Dalam beberapa tahun terakhir, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini terlihat dari laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2007-2020 dan laporan terbaru dari The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2023, yang menyebutkan bahwa Indonesia kini berada dalam kategori “demokrasi cacat” (flawed democracy).
Demokrasi yang seharusnya menjamin kesetaraan dan keterbukaan, malah terjebak dalam feodalisme yang mewujudkan dirinya dalam berbagai bentuk, mulai dari politik dinasti hingga pengaruh oligarki dalam proses demokrasi. Laporan-laporan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa demokrasi Indonesia terjebak dalam stagnasi, dan penyebabnya adalah keberlangsungan feodalisme dalam berbagai bentuk yang lebih modern.
Prinsip Feodalisme vs Demokrasi
Feodalisme dan demokrasi adalah dua sistem yang sangat bertolak belakang. Demokrasi berdiri di atas prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Semua warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik, seharusnya memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sebaliknya, feodalisme mengakui adanya hierarki dan pembedaan kelas sosial yang tajam. Dalam sistem feodal, kekuasaan tertinggi berada pada satu pemimpin atau sekelompok elit yang memegang kendali atas kehidupan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyoroti bagaimana kekuasaan yang tidak terkontrol dan berbasis pada hierarki sosial akan menciptakan ketidakadilan. Menurutnya, masyarakat yang dikelola berdasarkan struktur hierarki feodal cenderung mengalami stagnasi dan kemerosotan, terutama jika kekuasaan tidak diimbangi oleh keadilan dan akuntabilitas.
“الملك بالجند، والجند بالمال، والمال بالخراج، والخراج بالعمارة، والعمارة بالعدل، والعدل بإصلاح العمال، وإصلاح العمال باستقامة الوزراء ورأس الكل بافتقاد الملك حال رعيته بنفسه واقتداره على تأديبها حتى يملكها ولا تملكه. ”
“Kekuasaan (kerajaan) tergantung pada kekuatan militer, kekuatan militer tergantung pada kekayaan, kekayaan tergantung pada pajak, pajak tergantung pada pembangunan, pembangunan tergantung pada keadilan, keadilan tergantung pada perbaikan para pejabat, dan perbaikan pejabat bergantung pada integritas para penguasa. Semua ini bermuara pada perhatian pemimpin terhadap rakyatnya sendiri dan kemampuannya untuk mendidik mereka, sehingga ia dapat memimpin mereka dan tidak sebaliknya.”
Hal ini mencerminkan betapa pentingnya akuntabilitas dalam kekuasaan, sesuatu yang sering hilang dalam demokrasi Indonesia yang terjebak dalam nuansa feodalisme. Demokrasi yang sehat seharusnya mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas, namun feodalisme modern justru menutupi kedua hal tersebut dengan kultus individu dan kekuasaan yang tak terbantahkan.
Wajah Feodalisme dalam Demokrasi Indonesia
Feodalisme di Indonesia tidak hilang begitu saja setelah masa kolonialisme. Bahkan, ia menyusup ke dalam demokrasi modern kita dengan wujud baru. Bivitri Susanti, selaku pakar hukum tata negara, menekankan bahwa feodalisme dalam demokrasi modern Indonesia sering kali muncul dalam bentuk pengkultusan individu, kekuasaan yang tidak akuntabel, dan pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan dalam demokrasi Indonesia masih dianggap sebagai titisan dari atas, baik dari Tuhan maupun elit-elit tertentu, dan ini menciptakan ruang bagi kekuasaan absolut yang tidak terkontrol.
Pentingnya akuntabilitas dalam sistem demokrasi modern telah ditekankan oleh Ibnu Rusyd dalam kritiknya terhadap pemerintahan absolut. Ibnu Rusyd menulis,
“السلطة المطلقة مفسدة مطلقة”
“Kekuasaan absolut pasti menimbulkan korupsi yang absolut”
Dalam konteks Indonesia, praktik politik transaksional dan budaya politik yang berorientasi pada elit telah menciptakan jurang yang lebar antara rakyat dan penguasa. Kekuasaan yang terlalu terpusat pada segelintir elit politik sering kali membuat kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan yang seharusnya menjadi dasar demokrasi.
Selain itu, feodalisme juga tampak jelas dalam tata kelola negara yang otoriter dan personalistik. Feodalisme modern di Indonesia mewujud dalam tiga bentuk utama: oligarki kapitalis, oligarki politik, dan pemanfaatan institusi negara untuk kepentingan kekuasaan. Dengan adanya shadow state, di mana penguasa informal mengendalikan pemerintahan formal, Indonesia menjadi negara yang seolah-olah demokratis secara kelembagaan, namun dalam praktiknya, keputusan-keputusan politik diambil oleh segelintir elit yang bersekutu dengan kepentingan kapitalis.
Fenomena ini dikenal dengan istilah “democracy for sale”, di mana proses politik di Indonesia kerap kali dibajak oleh para kapitalis yang berkolaborasi dengan partai politik untuk mengamankan kepentingan mereka. Akibatnya, rakyat tidak lagi menjadi pusat dari proses demokrasi, melainkan hanya menjadi objek bagi elite-elite politik yang memperdagangkan kekuasaan. Hal ini merupakan bentuk modern dari feodalisme yang menyandera demokrasi kita melalui praktik oligarki dan monopoli kekuasaan.
Feodalisme Global dan Tantangan Kontemporer
Fenomena feodalisme dalam demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Senior Lecturer Paramadina Graduate School, Abdul Malik Gismar berpendapat bahwa gejala feodalisme ini juga berkembang di tingkat global, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Neo-feodalisme di sana ditandai oleh dominasi kekuasaan ekonomi dan politik oleh sekelompok kecil korporasi besar dan individu kaya. Melansir artikel berjudul The Age of Neo-Feudalism: A Government of the Rich, by the Rich, and for the Corporations, dijelaskan bagaimana demokrasi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, mulai dikuasai oleh kepentingan korporasi dan segelintir elite yang merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Bahaya terbesar dari feodalisme modern adalah erosi nilai-nilai etika dan kemanusiaan. Ibnu Khaldun memperingatkan bahwa feodalisme yang mengabaikan keadilan akan menciptakan masyarakat yang lemah, baik secara politik maupun ekonomi. Feodalisme merusak prinsip kesetaraan, menyebabkan masyarakat terjebak dalam ketidakadilan, dan merusak tatanan sosial. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, “الظلم مؤذن بخراب العمران” (Ketidakadilan merupakan tanda kehancuran sebuah peradaban).
Di Indonesia, praktik politik yang berbasis feodalisme tidak hanya merusak institusi demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakamanan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat. Oligarki partai politik dan kapitalis telah menciptakan “demokrasi cukong”, di mana kepentingan ekonomi dan politik saling menguntungkan satu sama lain, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya adil dan transparan. Hal ini telah menciptakan kondisi di mana hanya segelintir orang yang menikmati keuntungan dari kebijakan ekonomi, sementara mayoritas masyarakat terjebak dalam kemiskinan dan ketidakamanan. Inilah bentuk nyata dari apa yang disebut sebagai precarity capitalism, di mana ketidakamanan ekonomi semakin meluas dan merusak kehidupan sosial masyarakat.
Solusi: Pendidikan Politik dan Gerakan Demokrasi Partisipatif
Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu mengembangkan pendekatan baru dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif. Salah satu konsep yang relevan adalah Participatory Democratic Movement, di mana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses politik, pengawasan, dan advokasi. Pendidikan politik tidak hanya harus diberikan di ruang kelas, tetapi juga melalui gerakan publik yang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan komunitas lokal.
Seperti yang dijelaskan, Participatory Democratic Movement, adalah elemen kunci dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Belajar dari negara-negara lain yang sukses dengan demokrasi partisipatif menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal dapat memperkuat kontrol rakyat atas pemerintahan dan mengurangi pengaruh oligarki serta feodalisme modern.
Ibnu Rusyd pernah menekankan pentingnya keterlibatan rakyat dalam proses politik untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa. “المشاركة في الحكم هي ضمانة للعدالة” (Partisipasi dalam pemerintahan adalah jaminan keadilan). Konsep ini sangat relevan dengan konteks Indonesia saat ini, di mana partisipasi rakyat sering kali hanya menjadi formalitas tanpa memberikan kekuatan nyata dalam proses pengambilan keputusan.
Al-Ghazali juga berpendapat, bahwa pendidikan yang berfokus pada pembentukan karakter, di mana manusia diajarkan untuk selalu bersikap adil dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial maupun politik.
“صلاح المجتمع بصلاح الأفراد”
“Kebaikan masyarakat terwujud dari kebaikan individu.”
Dengan pendidikan yang berfokus pada pembentukan karakter dan moral, generasi muda akan lebih mampu mengidentifikasi dan menolak praktik-praktik feodalistik yang merusak demokrasi.
Lebih lanjut, model pendidikan berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi langsung dari warga dapat membantu membangun kesadaran akan pentingnya keterlibatan dalam proses politik. Participatory Action Research (PAR) adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menggabungkan pendidikan dan partisipasi masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat dalam penelitian dan pengambilan keputusan, mereka akan merasa memiliki andil dalam proses demokrasi, sebagaimana dinyatakan oleh John Dewey, “Demokrasi tidak hanya merupakan bentuk pemerintahan, tetapi juga cara hidup.”
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun pendidikan antifeodalisme yang tidak hanya terbatas di ruang akademik, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesetaraan harus menjadi bagian dari upaya kita untuk mengikis pengaruh feodalisme dalam sistem politik kita. Selain itu, gerakan masyarakat sipil dan kampus harus menjadi penggerak utama dalam memperkuat demokrasi partisipatif guna menghentikan Feodalisme modern yang terus merongrong demokrasi di Indonesia.
Baca Juga
https://alif.id/read/adn/cengkraman-feodalisme-demokrasi-indonesia-demokrasi-cacat-b249894p/