Cerita Eren, Mahasiswa Non Muslim Asal Filipina yang Belajar Fikih Ibadah di Kampus UIN Gus Dur

Beberapa hari yang lalu saya di telepon oleh saudara yang menanyakan perihal profil pesantren yang tengah saya unggah di story WA. Dia tertarik namun masih tanda tanya soal ajaran dan ideologi yang disandang oleh pondok tersebut.

Mas, kiro-kiro kui pondok e isih nganggo paham ahlussunnah ora mas?”. Dia tertarik karena ingin memondokkan anaknya.

Saya jawab, “pondok e kui nggone wonge dewe, tenang saja, tidak keluar jalur dari selama ini yang dipelajari oleh putra Anda dulu di sekolah,”terang saya untuk meyakinkan.

Ya, memilih tempat pendidikan untuk anak tidak mudah. Apalagi jika dianggap sudah tidak sealiran. Apalagi sampai yang beda keyakinan.

Namun hal itu berbeda dengan Eren. Eren adalah mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN K.H Abdurrahman Wahid (UGD) Pekalongan asal Filipina. Negara yang penduduknya mayoritas beragama Kristen Katolik.

Saat saya tanya mengapa orang tuamu memperbolehkan kamu sekolah di sini? apakah beliau mempersoalkan status label Islam dalam kampus tersebut?

“Tidak ada pertentangan dari keluarga mas, malah dari keluarga mendukung. Soalnya kan tujuannya kuliah,”jawabnya. Orang tua Eren sepenuh hati mendukungnya untuk meraih gelar sarjana di kampus yang membawa nama tokoh pejuang kemanusiaan, Gus Dur.

Eren sangat menikmati pembelajaran atau mempelajari mata kuliah yang belum pernah ia jamah sama sekali. Fikih Ibadah, misalnya.

Mata kuliah ini mengajarkan tentang hal ihwal ubudiyyah (ritual keagamaan) dalam agama Islam. Yang menyangkut rukun Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

Bagaimana tanggapan Eren ketika mendapatkan mata kuliah tersebut?

“Aman saja sih, dan dosennya itu bilang juga kalau kesusahan bilang saja, tapi menurut saya aman saja, toh ada baiknya juga kan semua agama mengajarkan yang baik, jadi untuk matkulnya kadang nanya ke teman yang muslim, gitu,”ujarnya.

Jawaban Eren ini menurut hemat penulis menarik. Dia tahu konsekuensi yang diterima jika kuliah di UGD. Jika ada mata kuliah yang asing baginya, dia siap mempelajari, dan tidak menjadi soal. Adaptasi adalah kunci.

Eren pasti merasakan sesuatu hal yang berbeda. Karena dia bisa adaptasi, menyesuaikan dengan lingkungan di mana ia belajar, justru banyak teman yang membantunya. Dosen pun memakluminya ketika ada mata kuliah yang berkaitan dengan ibadah—seperti fikih ini—, apabila ia menemukan kesulitan.

Apa refleksimu selama mempelajari Islam?” tanyaku penasaran. “yang menarik itu menurut saya yaitu kisah-kisah nabi yang sama dengan kitab suci Kristen ya. Menariknya juga waktu bertukar pendapat sama teman sehingga ada toleransi antar agama,” jawabnya.

Eren ternyata tidak sendirian. Total ada 7 mahasiswa Non Muslim di kampus UIN Gus Dur. Termasuk Eren. “Selain Eren, ada 3 mahasiswa yang berasal dari Sulawesi Utara yang beragama Kristen dan yang 3 berasal dari Papua, jumlahnya juga sama, 3”, jawab Muhlisin, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan.

Inilah Jalan Moderasi

Dalam buku Saku Moderasi Beragama (2019) disebutkan bahwa kunci dari moderasi adalah “tidak berlebih-lebihan dan tidak bersikap ekstrem”. Sifat dermawan adalah baik, karena ia lawan dari kikir. Namun jika dilakukan secara berlebih-lebihan, ia bisa jatuh dalam keborosan. Yang asalnya baik malah menjadi buruk. Itu yang dimaksud dengan berlebih-lebihan.

Contoh lain adalah makanan. Dalam Islam memakan babi dan minuman beralkohol adalah haram. Tidak bisa dibenarkan jika kita mengonsumsinya dengan alasan toleransi ke agama lain, semisal kita berkunjung di sebuah tempat yang menyuguhkan menu haram tersebut, lalu kita memakannya karena dalih toleransi. Begitu juga kita mengikuti ritual pokok agama lain karena alasan tenggang rasa. Itu juga tidak bisa dibenarkan. Inilah yang dinamakan dengan ekstrem.

Yang dilakukan oleh UIN Gus Dur, hemat saya, adalah merupakan praktik baik dalam moderasi. Mengenalkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin kepada siapapun. Walaupun tercantum sebagai kampus negeri berlabelkan Islam, namun ia bisa menerima mahasiswa dari kalangan Non Muslim. Sepertihalnya kisah Eren, yang penting tujuannya adalah belajar, mencari ilmu.

Mencari ilmu bisa di mana saja. Bahkan dari kita yang muslim pun banyak juga yang lulusan dari kampus Katolik. Di Jogja, saya pernah diundang oleh Campus Ministri Universitas Sanata Dharma, untuk memberikan maizah hasanah khusus mahasiswa yang Muslim yang sekolah di sana.

Eren bercerita, bahwa kenapa dia bisa masuk ke kampus UIN Gus Dur? secara dia bukan Muslim, dan juga terbilang beda negara.

Ia bercerita. Ketika SD, ia menyelesaikan studinya di Filipina. Lalu SMP dan SMA, ia meneruskan  ke sekolah Indonesia Davao, salah satu sekolah Indonesia yang ada di Filipina. Davao adalah kota terbesar dan ibu kota di Pulau Mindanao, Filipina.

Sewaktu ia kelas 12, kebetulan Pak Muhlisin, Warek 3 bidang kemahasiswaan, menjalin kerjasama dengan Sekolah Indonesia Davao ini.

“Kebetulan di UIN Gus Dur itu belum ada mahasiswa yang lulusan dari sekolah Indonesia Davao, nah, sebagai lulusan sana saya sangat minat kuliah di UIN Gus Dur karena ingin mencari pengalaman baru.”

Keinginannya untuk belajar. Semangatnya dalam menimba ilmu telah mengikiskan segala bentuk prasangka buruk atas keyakinan orang lain. Justru ia makin memahami, bukan malah membenci.

Praktik Baik Moderasi UIN Gus Dur

Gus Dur adalah simbol kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Membawa nama besar K.H. Abdurrahman Wahid tentu tidak mudah dalam memperjuangkan ketiganya. Termasuk juga bagaimana kampus mengimplementasikan ajaran dan keteladanannya.

Muhslin, Wakil Rektor bidang kemahasiswaan menjelaskan tentang praktik-praktik moderasi yang telah diamalkan di kampusnya. Di antaranya melalui kegiatan ilmiah, seperti seminar, lokakarya tentang moderasi, kebijakan tentang adanya mata kuliah moderasi beragama sebagai bagian dari kurikulum, penguatan organisasi mahasiswa untuk mendukung kampanye moderasi beragama, pendirian Pusat Studi Moderasi Beragama, dan penyelenggaraan kegiatan non akademik yang mengusung tema moderasi beragama.

“Untuk poin yang terakhir. Pihak kampus menginisiasi adanya Kampung Moderasi Beragama di Desa Linggo Asri,” terangnya. Liputan ini pernah ditulis oleh Khairul Anwar di Alif.id.

Moderasi adalah makanan sehari-hari bagi warga Indonesia. Hidup srawung, gotong royong, dan musyawarah adalah nilai-nilai luhur yang kita amalkan sehari-hari. Warisan leluhur kita itu hanya butuh dirawat dan dijaga bersama. Saya berdoa, semoga Eren kerasan dan diberi kemudahan dalam menyandang gelar sarjana. Aamin.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/autad/cerita-eren-mahasiswa-non-muslim-asal-filipina-yang-belajar-fikih-ibadah-di-kampus-uin-gus-dur-b249957p/