Cinta Beda Agama: Ketika Ayahnya Pemeluk Kristiani dan Ibunya Seorang Muslimah

Hati selalu identik dengan perasaan dan keyakinan. Bedanya soal keyakinan, notabenenya sebagai kemantapan seseorang berpegang pada pedoman hidup sementara perasaan bergantung suasana hati. Banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi pemeluk agama yang setia pada keimanannya, mereka tidak ingin dicap pecundang hanya karena berpaling cuma-cuma. Untuk menguatkan hal tersebut maka Rasulullah telah mengajarkan sebuah doa.“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Doa tersebut merupakan doa yang sering kali diucapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Doa adalah sebaik-baiknya kunci dari harapan dan impian. Doa Rasulullah ini membuktikan bahwasannya antara hati dan doa memiliki keterkaitan yang kuat. Apabila doa menjadi kunci dari harapan dan impian maka hati akan senantiasa menanamkan keyakinan atas harapan dan impian tersebut. Saya yakin setiap orang pasti mengharapkan agar hatinya senantiasa ditetapkan dalam kebenaran atas agama yang dianut. Mereka melihat balasan atas kebenaran agama yang mereka yakini yakni surga. Meski esensi keberadaan surga masih belum bisa terbayangkan, hal itu terhitung abstrak. Itulah hakikat keyakinan, mereka melihat tanpa mata telanjang.

Tabu tak mungkin kita lawan. Namun kutetap mau kamu. Cinta dan keyakinan, bisakah searah? (Cuplikan lirik lagu berjudul Tabu Melly Goeslaw, beritadiy.com) Ibarat kata dua persimpangan jalan tidak mungkin bisa menyatukan satu arah yang sama, apalagi soal keyakinan berdalih perasaan dua hati. Ini berat, banyak kartu kuning di sini. Malahan mereka tidak menghiraukan lagi, banyak yang menentang meski  dinilai tabu di mata orang. Ada banyak kasus pernikahan beda agama, umumnya salah satu di antara mereka harus mengalah. Baru kemudian setelah rumah tangga mereka berjalan, pasti mengalami kebimbangan lagi antara melanjutkan keyakinan sekarang atau kembali ke awal lagi.

Baca juga:  Gus Dur, HAM, dan Kontekstualisasi Pemikiran Keagamaan

Saya memiliki tetangga yang sudah berkeluarga, keduanya berbeda agama. Si suami beragama Kristen, istrinya Islam. Pernikahan mereka dulunya dilakukan secara Islam. Artinya suaminya mengalah, kemudian mengikuti agama Islam. Tetapi ketika menjalankan rumah tangga, si suami memilih putar arah. Ia kembali ke ajaran yang dianutnya dulu. Alhasil bahtera rumah tangga mereka dijalankan masing-masing sesuai keyakinan.

Memang betul tidak ada perasaan yang bisa dipaksakan. Di sini saya tidak bisa membenarkan juga apabila perasaan tumbuh di jalur berbeda, apalagi menyoal soal keyakinan. Pasalnya, keyakinan bersifat saklak berbeda dengan perasaan terhadap seseorang yang bisa berubah sewaktu-waktu. Mengutamakan keyakinan di atas segalanya itu perlu bahkan diwajibkan. Kalau memeluk agama hanya karena sekadar ikut-ikutan, perlu dipertanyakan pula hatinya kuat terikat pada keyakinan yang mana.

Keyakinan bukan bahan mainan, tidak serta merta asal-asalan memeluknya. Perlu banyak pematangan dalam sebuah pencarian. Saya berteman dengan seorang muslim, dia terlahir dari keluarga beda agama. Ayahnya seorang Kristiani, ibunya muslimah. Setiap Jumat, ia menunaikan sholat Jumat, ketika Minggu tiba ia pun pergi ke gereja. Di gereja, ia tidak beribadah melainkan hanya sekadar bersilaturahmi untuk memenuhi permintaan ayahnya. Itu semua dilakukan guna menghormati kedua orang tuanya. Menghidupkan toleransi di antara dua agama bukan hal sepele. Inilah tantangan hidup, mau tidak mau haruslah tetap dilalui.

Baca juga:  Gus Sholah dan Literasi Pesantren Tebuireng

Arumi E novelis karyanya berjudul Merindu Cahaya de Amstel (Gramedia Pustaka Utama: 2015) diangkat ke layar bioskop Indonesia. Film ini diadaptasi dari kisah nyata perempuan mualaf asal Belanda. Nyatanya film ini mampu membuka kembali pandangan mengenai keyakinan dan cinta.

Merindu Cahaya de Amstel sebuah film berlatar belakang kota Amsterdam, Belanda menyuguhkan keindahan Sungai de Amstel. Di mana tempat pertama kali Nicholas van Dijk (Bryan Domani), Siti Khadija (Amanda Rawles) bertemu. Berawal dari sanalah tokoh Nicholas van Dijk tertarik dengan perempuan muslimah berhijab. Ia merasa ganjil dengan Kamala (Rachel Amanda), muslimah tanpa hijab.

Perempuan mualaf asal Belanda ini menantang sang jurnalis, Nicholas soal wanita muslim Eropa. Dari sinilah Nicholas mendalami Islam, mulai dari membaca dan memperhatikan lingkungan muslim. Alhasil setelah melewati liku-liku pencarian hidayah, Nicholas bersyahadat. Kemurnian atas nama cinta dan keyakinan telah menguatkan tekadnya memeluk Islam.

Tayangan film Merindu Cahaya de Amstel dibintangi oleh Amanda Rawles, Bryan Domani,  Maudy Koesnadi, Dewi Irawan, Oki Setiana Dewi, dan Ridwan Emin. Film berdurasi satu jam empat puluh tujuh menit ini berhasil menyita perhatian para penonton baik dari segi alur cerita maupun adegan. Setelah berhasil dirilis pada Kamis, 20 Januari 2022. Film ini baru saja ditayangkan selama empat hari nyatanya sukses menghadirkan 115.043 penonton. Jumlah penonton membludak makin memancing ketertarikan saya dengan film ini, belum lagi ditambah beragam komentar positif datang dari para penonton, mereka merasa sangat puas bahkan sosok aktris terkenal Tissa Biani berkomentar bahwa film ini mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur karena terlahir Islam.

Baca juga:  Menziarahi Ibn Kammuna, Filsuf Yahudi yang Menggetarkan Dunia Islam

Saya sependapat dengan Tissa Biani, rasa syukur itu wajib kita miliki atas melimpahnya rahmat dan karunia yang telah Allah berikan. Tak semua hati diberi iman, tak semua iman diberi aman.

Pencarian terhadap Tuhan bukan sekedar kisah dongeng belaka. Tak semua hati terbuka lebar menerima cahaya hidayah dari Allah. Celakanya banyak orang meremehkannya, mereka terlalu congkak dengan kebesaran-Nya. Cinta di mata manusia telah dibutakan oleh gemerlapnya dunia. Hanya cinta dari hidayah Allah adalah pemberian paling mulia sebagai wujud kasih sayang dari Allah kepada hamba-hamba-Nya.

https://alif.id/read/unm/cinta-beda-agama-ketika-ayahnya-pemeluk-kristiani-dan-ibunya-seorang-muslimah-b241899p/