Oleh Evy Aldiyah, Guru IPA di SMPN 202 Jakarta
OBROLANKU bersama kakak terhenti sejenak akibat suara kentongan perunggu milik pedagang es cincau yang melintas di depan rumah sore ini. Tiba-tiba aku ingin membelinya. Pedagang es cincau itu sudah biasa lewat di depan rumah pada siang hari, tapi sejak bulan Ramadan ini ia melintas hanya pada sore hari. Bergegas aku berteriak memanggil bapak penjualnya. Dengan sigap putriku berlari ke depan, menepukkan tangan memanggil pedagang es cincau itu. Aku menyusul membawa wadah tupperware berukuran besar, tak lupa kumasukkan beberapa lembar uang ke dalam saku celana.
Sore ini rumahku tampak ramai. Kakakku datang dari luar kota bertandang bersama keluarga besarnya, anak cucunya, untuk bersilaturahmi pada akhir pekan awal Ramadan ini, menginap di rumahku. Suara canda tawa dan teriakan anak-anak yang sedang asyik bermain di teras rumah menambah hangat suasana menjelang berbuka puasa. Barakallah.
Persiapan menjelang berbuka puasa tidaklah merepotkan bagiku meski suasana di rumah sedang ramai. Menu sederhana dan praktis tetap menjadi andalanku, sayur sop dan ayam goreng. Aku jadi teringat karakter kartun lucu Ipin dan Upin yang pernah hadir di salah satu televisi swasta, di mana mereka sangat menggemari ayam goreng. Anak-anak mana sih yang mampu menolaknya? Sayur sop dan ayam goreng adalah salah satu menu kesukaanku sejak kecil hingga sekarang, tak terkecuali anak-anak yang saat ini berkumpul di rumahku. Sudah terbayang meriahnya makan malam nanti.
Untuk pembuka puasa aku sudah menyiapkan makanan kebesaran keluarga yaitu pempek dan tekwan, pengganti takjil. Tak lupa kurma, buah-buahan lain, dan tentunya es cincau yang tadi kubeli dari pedagang yang lewat. Tak perlu banyak menu, yang penting penuh berkah dan laris maniiiss..
Tanganku bergerak lincah memasukkan wadah tupperware berisi es cincau ke dalam kulkas. Kukeluarkan lagi sejenak untuk mengaduk-aduknya. Kupandangi cincau hijau yang mengapung pada campuran santan dan air gula merah itu, semakin menarik bercampur dengan biji-biji mutiara berwarna pink. Aaah…, jadi memancing liur saja, bisa batal puasa menjelang akhir waktu nih. Buru-buru kumasukkan lagi wadah ke kulkas.
Melihat cincau hijau itu aku jadi teringat masa Ramadan pada masa kecilku di rumah nenek. Kulihat nenek sering memetik daun-daun tumbuhan semak di sekitar rumah, setelah mencucinya lalu nenek meremas-remas daun-daun itu dengan tambahan air. Hasil remasan tadi didiamkan beberapa saat lalu jadilah semacam jeli berwarna hijau daun yang disebut cincau yang dapat langsung dimakan. Aku pun turut melakukan seperti yang nenek lakukan. Menurutku itu keren sekali, bangga rasanya bisa bikin cincau sendiri. Meskipun setelah itu aku tetap belum mengerti mengapa kok bisa daun itu diremas-remas lalu menjadi makanan. Tumbuhannya pun aku tidak kenal, yang kutahu hanya berupa semak-semak merambat di tanah tak bertuan.
Aku mulai paham dan menjadi tahu tentang semua itu pada saat menjalani masa KKN di suatu desa di kaki pegunungan Bukit Barisan. Penduduk desa terbiasa membuat cincau dan lucunya aku justru belajar cara membuat cincau dari mereka. Tetapi cincau yang mereka buat berwarna hitam, tidak hijau seperti yang pernah kubuat bersama nenek. Teksturnya pun berbeda, lebih keras karena ada tambahan zat tertentu. Sebagai mahasiswa pada saat itu aku hanya mengajarkan tentang pentingnya higienis dalam pembuatan cincau. Dengan teknik pengolahan yang baik dan higienis tentu akan lebih baik pula manfaat yang dirasakan.
Para pembaca mungkin penasaran kan dengan cincau? Cincau atau grass jelly ini sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, terlebih di saat bulan Ramadan begini. Berbuka puasa akan terasa nikmat jika menyeruput minuman dingin. Salah satu minuman dingin favorit masyarakat Indonesia adalah es cincau yang memberi sensasi segar dan adem di perut. Nama cincau tersebut berasal dari dialek Tionghoa “sienchau” atau “xian cao”. Cincau sebenarnya dibuat dari ekstrak daun tumbuhan yang membeku menjadi jeli pada suhu kamar. Ada dua macam cincau, cincau hijau dan cincau hitam. Meski terlihat sama, keduanya berasal dari bahan dan proses pembuatan yang sedikit berbeda.
Banyak sekali jenis tumbuhan cincau ini, semuanya merupakan jenis tumbuhan yang daunnya mengandung gelatin dan tumbuh merambat. Tumbuhan ini menyebar di Asia Tenggara, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Jenis Mesona chinensis dan Coccus orbiculatus banyak dijumpai di Tiongkok. Jenis Tiliacora triandara banyak ditemui di Thailand, Laos dan Vietnam. Di Indonesia sendiri banyak dijumpai jenis Cylea barbata, Mesona palustris, dan Premna oblongifolia.
Cincau kerap dipandang sebelah mata karena dianggap hanya sebagai minuman pelepas dahaga. Tumbuhan cincau sendiri di Indonesia menjadi tumbuhan penghuni semak-semak dan daerah rural, belum banyak dibudidayakan apalagi untuk ditanam di pekarangan rumah. Padahal manfaat cincau bagi kesehatan sangatlah kaya, tidak bisa diremehkan begitu saja oleh para pembaca. Direktorat Gizi Depkes tahun 1996 pernah melaporkan kandungan zat gizi yang dimiliki cincau. Dalam 100 gram cincau dilaporkan mengandung 120 kkal energi, karbohidrat 26 gram, lemak 1 gram, protein 6 gram, serat kasar 40 gram, mineral kalsium 100 gram, mineral fosfor 100 gram, mineral besi 3,3, gram, vitamin A 11 mg, vitamin B1 80 mg, vitamin C 17 mg, dan air 60 mg. Dari hasil riset lain dilaporkan bahwa cincau juga mengandung mineral zinc dan mineral magnesium.
Hasil suatu penelitian menyatakan bahwa daun cincau mengandung Bisbenzilsokuinin klorofil, serat pektin dan bioaktif flavonoid, polifenol, glikosida, tanin, saponin, terpenoid, dan steroid. Dimana bioaktif tersebut merupakan senyawa antioksidan dan anti bakteri. Dengan adanya kandungan senyawa itulah maka cincau diyakini memiliki khasiat menyehatkan pencernaan. Jeli cincau mengandung serat kasar sebesar 40 gram/100 gram, yang baik sebagai makanan orang diet. Ternyata banyak sekali ya zat bermanfaat yang terkandung dalam daun tumbuhan cincau ini. Sebenarnya apa saja manfaat dari cincau?
Sorang dokter spesialis gizi klinis, dr. Samuel Oentoro, Sp.GK menjelaskan bahwa cincau baik bagi sistem pencernaan. “Karena cincau mengandung banyak serat, dan serat itu bisa membuat seseorang mudah dan lancar BAB. Kandungan mineral yang tinggi juga merupakan alasan utama mengapa cincau aman dijadikan menu selingan saat menjalani diet”, lanjut beliau di dalam program Ayo Hidup Sehat pada salah satu stasiun televisi swasta. Nah.. bagi para pembaca yang mungkin sedang menjalankan program diet, boleh juga tuh memasukkan cincau sebagai makanan yang kaya serat ke dalam daftar makanan yang dikonsumsi.
Dilansir dari majalah Health, selain sebagai bahan makanan yang baik dikonsumsi dalam program diet, cincau juga memiliki manfaat lain seperti menyehatkan usus, mencegah diare, mengatasi gangguan asam lambung, mengurangi sakit pada tenggorokan, menurunkan tekanan darah, mengatasi sembelit, mencegah osteoporosis dini, dan mencegah sariawan. Iklan cincau sebagai minuman sehat pun sudah mulai ditayangkan di televisi. Bahkan untuk mempromosikan cincau sebagai minuman sehat, pihak produsen bekerja sama dengan televisi swasta dalam salah satu program acara Ramadan.
Selanjutnya dari hasil riset peneliti dari Malaysia yang telah dipublikasikan, dijelaskan bahwa cincau hitam dari jenis tumbuhan Mesona procumbens mampu menurunkan kadar asam urat dalam darah. Sedangkan Mesona chinensis memiliki potensi penurun kadar gula dalam darah. Sementara cincau hijau dari jenis Cylea barbata memiliki potensi menghambat penurunan fungsi otak termausk penyakit Alzheimer. Luar biasa ya cincau, dengan segudang manfaatnya.
Lantas manakah cincau yang baik dikonsumsi? Cincau hijau atau cincau hitam? Dokter spesialis gizi klinis, dr. Samuel Oentoro, Sp.GK, memberikan penguatan bahwa cincau hijau lebih baik daripada cincau hitam. Pada pembuatan cincau hijau, daun cincau hanya ditambahkan air lalu diremas-remas. Air remasan didiamkan hingga menghasilkan cincau hijau dengan tekstur jeli lebih lembut. Ini berbeda dengan cincau hitam. Dalam pembuatan cincau hitam, untuk menghasilkan cincau dengan tekstur yang lebih kenyal dan lebih kaku maka dilakukan penambahan zat lain. Zat tambahan tersebut berupa NaOH, ada campuran tepung, bahkan ada pula dengan penambahan abu merang. Meskipun hasil akhirnya nanti disaring, tetapi tetap saja ada zat penambahan. Dan bila teknik pengolahan pembuatan cincau hitam ini kurang sempurna maka akan dihasilkan cincau yang teksturnya terlalu keras dan terasa ber”pasir” pada saat dimakan.
Nah, bila suatu saat para pembaca memakan cincau hijau dan merasakan cincaunya sedikit terasa pahit, jangan buru-buru dibuang cincaunya. Itu tetap cincau asli kok. Rasa cincau hijau menjadi agak pahit itu karena daun yang digunakan adalah daun yang bertekstur keras, tebal dan sudah cukup tua. Sedangkan daun yang baik untuk dibuat cincau adalah daun yang muda dengan tekstur tipis dan lembut tetapi bukan daun bagian pucuk.
Begitulah pembaca yang budiman, kini menjadi semakin mengenal cincau yang kaya manfaatnya bukan? Atau mungkin pembaca yang budiman ingin mencoba membuat sendiri cincau dari ekstrak tumbuhan cincaunya? Ayo hunting looking for finding tumbuhan cincau.
Menjelang waktu berbuka, tampak putriku baru saja pulang dari masjid menghantarkan santapan buka puasa. Lega hati telah berbagi santapan buka puasa, lega pula rasanya melihat hidangan sudah tertata rapi di meja makan. Tak lama terdengar suara azan maghrib berkumandang dari masjid di blok sebelah, berlanjut pula dengan azan maghrib membahana dari televisi. Bagaikan mendengar aba-aba, pasukan merangsek mendekati meja makan untuk segera berbuka puasa bersama. Alhamdulillah. Menyajikan makanan untuk berbuka puasa bagi mereka yang berpuasa meski hanya makanan sederhana, adalah satu keberkahan yang luar biasa. Sebagaimana disarikan dalam sebuah hadis, “Barangsiapa yang memberi ifthar bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikit pun.” Ramadan Mubarak!