Cikal-Bakal Ilmu Tasawuf

Konon, ada orang tertentu yang dianugerahi keilmuwan khusus, yang tak bisa dimiliki oleh orang lain. Salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib, yang konon pernah diajari tujuh bab ilmu oleh Rasulullah, yang orang lain tak pernah diajarkannya. Itulah yang membuat banyak sahabat pasca wafatnya Nabi, menemui Saydina Ali saat menemukan hal-hal rumit agar segera dipahami duduk persoalannya.

Seorang ahli sufi terkenal Abu Nasr As-Sarraj berpendapat, bahwa orang-orang yang menerima ilmu khusus akan terus ada sepanjang zaman. Orang-orang ini akan menjadi kutub, yakni sumber kebenaran serta tujuan para pencari kebenaran. Terkait dengan ini, Saydina Ali pernah menegaskan bahwa bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang yang akan menegakkan ilmu-ilmu Allah, serta menyampaikan tanda-tanda kebesaran-Nya. Pendapat mereka senantiasa tak terbantahkan, seakan menciptakan benteng pengamannya sendiri.

“Tetapi ketahuilah,” ujar Syadina Ali, “sedikit sekali orang seperti itu, meskipun kedudukannya sangat mulia di sisi Allah.”

Untuk mencapai ilmu khusus itu – menurut As-Sarraj – seseorang tidak bisa hanya mengandalkan akal dan rasio. Dia harus menempuh perjuangan spiritual (mujahadah), pelatihan (riyadlah), hatinya tulus dan ikhlas, merasa cukup dengan pertolongan Allah. Ia berusaha mengendalikan hawa nafsunya, menjaga kesopanan di hadapan Tuhannya, serta berpasrah diri hanya kepada-Nya.

Baca juga:  Syair Sebagai Barometer Intelektualitas Arab Pra-Islam

As-Sarraj membedakan orang beriman dengan ahli makrifat yang telah mencapai pengetahuan khusus tadi. Baginya, hati orang beriman akan merasa tenang dengan mengingat Allah, tetapi orang makrifat ia takkan merasa tenang kecuali jika bersama-Nya. Orang beriman mampu melihat cahaya Allah, sedang makrifat, mampu melihat hakikat Allah. Menurut As-Sarraj, iman itu adalah cahaya, sedangkan makrifat adalah api yang merupakan sumber dari cahaya.

Peneliti sufisme dari Universitas Cambridge, Reynold A Nicholson menyatakan, meskipun pemikiran As-Sarraj sangat terkenal, namun sulit sekali mencari jejak perihal sejarah hidupnya. Konon, ia seorang sufi kelahiran Thus, sebuah kota di timur laut Iran, yang juga merupakan kampung halaman sejumlah tokoh muslim terkemuka, seperti Al-Ghazali, Jabir bin Hayyan, Ferdowsi, hingga Nasiruddin At-Thusi. Ia wafat pada tahun 378 Hijriah di Neyshabur, Iran.

As-Sarraj juga dikenal sebagai sufi pengembara, yang kemudian menulis karya sufistik terkenal, “Al-Luma” . Ia menyatakan bahwa buku itu lahir karena permintaan sahabat yang mendesaknya agar menjawab problematika dunia tasawuf pada masa itu. Pada prinsipnya, ia menegaskan bahwa ajaran tasawuf mengacu dari nash-nash Alquran dan Hadist, bahwa sufi yang sejati adalah mereka yang meneladani jejak-langkah kehidupan Rasul dan para sahabatnya. Menurut Nicholson, kitab “Al-Luma” merupakan karya apologetik (pembelaan) kaum sufi atas tuduhan-tuduhan, bahwa mereka seakan telah keluar dari ajaran Islam.

Baca juga:  Mengenal Sultan Murad IV, Raja Termuda Kedua Sepanjang Sejarah 

Nicholson mengakui sangat mengagumi karya As-Sarraj, yang dinilainya sebagai ensiklopedia tasawuf yang paling awal ditulis dalam sejarah peradaban Islam. Selain bantahan As-Sarraj atas berbagai tuduhan terhadap kaum sufi, ia pun berhasil menunjukkan bahwa tasawuf berakar kuat dari kebesaran ayat-ayat Alquran hingga karya-karya besar para sahabat Nabi. Ia merupakan ilmu esoteris (batiniah), sementara ilmu-ilmu lainnya seperti hadits, fiqih dinilainya sebagai ilmu eksoteris (lahiriah).

Lebih tendensius lagi, As-Sarraj menyatakan bahwa semua ilmu di dunia ini pada akhirnya berujung pada ilmu tasawuf. Sementara ilmu-ilmu lainnya bisa digenggam dan dikuasai oleh tasawuf. “Titik akhir semua ilmu berada dalam ilmu hakikat. Ketika seseorang telah sampai pada ilmu ini, ia akan masuk ke dalam samudera yang tak bertepi, yaitu ilmu rahasia hati, ilmu makrifat, ilmu rahasia nurani, ilmu batin, ilmu tasawuf, ilmu kondisi spiritual, dan perbuatan-perbuatan takwa,” demikian tegas As-Sarraj.

Meskipun sangat menguasai ilmu fiqih, As-Sarraj juga dikenal sebagai salah satu penulis paling otoritatif mengenai doktrin-doktrin kaum sufi. Ia pernah mengutip ayat Alquran (Al-Kahfi: 109): “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan lagi tinta sebanyak itu lagi.”

Baca juga:  Andalusia Era Islam (6): dari Ziryab hingga Mozarab

Selain itu, ada hadits Nabi yang seringkali dikutip As-Sarraj untuk membuktikan bahwa tasawuf adalah anak kandung ajaran Islam. Sabda Nabi: “Seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, tentu kalian tidak akan banyak tertawa dan tentu akan lebih banyak menangis. Kalian tidak akan bisa merasakan kenikmatan dengan perempuan dan tidak akan betah tidur di atas tempat tidur, sehingga kalian akan keluar ke gurun pasir untuk berlindung kepada Allah.”

Tetapi di sisi lain, Tuhan menganjurkan Muhammad agar menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadamu (Al-Maidah: 67). Maka dengan demikian – menurut As-Sarraj – Nabi senantiasa mengajarkan semua ilmu yang disampaikan kepadanya, bagi seluruh manusia, tanpa kecuali. Termasuk ilmu makrifat yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. (*)

https://alif.id/read/chs/cikal-bakal-ilmu-tasawuf-b242459p/