Dakwah Islam di Jepang
Akhir Maret lalu, saya berkesempatan mengunjungi Jepang, tepatnya di Tokyo selama kurang lebih lima hari. Tak ada agenda khusus selama di sana, sehingga leluasa untuk merasakan langsung atmosfir kehidupan di ibu kota berpenduduk 37 juta orang itu. Sejumlah kawasan pusat wisata seperti ‘perempatan’ Shibuya yang sibuk, Istana Kekaisaran Tokyo, pusat perbelanjaan di kawasan Akihabara, Gunung Fuji, dan sejumlah tempat publik lain sangat memukau. Demikian pula kemajuan fasilitas dan transportasi publik yang menghadirkan rasa nyaman saat keluyuran. Namun sayangnya, fasilitas ibadah untuk kita yang beragama Islam selama di sana.
Sebetulnya, ini wajar-wajar saja, mengingat populasi muslim di negara tersebut sangat sedikit. Secara berurutan, agama yang dipeluk penduduk Jepang adalah Shitoisme (48%), lalu Budha (46%), lalu Kristen (1,1%) dan agama lain (4%). Pemeluk agama Islam berada dalam 4 persen ini bersama dengan Baha’i, Hindu, dan Judaisme (O’Neill, 2024).
Walau demikian, bukan berarti Islam tidak tumbuh di negara Sakura ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh akademisi dari Waseda University di Tokyo Prof Hirofumi Tanada, menyebut bahwa pada tahun 2020 saja terdapat 230 ribu muslim. Angka ini dipercaya meningkat sejak tahun-tahun sebelumnya. Tren peningkatan pemeluk agama Islam di sana dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain masuknya penduduk muslim dari negara lain dan pernikahan muslim dengan nonmuslim di Jepang (Otaki & Takai, 2023). Selain peningkatan jumlah muslim, terdapat pula peningkatan jumlah masjid. Pada tahun yang sama, terdapat 113 masjid di Jepang. Jumlah masjid ini meningkat pesat sejak tahun 1999 yang hanya berjumlah 15 buah saja (Otaki & Takai, 2023).
Peningkatan populasi umat Islam merupakan satu hal yang tidak dapat dihindarkan di berbagai belahan dunia tak terkecuali di Jepang. Salah satu konsekwensi postitif dari hal tersebut adalah meningkatnya tren turisme halal yang mulai diadopsi oleh berbagai negara terutama mereka yang memiliki ekosistem dan pemasukan dari sektor wisata seperti Jepang.
Industri Halal
Jepang tentu tak mau ketinggalan dalam melihat besarnya peluang bisnis dari pemeluk agama terbesar kedua dunia yang mencapai 1,5 miliar lebih atau setara 31% ini. Pemerintah Jepang telah melihat peluang tersebut sehingga mulai bekerja untuk menyiapkan berbagai fasilitas halal seperti perhotelan, makanan, pakaian, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kunjungan dari turis muslim dari negara mayoritas Islam (Pratama, 2022).
Tentu saat bicara mengenai topik Islam dan wisatawan muslim di kawasan Asia, kita tak bisa mengabaikan Indonesia begitu saja. Indonesia merupakan negara yang sangat berpengaruh baik pada peningkatan populasi muslim Jepang, jumlah masjid di Jepang (Otaki & Takai, 2023). Saat berada di sana, tak jarang saya mendengar orang berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa Jawa. Indonesia sendiri merupakan negara ‘tetangga’ Jepang dengan potensi wisatawan muslim terbesar. Sekitar sekitar 242 juta penduduk Indonesia atau sekitar 87% dari 275 juta penduduk merupakan Muslim. Jumlah ini merupakan potensi pasar yang sangat besar yang tak dapat diabaikan begitu saja.
Menurut data yang dirilis oleh Katadata, selama periode 2018-2022, Jepang menerima sekitar 71,27 juta kunjungan wisatawan dari seluruh dunia. Sekitar 1,01 juta kunjungan atau 1,4%-nya berasal dari Indonesia. Dengan angka tersebut, Indonesia pun tercatat sebagai negara penyumbang turis terbanyak ke-12 untuk Jepang selama periode tersebut.
Dengan angka sebesar ini, maka wajar jika Jepang mulai berbenah untuk menyediakan fasilitas halal dan hal lain terkait kebutuhan umat Islam, baik yang tinggal ataupun yang berkunjung ke negaranya.
Dakwah
Pemerintah dan warga Indonesia di Jepang juga terlibat aktif dalam penyediaan fasilitas publik keagamaan seperti masjid dan mushala. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara rajin mengirim donasi untuk pendirian masjid di Jepang yang berasal dari Indonesia (Otaki & Takai, 2023). Ini termasuk untuk Masjid Istiqlal Osaka di Kawasan Osaka’s Nishinasi Ward dan Masjid Indonesia Tokyo di kawasan area sekolah milik pemerintah Indonesia di Tokyo.
Nahdlatul Ulama sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan juga merupakan salah satu pemain utama dalam penyebaran/dakwah Islam di Jepang. Dakwah NU yang dimotori oleh Pengurus Cabang Istimewa NU yang telah berhasil mengembangkan organisasi dan memiliki 14 Majelis Wakil Cabang se-Jepang. Pengurus di berbagai daerah ini bertugas di antaranya untuk memfasilitasi kebutuhan keagamaan masyarakat muslim di sana. Selain belasasn MWC tersebut, NU juga mengelola setidaknya delapan buah masjid dan sebuah pondok pesantren.
Selain menjadi tempat untuk beribadah, masjid biasanya dijadikan tempat untuk bertemu sesama warga negara Indonesia (WNI) baik untuk merayakan hari besar keagamaan seperti shalat Idul Fitri/Idul Adha, atau shalat tarawih. Jika tak ada kegiatan besar, biasanya di waktu senggang, para WNI datang untuk makan bersama.
Saat berkunjung ke Masjid Nusantara, Ustad Anwar dan Ustad Hasan, pengurus masjid Nusantara menjelaskan bahwa masjid yang disewa di lantai 5 salah satu gedung di kawasan perkantoran di kawasan Akihabara memiliki kegiatan rutin berupa tahlilan yang disusul dengan makan bersama setiap Kamis malam, atau malam Jum’at. Konon agenda serupa juga dilakukan secara masif di delapan masjid yang terafiliasi dengan NU.
Muallaf Center
Salah satu yang menarik di PCINU Jepang adalah adanya lembaga bernama Muallaf Center. Jika masjid dan pondok pesantren lebih memfasilitasi masyarakat muslim di Jepang, maka Muallaf Centre seperti striker yang bertugas mempromosikan Islam ke orang yang belum memeluk Islam. Organisasi ini kerap melakukan promosi agama Islam kepada komunitas Jepang bersama dengan organisasi lain.
Saat diwawancara, ketua Muallaf Center, Muhammad Zaki Tazuke yang merupakan warga asli Jepang mengatakan, selama dua tahun berdiri, organisasi ini telah berhasil memfasilitasi proses masuk Islam sekitar 24 orang yang sebagian besar merupakan warga asli Jepang, Filipina dan yang lain. Tak hanya itu, Muallaf Center juga memfasilitasi proses belajar para muallaf dengan mengundang pengajar untuk belajar menjalankan ibadah. Lembaga ini juga mengeluarkan sertifikat yang kelak diakui oleh negara untuk keperluan pengurusan ibadah haji.
Ketua PCINU Jepang Achmad Ghazali mengatakan, Muallaf center setiap bulannya menggelar masjid gadering. Kegiatan pengajian ini digelar untuk muallaf dan calon muallaf yang berasal dari Jepang. Sehingga penceramah yang diundang untuk memberikan pengajian adalah penceramah yang berasal dari Jepang. Alasannya agar pesan keagamaan dapat mudah diterima karena adanya kesamaan budaya.
Mereka mengatakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi selama proses dakwah Islam di Jepang adalah minimnya pengajar dan media belajar Islam dalam bahasa Jepang. Ia berharap ke depan dapat menerjemahkan buku agama Islam dasar kepada para muallaf Jepang.
Pondok Pesantren NU At-Taqwa
Dakwah Islam yang dilakukan oleh pengurus PCINU di Jepang juga menggunakan lembaga berupa pondok pesantren. Keberadaan pondok pesantren yang diberi nama At-taqwa diharapkan menghadirkan pendidikan untuk anak-anak keturunan Indonesia, khususnya yang menikah dengan orang Jepang.
Achmad Ghazali mengatakan, sebagai negara muslim minoritas, tidak mudah mendapatkan pendidikan keagamaan di Jepang. Sementara jumlah anak-anak orang Indonesia yang menikah dengan orang jepang sudah sangat banyak. Ia mengatakan, pondok pesantren dihadirkan agar anak-anak dapat beragama dan menjalankan ibadah dengan baik melalui pendidikan agama yang lebih layak.
Di samping itu, ia meyakini, agama Islam Ahalussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah yang berasal dari Indonesia mengedepankan ajaran Islam yang sangat relevan kultur masyarakat yang penuh perbedaan. Dengan berkembangnya Islam ala NU, diharapkan pemeluk agama dan calon pemeluk agama Islam memiliki pilihan beragama Islam. Sebab Islam yang masuk di Jepang tidak hanya berasal dari Indonesia, namun juga Pakistan, Banglades, dan Mesir. “NU memberikan kontribusi pilihan dakwah Islam Aswaja an-Nahdiyah yang moderat,” kata Ghazali.
Peresmian pesantren NU ini mendapat dukungan langsung dari Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Heri Akhmadi yang juga merupakan Mustasyar PCINU Jepang. Dalam kesempatan tersebut Heri Akhmadi berharap melalui peresmian pesantren ini, komunitas dibangun dan gotong royong dapat dikembangkan.
Dalam satu kesempatan wawancara, Heri mengaku kagum pada semangat warga NU di sana yang tidak hanya kompak dalam mendirikan pesantren, namun juga usaha untuk menopang keberlanjutan masjid dan pesantren.
Pengurus NU senior di Jepang yang juga merupakan Atase Kehutanan KBRI Tokyo, Muhammad Zahrul Muttaqien mengatakan, pondok pesantren At-Taqwa didesain agar menjadi organisasi yang secara finansial mandiri. Saat ditemui di Masjid Indonesia Tokyo, ia menjelaskan bahwa pesantren akan ditopang oleh unit usaha di berbagai sektor, seperti sektor perdagangan dan jasa. Hal ini akan dilakukan untuk memastikan terselenggaranya dan tercukupinya kebutuhan belajar mengajar yang nyaman di lingkungan pesantren.
Peresmian Pesantren NU berbarengan dengan kegiatan Pendidikan Dasar Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU) dan Pendidikan Menengah Kader Nahdlatul Ulama (PMKNU) yang diadakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang. Dalam kegiatan ini terdapat sekitar 20 materi tentang Islam Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah yang diberikan untuk sekitar 60 orang Nahdliyyin, perwakilan dari berbagai wilayah di Jepang.
Perkembangan Islam yang penuh rahmat
Melihat gelagat makin semangatnya dakwah Islam di Jepang terutama yang dilakukan oleh pengurus NU dan umat Islam secara umum di Jepang, yang berbarengan dengan penerimaan pemerintah atas potensi turisme halal meningkatkan optimisme makin banyaknya muslim di Jepang di masa mendatang. Harapan ini bukan tak beralasan, Islam memang diprediksi oleh tim peneliti Pew Research Center akan menjadi agama terbesar di dunia pada tahun 2075.
Para peneliti menghitung tren gabungan faktor keluarga muda dan tingginya tingkat kesuburan membuat bayi yang lahir di keluarga Muslim antara tahun 2030-2035 diperkirakan mencapai 225 juta, sementara bayi yang lahir dari orang tua Kristen sekitar 224 juta. Pada periode 2055-2060, bayi yang lahir di keluarga Muslim 232 juta, sementara di keluarga Kristen angkanya 226 juta (Cooperman, McClendon, Martinez, Kramer, & Shi, 2017).
Prediksi tersebut tak berlebihan. Selain dua faktor (pernikahan pasangan muda dan kesuburan) yang disebut oleh peneliti di laporan di atas, kelompok NU sendiri di luar negeri sangat aktif melakukan dakwah keagamaan melalui berbagai jejaringnya. Untuk NU sendiri, PCINU Jepang hanyalah salah satu dari 32 PCINU yang telah terbentuk dan melakukan dakwah Islam. Dengan massifnya penerimaan dunia atas Islam, dan menguatnya peran NU yang menyebarkan Islam ramah di dunia, Islam hadir kelak adalah Islam yang penuh kedamaian dan kebaikan yang lebih luas bukan kekerasan atas nama mayoritas (majhoritarian authoritarianism).
Ahmad Rozali, Pengurus LTN PBNU dan kontributor NU Online