semasa hidup saya. Perjalanan menjadi seorang santri tentu akan memberikan warna yang berbeda, ada yang indah dan ada yang pahit. Namun, sepahit-pahitnya mondok bagi sebagian santri rasanya pasti nikmat dan bakal bikin kangen.
Semenjak lulus dari Sekolah Dasar, saya memang ingin sekali mondok (biar pinter ilmu agama katanya) hehe, walaupun banyak sebagian orang yang menganggap pondok itu seperti penjara yang mengekang kebebasan dan banyak sekali peraturannya.
Bagi saya pondok memang penjara, tapi penjara suci. Alhamdulillah nya, orang tua pun mengabulkan keinginan saya untuk mondok setelah lulus dari Sekolah Dasar. Akhirnya saya dan orang tua saya melakukan survei dari beberapa referensi pondok pesantren, mulai yang terdekat sampai yang jauh, dari mulai pondok salaf hingga modern.
Setelah survei ke beberapa tempat, saya mendapatkan tempat Pondok Pesantren yang berada di Plumbon. Saya nyaman berada di tempat ini, tempatnya tidak jauh dari rumah, jaraknya hanya berkisar 15menit dari rumah. Hingga harinya tiba saya berangkat ke pesantren diantar oleh keluarga besar.
Hari pertama kedua hingga bertahun-tahun hidup di pesantren, saya sangat merasa nyaman dan betah, karena mondok adalah kemauan saya sendiri tapi sebenarnya walaupun tekad saya untuk mondok sangat tinggi tetap saja ada sedikit hawa ingin pulang ke rumah.
Pondok pesantren Plumbon atau yang sering dikenal dengan nama Ponpes TPI AL HIDAYAH merupakan salah satu pondok pesantren tertua yang ada di kabupaten Batang, yang didirikan oleh KH. Syair Assalamah lalu diteruskan oleh para putra putrinya.
Selain itu, pengasuhnya juga seorang Ra’is Syuriah kabupaten Batang, yakni KH. Abdul Manaf Sya’ir. Di ponpes TPI Al Hidayah ada beberapa pengasuh yang perlu diketahui. Karena di sana ada pondok putra dan juga ada pondok putri. Ada 4 orang pengasuh. Yakni Abah KH. Abdul Manaf Sya’ir, merupakan pengasuh utama ponpes TPI Al Hidayah, selanjutnya KH. Agus Musyafa’.
Saya berada di pesantren sudah bertahun-tahun, mulai dari MTS hingga sekarang. Banyak sekali pengalaman serta kesan yang saya dapat selama di pesantren, bagi saya pondok pesantren memberikan pelajaran yang sangat berarti.
Hidup di pesantren mengajarkan saya bagaimana hidup mandiri, jauh dari orang tua, adik, saudara, bahkan kerabat yang selalu menemani. Mungkin di pondok pesantren saya tidak merasakan kasih sayang secara langsung dari orang tua, namun istimewanya di pondok pesantren kita begitu merasakan kasih sayang dan kebersamaan dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga sendiri.
Kegiatan di pondok sangat padat, mulai dari jam 3 pagi bangun untuk salat malam, dilanjut ke masjid untuk salat berjamaah subuh, setalah itu bersiap-siap untuk ke sekolah, kebetulan pondok pesantren yang saya tempati adalah pondok pesantren yang sekaligus ada sekolahnya, sepulang sekolah saya rapi-rapi untuk persiapan mengaji sore.
Ya, sebenernya hidup di pondok itu enak, cuma belajar, sekolah, ngaji, makan, tidur. Hehe. Tetapi banyak sekali orang yang tidak betah tinggal di pesantren termasuk saya yang punya tekad tinggi.
Berbicara kebersamaan, di pesantren kebersamaan antara santri sangat kuat. Saya ingat, jika waktu dijenguk tiba ketika ada orang tua santri yang datang untuk mengunjungi anaknya, pasti wali santri tersebut membawakan nasi untuk anaknya serta santri lainnya yang tinggal sekamar. Dari bungkusan itulah kebersamaan santri sangat terlihat, sebelum makan kami menyatukan bungkusan nasi itu menjadi satu sehingga bisa makan sama-sama, sampai berebut karena saking ramainya, tapi itu sudah menjadi hal biasa sehingga menjadikan sebuah kebersamaan semakin erat.
Waktu terus berjalan hingga sekarang saya masih juga berada di pesantren, kalau dihitung hitung saya berada dipesantren sudah ±7th jalan. Tidak terasa sudah selama ini, hingga di rumah para tetangga saya ada yang tidak ingat (pangkling) dengan saya. “Kok wes gede ya saiki, pernae mbiyen cilik kok”.
Tetapi saya bangga hidup di pesantren karena di pesantren saya bisa lebih tahu ilmu agama dan diajarkan kesederhanaan serta bisa merasakan nikmatnya kebersamaan yang tidak bisa saya dapatkan ketika hidup di luar. Ayo mondok!
https://alif.id/read/ahmad-khumaidillah/catatan-santri-plumbon-3-bangga-hidup-di-pesantren-b246656p/