Catatan untuk Bu Atin: Ekspresi Kesedihan dan Kehilangan

“Bu, apakah saya bisa sowan besok?” tanya saya melalui WhatsApp pada awal Agustus 2022. Bu Atin langsung mengiyakan. “Boleh, Ibu di rumah,” balasnya. Ia langsung mengirim shareloc meski saya masih sangat hafal letak rumahnya yang berada di dekat jalur pariwisata.

Bu Atin yang bernama lengkap Khoiro Ummatin termasuk satu dari sekian dosen yang tetap menjaga hubungan personal dengan banyak mahasiswanya. Setiap mahasiswa seperti punya kedekatan khusus, termasuk saya yang lulus dari kampus pada 2016 silam. Ajaibnya, Bu Atin ingat nama-nama mahasiswanya. Hal ini membuat saya merasa kurang kalau ada sesuatu tanpa sowan atau memberi informasi kepadanya.

Misalnya, ketika ingin melanjutkan S2 di tahun 2017, saya meminta pertimbangan dan doa restunya. Saat lulus dan berencana menikah, saya pun mengabarinya. Bu Atin juga orang yang pertama-tama saya kabari saat anak lahir. Rasa-rasanya, ada banyak mahasiswa yang punya pengalaman serupa.

Sebagai dosen, Bu Atin berdedikasi penuh untuk memberikan waktunya untuk urusan kampus, terutama mahasiswa. Saat menjadi Ketua Jurusan, Bu Atin menggunakan pendekatan persuasif yang keibuan untuk membantu mahasiswa di berbagai situasi sulit, terutama mahasiswa lama yang belum selesai kuliah dengan berbagai alasan. Bu Atin memberi harapan dan semangat, alih-alih menambah beban dan tuntutan yang membuat mahasiswa semakin tertekan.

Bagi mahasiswa yang lebih baru atau yang sudah lulus, Bu Atin menyediakan waktunya untuk berbagi. Tidak hanya di jam kerja, namun kapanpun selama tidak ada urusan mendesak, pintu rumahnya terbuka 24 jam. Saya tidak mengada-ada soal 24 jam ini. Rumahnya bisa disinggahi kapan pun. Ia bahkan sering menawarkan jika ingin menginap sudah disediakan tempat di rumahnya. Ada banyak alumni yang berasal dari luar kota ketika mampir ke Yogyakarta menjadikan rumah Bu Atin layaknya rumah keluarga dekatnya.

Ia selalu mendorong mahasiswanya untuk menyeimbangkan persoalan di dalam dan di luar kampus. Baginya, aktif di luar itu sangat baik. Yang tidak kalah penting adalah tetap melaksanakan tujuan utama ke Yogyakarta untuk belajar di kampus. Dhawuh ini saya pegang betul sehingga saya berusaha bersikap proporsional untuk menyeimbangkan aktivitas di luar dan di dalam kampus.

Bu Atin adalah tipe dosen yang membuat saya bisa melakukan transisi dari seorang santri di pesantren menjadi mahasiswa di perguruan tinggi. Cara Bu Atin mengajar yang sesekali diselingi diskusi persoalan teologis bisa membuat saya perlahan-lahan tumbuh menjadi mahasiswa yang tidak konservatif dan memandang dunia ini hitam putih.

Misalnya ketika satu waktu ada mahasiswa baru mempersoalkan mengapa Bu Atin mengenakan celana. Sebagai gambaran, Bu Atin dalam kesehariannya menggunakan celana kain yang cukup lebar. Bu Atin menjelaskannya dengan cukup sabar.

“Dalam syariat yang tidak boleh dilakukan adalah menunjukkan lekuk tubuh. Apakah pakaian seperti ini menunjukkan lekuknya?” tanyanya dengan tetap tersenyum khas. Bagi sebagian mahasiswa yang berasal dari lembaga pendidikan tradisional, persoalan pakaian memang begitu fundamental. Saya termasuk orang yang awalnya cukup kaget dengan kehidupan kampus yang memang sangat berbeda dari pesantren. Namun penjelasan-penjelasan Bu Atin membuka banyak perspektif dan wacana baru untuk belajar lebih banyak.

Sebagai orang pesantren, Bu Atin mampu menampilkan kultur pesantren yang beradaptasi dengan zaman. Ia bukan tipe orang nyentrik layaknya beberapa tokoh yang menggunakan pendekatan konfrontatif dan cenderung mengkritik lembaganya. Bu Atin tetap mengapresiasi pesantren dan mengamalkan betul prinsip-prinsip maqashid syariah. Diajar Bu Atin sama dengan menumbuhkan ilmu dan pengalaman di pesantren menjadi lebih matang.

Di masa kini, dosen seperti Bu Atin yang membuat UIN terasa berbeda dari kampus lainnya ini rasanya sulit ditemukan. Caranya mengakomodir sikap tawadhu’ unggah-ungguh khas pesantren dan memberi ruang pada sikap kritis ala mahasiswa terasa sangat pas. Melalui caranya, kuliah di UIN terasa belajar di perguruan tinggi yang berpijak pada tradisi keislaman Indonesia yang khas, di sisi lain tetap egaliter yang meruntuhkan pengkultusan pada sosok dosen sebagai kebenaran tunggal.

Setelah kuliah saya juga baru tahu bahwa Bu Atin merupakan putri dari KH. Achmad Damanhuri Ya’qub, pendiri pesantren Darussalam Batang, yang juga merupakan kakak kandung KH. Ali Mustofa Ya’qub (alm), ahli Hadis sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal. Dengan profil keluarga yang sangat disegani, Bu Atin tidak menunjukkan jarak dan mengharap penghormatan berlebihan. Ia bersikap sebagai dirinya yang seorang dosen dan tinggal di pinggir Yogyakarta.

Kabar itu datang secara tiba-tiba. Kemarin Sabtu 26 Oktober, Bu Atin dikabarkan wafat. Salah satu dosen terbaik kami pulang ke rahmatullah. Di grup alumni, kabar ini sangat menggegerkan. Banyak yang kemudian menceritakan kebaikan-kebaikan Bu Atin sebagai ekspresi kesedihan dan kehilangan.

Laha Al-Fatihah.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/sarjoko-wahid/catatan-untuk-bu-atin-ekspresi-kesedihan-dan-kehilangan-b250009p/