Ego Dammahum terusik ketika koleganya, seorang motivator ulung, kabarnya tak berkutik di hadapan seorang penjaga masjid. Pakar retorika itu takluk oleh dialektika sang marbot. Dammahum, seorang yang sangat kaya raya, pun tergerak datang jauh ke pulau seberang hanya untuk bertemu dengan penjaga masjid itu, menguji kebenaran kemampuan orang yang secara status tidak selevel dengannya. Meski pada akhirnya, dia pun kalah.
Pertemuan Dammahum dengan penjaga masjid menjadi titik balik perjalanan religinya. Dammahum bahkan meninggalkan seluruh kekayaannya untuk hidup sederhana di sebuah pesantren. Dia menjalani laku kezuhudan.
Kesungguhan dan pengorbanan Dammahum untuk mengabdi dan belajar di pesantren tak ada tandingannya. Ketaatan pada sang kyai pun memukau para santri senior, bahkan kiainya sendiri terkejut. Dammahum tampak sangat ingin menjadi seorang hamba Tuhan yang “sempurna” .
Namun beragama bukan soal hasrat, ia adalah pengembaraan akal sekaligus pelatihan hati. Pada akhirnya, Dammahum jatuh pada pengkultusan manusia. Bukan hanya mengkultuskan kiai yang dipujanya, tapi dia juga memuja dirinya sendiri. Kesesatannya tersebut mewujud kezaliman yang nyata sebab di saat bersamaan ia memiliki kekuatan politik nyaris tak terbatas. Karena kecewa pada sang kyai, Dammahum bahkan tega memenjarakan gurunya itu.
Keputusan Dammahum berdampak pada banyak orang: para santri, keluarga sang kiai, serta orang-orang lain. Kisah-kisah mereka menjadi keping-keping terpisah yang saling terkait satu sama lain menciptakan semesta cerita di sekitar Dammahum dan sang kiai.
Sastra profetik
Karya yang berisi kumpulan cerita pendek ini mengandung banyak unsur religi. Hal ini tak lepas dari kelokalan yang menjadi ciri khas karya-karya Benny Arnas. Kelokalan itu berangkat dari alam budaya Lubuklinggau yang merupakan daerah asal sang penulis. Maka, latar yang diangkat pun banyak bernafaskan kultur religiositas Islam khas tanah Melayu dimana dahulu kita mengenal ada Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkil, hingga HAMKA.
Dalam karya ini, nilai Islam dapat kita temukan dalam cerpen yang berjudul “Dammahum menjadi mercusuar” yang bercerita tentang asketisme dan cara menuju Tuhan yang benar dan salah. Sementara pada cerita “Mungkin Raqib Tak Henti Tertawa” kita melihat logika religiositas yang kokoh.
Pada judul “Cahaya akan Mengambang di Hunza”, Benny mengambil sebuah konsep keselarasan dengan takdir, sebuah pandangan yang bersumber dari rukun iman yang merupakan bagian dari lima konsep fundamental Islam . Cerpen ini hendak berkata bahwa tidak ada orang yang bisa lari dari takdirnya. Semakin ia mencoba menghindar, semakin ia mendekat kepada takdir.
Karya sastra yang berangkat dari nilai-nilai religius seperti ini oleh Kuntowijoyo disebut sastra profetik. Layaknya konsep kenabian, sastra profetik membawa pesan dan mengusung misi. Artinya, karya sastra ini mencoba mengambil peran dalam kesejarahan dan peradaban manusia. Kuntowijoyo menyandarkan konsep sastra profetik pada surah Ali Imran ayat 110 yang berbunyi “Kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar..”
Dalam konteks sastra, karya profetik ini memperkaya khazanah sastra yang banyak berkembang sekarang seperti sastra realisme, surealisme, dan ekspresionisme.
Autokritik
Sebagai sebuah mimikri dari realitas sosial, karya Benny ini penting sebab ia menyoroti cara beragama yang salah. Kejatuhan orang suci adalah sebuah narasi yang selalu diangkat dalam sejarah agama-agama.
Dari sudut pandang agama, bukan orang kafir yang paling berbahaya, tapi orang saleh yang merasa dirinya suci yang akhirnya jatuh pada pembenaran ego dan kehendaknya tapi merasa itu adalah representasi kehendak Tuhan.
Dalam konteks sosial, kesalehan yang salah ini akan membentur nilai-nilai yang ada yang pada akhirnya menafikan orang lain. Situasi seperti ini berpotensi menimbulkan konflik sosial : gesekan, kekerasan, diskriminasi, intoleransi dan sebagainya.
Dalam kasus orang yang memiliki otoritas sosial dan politik yang besar, sebagaimana diceritakan dalam buku ini, akan menyebabkan kezaliman dan kerusakan besar yang berdampak besar dalam kehidupan banyak orang.
Dammahum menjadi refleksi bahwa orang beragama seharusnya memperlihatkan keluhuran hidup. Bahwa hubungan vertikal (ilahiah) terejawantah dalam hubungan horizontal (sosial). Bahwa ketika orang menempuh jalan keagamaan adalah saat diri dikendalikan, bukan malah mengumbar kehendak. Dalam hati orang seperti ini sudah tidak ada singgasana Tuhan, melainkan singgasana egonya sendiri. Dan Benny mengkritisi itu dengan cara yang penuh estetika, melalui sastra.
Judul: Dammahum
Penulis: Benny Arnas
Penerbit: Diva Press
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-623-189-190-7 1
Baca Juga
https://alif.id/read/pws/dammahum-religiositas-sastra-profetik-dan-autokritik-b248475p/