Cita-cita ‘Zacky Youtuber Kecil’: Anak Penjual Nasi Gandul yang Ingin Masuk Pesantren

Perjalanan malam dari Kudus menuju Sragen lebaran kemarin membuat kami memilih kuliner nasi gandul di Pati sebagai makan malam. Karena kami berbeda opsi menu—Ibu mertuaku ingin makan lamongan-an, sementara suami dan bapak mertua ingin nasi gandul, akhirnya kami mencari-cari tempat yang sekiranya berdekatan. Ndilalah, ada warung lamongan yang pepet persis dengan warung nasi gandul. Warung nasi gandul ini berada di pinggir jalan raya. Warungnya juga bersih dan rapi.

Saat menunggu nasi gandul disajikan, mata kami terfokus pada banner berwarna merah yang dipasang di dekat kipas angin dinding.  Di banner 1×1.5 m itu, ada wajah anak kecil dengan senyum manisnya terpampang. Namanya Zacky Muhammad Al Ghany. Informasinya memuat nama youtube, memohon doa serta subcribe-nya, dan diakhiri dengan terima kasih.

Motivasi Membuat Akun Youtube

Kami lalu bertanya kepada sang Ibu yang sedang menyiapkan nasi gandul kami.

“Itu putranya ya, Bu?” Ibunya dengan semangat mengiyakan. Lalu bercerita kalau youtube anaknya berisi bacaan surat dan gerakan sholat, sambil belajar. Tak lama kemudian sosok anak kecil bernama Zacky itu muncul.

“Nah ini anaknya”. Dengan sopan sang Ibu meminta anaknya untuk salim kepada kami.

“Semoga tambah rajin dan pinter, ya.” Kataku yang disahut amin dari sang Ibu. Suamiku menambahkan “Nanti kalau sudah besar mondok, ya.” Ibunya semakin bersemangat. “Amiiin”.

Si anak kembali masuk, lalu Ibunya bercerita kalau anaknya pernah bilang, “Aku biar jadi youtuber ya, biar dapat uang buat mondok.” “Mondok kan mahal ya, Mas.” lanjut Ibunya. Kami sontak terharu dengan motivasi sang anak. Setelah berbincang-bincang sebentar, nasi gandul kami jadi, lalu kami menikmatinya tanpa suara—saking laparnya.

Persepsi Mondok Itu Mahal

Sebagai seorang yang sudah mondok hampir 10 tahun, persepsi tentang biaya mondok yang mahal memang tidak salah. Tidak hanya menyangkut biaya pokok atau bisyaroh perbulan, tetapi uang saku yang menjadi hak anak bukanlah barang yang murah untuk sebagian orang tua.

Biaya administrasi pondok ditambah sekolah membuat beban berlipat ganda. Jika dibandingkan dengan anak yang bersekolah dari rumah, yang sudah dijamin makannya, tidak ada operasional pondok, uang saku seadanya, tentu jauh lebih murah. Selain itu, ketika anak mondok sambil sekolah, biaya buku/kitab pasti bertambah, seragam, dan jangan lupa uang laundry nya. Saat wisuda atau perpisahan, biaya semakin tambah membengkak.

Sekalipun sekolah dan pondoknya sudah paling murah, tetap saja bagi sebagian orang tua, biaya double itu masih terasa. Sekali lagi ini bukan tentang murah atau mahal, tetapi tentang persepsi yang berbeda. Mungkin itu juga yang dirasakan Zacky dan orang tuanya.

Saat ini, banyak sekolah dengan fasilitas pondok/boarding school yang menjual kualitas dengan biaya yang sangat tinggi. Sehingga sekolah dengan kualitas tinggi terkenal dengan biayanya yang melangit. Survei oleh HBSC (Health Behaviour in School-aged Children) tahun 2018 mengungkapkan bahwa biaya pendidikan di Indonesia termahal ke 13 di dunia (Widjaja, 2020). Pendidikan yang dirasa mahal oleh para orang tua di Indonesia menjadi alasan banyaknya masyarakat yang menyuarakan ‘pendidikan gratis’—alih-alih makan siang gratis untuk anak Indonesia.

Karakter Baik Bisa Dibentuk Dimana Saja

Sebagai orang Kudus, dan sekitarnya—Pati, Lasem, Rembang, mungkin pergi mondok sudah menjadi hal yang biasa, bahkan sudah mulai terbiasa. Pondok pesantren sudah sangat menjamur di daerah pantura, dari yang murah hingga yang mahal. Orang tua yang memondokkan anak, atau anak yang mondok biasanya punya beberapa alasan, dari yang murni pengen mendalami agama, atau yang mengincar sekolahnya (yang jauh) sehingga lebih baik mondok dari pada ngekos, atau yang hanya keinginan orang tua agar anaknya menjadi lebih baik. Yang terakhir ini membuat pondok sering disebut tempat rehabilitasi.

Faktanya, tidak semua anak mondok (dapat) berkelakuan baik. Bahkan beberapa sifat buruk muncul karena keadaan dan kebiasaan di pondok. Anak baik bisa terbentuk dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Contohnya Zacky. Ia diajarkan sejak dini pada nilai-nilai agama meski kedua orang tuanya seorang pedagang, sehingga ia memiliki  keinginan kuat untuk masuk pesantren suatu saat. Ia juga diajarkan sopan santun seperti menyalami pelanggan layaknya tamu. Menurut Sani dan Kadri (2016), keluarga adalah ujung tombak dalam pembentukan karakter anak dan memiliki peranan penting bagi tumbuh kembang anak.

Kami tidak tahu apakah akun youtube Zacky sudah bisa dimonetisasi atau belum. Yang jelas akun youtube Zacky ini sudah mengunggah lebih dari 150 video dan bahkan ia membuat channel baru khusus untuk hafalan ayat Al-Qur’an. Semoga spirit Zacky berhasil membawanya meraih cita-citanya sebagai anak pondok.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/hsz/cita-cita-zacky-youtuber-kecil-anak-penjual-nasi-gandul-yang-ingin-masuk-pesantren-b249625p/