Daulat Kebudayaan, Pertemuan antara Budaya dan Agama

Di era dinamika komunikasi dan jejaring teknologi-informasi digital ini, masih relevankah memperbincangkan kebudayaan? Atau saking genting dan relevannya membincang “kebudayaan” dalam konteks paling mendasar dari kepelikan definisi dan cakupan maknanya itu, maka kita kerucutkan istilah itu menjadi pengertian paling “umum”? Barangkali itu sebabnya kini kebudayaan identik dengan masa lalu, tradisi adat, artefak kuno juga warisan wejangan dan petitih moral para tetua atau sesepuh yang terasa asing.

Namun dalam buku kumpulan esai filosofi-kultural ini, kebudayaan bermakna lebih subtil. Ia adalah sebuah semesta yang berisi sumber-sumber tata-nilai beserta gugus pengetahuan dan cara pandang melihat realitas hidup. Ini terwujud simbolik dan metaforik dalam beragam ekspresi seni budaya tradisi, nilai-nilai kearifan lokal, adat istiadat, dan lainnya, yang menjadi referensi dalam menafsir dan mengatasi masalah dan kompleksitas hidup (hlm. 148).

Pun demikian, kita sebagai bangsa yang dikenal adiluhung ini, seperti tak kunjung menemukan rumusan atas keterbelahan “kebudayaan” kita dari sumber lokalitas, kearifan agama maupun kontekstualisasi pemikiran. Padahal kebudayaan tidak hanya mengacu pada hasil dan produk kultural, atau praktik dan kebiasaan adat. Kebudayaan adalah kata kerja, yang berkaitan dengan usaha ataupun proses yang terhubung dengan nilai-nilai penting kemanusiaan yang menuntut untuk terus menerus ditingkatkan.

Bahwa kebudayaan atau budaya adalah olah budi atau lelaku untuk terus menerus menyelaraskan karsa/raga (kehendak), cipta (pikiran, daya imaji, dan daya cipta), jiwa (tempat niat, tekad, dan dorongan terdalam), dan rasa (bingkai kebijaksanaan dan kearifan, dorongan empati moral yang terdalam) (hlm. 159). Ketika elemen kemanusiaan itu berjalan seimbang, nantinya akan mewujud tata budaya, tata nilai, tata masyarakat, tata negara, juga tata peradatan dan peradaban yang lebih berkualitas (hlm. 39).

Penulis menyejajarkannya dengan tujuan hadirnya agama, sebagai penyempurna budi manusia. Seperti contohnya Islam, elemen kemanusiaan dalam dimensi kebudayaan tadi sejajar dengan tahapan-tahapan yang ada pada terminologi tasawuf (dimensi esoterisme Islam), yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat (hlm. 7).

Dengannya, ajaran agama pada dasarnya merupakan proses kebudayaan itu sendiri. Karena sejatinya seberapa pun agung nilai-nilai agama yang dipeluk dan diyakini bersifat universal itu, ia tidak akan tergelar dalam realitas hidup jika tak membantu proses “menjadi manusia” yang bertalian dengan lokalitas sekitarnya (hlm. xviii).

Proses Berkemanusiaan

Oleh karenanya, proses berbudaya atau berkebudayaan secara otomatis juga merupakan proses berkemanusiaan, yaitu proses mengutuhkan dan mengaktualkan seluruh potensi yang dimiliki manusia berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan (hlm. 159). Sikap ini penting dalam merespon pemosisian agama dan budaya secara frontal berhadapan dan berlawanan akhir-akhir ini.

Tahap berbudaya tersebut dimulai dari mengolah potensi dorongan kehendak natural dan raganya, yaitu terkait baik-buruk dan hitam-putih yang menuntun perkembangan kedewasaan seseorang (syari’at), juga mengasah daya-cipta untuk memperkembangkan temuan, inovasi, ilmu, teknik, serta pendalaman nilai-nilai kebenaran dalam rasionalisasinya (tarikat) serta meluruskan niat, menebalkan tekad, dan keyakinan serta kesesuaiannya dengan tindakannya pada hakikat terdalam hidup (hakikat), hingga melatih dan memperkembangkan kepekaan estetika dan empati moral, hingga hakikat “rahsa” hidup yang mengantarkan pada nilai sublim hidup hingga puncak makna perjalanan kemanusiaannya (ma’rifat) (hlm. 160).

Dengannya, “perjalanan” kemanusiaan sebagai “lelakon” (baca: lakumlakulelaku, perjalanan ruhani) jadi benar terumuskan sebagai proses perjalanan kemanusiaan menjadi “kebudayaan” (yang berakar dalam tradisi dan terus memegang prinsip “kematangan ruhani”). Hal ini menerangkan makna paling mendasar apa yang sebenarnya dilakukan oleh para tokoh seperti Hamzah Fansyuri di Sumatera, Abdurrauf Asyingkili di Aceh, Sunan Kalijaga, Ranggawarsita di Jawa, Hasan Mustapa di Sunda, Raja Ali Haji di Riau, hingga Gus Dur.

Mereka sebenarnya mengajukan gagasan kesempurnaan dan keutuhan proses “berkemanusiaan” atau menjadi manusia, yang kita kenal dengan beragam istilah seperti  “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) menurut Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, Muaranya berupa kedaulatan diri sebagai “insan kamil”, “janma utama” “manusia budiman”, atau lainnya (hlm. 155).

Membaca buku ini seperti mendapati ruang-ruang pemikiran yang, meski terkesan bercecabang, tapi merefleksikan kedalaman batin dan pemikiran, juga harapan akan proyeksi kebudayaan Indonesia yang lebih berkualitas dan beradab. Mulai dari pembahasan tentang Desa: Problem Pengetahuan dan Kebudayaan, Saya dan Buku hingga Tasawuf (Nusantara), membentangkan teba logika untuk menyelami mata air pengetahuan yang hakiki: pemaknaan kontekstual tentang Kebudayaan.

Meski kerap membikin dahi berkerut dan harus dibaca berulang bagi pembaca awam agar mampu menemukan maksud yang hendak disampaikan dalam kalimat-kalimat panjang dan filosofis, buku ini logis dan tidak berpihak pada satu aliran agama ataupun entitas budaya tertentu. Ini menjadikannya bahan perenungan yang penting karena kontekstual dengan kondisi kita saat ini.

Penulis menawarkan strategi kebudayaan berupa pematangan diri kemanusiaan manusia Indonesia yang tak melepaskan diri dari akar visi ruhani ketuhanannya, dimana kearifan tradisi beserta struktur pandangan agama saling menjalin dalam pertemuan, keterbukaan, dan dialog dengan arus pemikiran, informasi, bahkan ideologi dunia (hlm 164-6). Hal ini bisa terwujud melalui sistem pendidikan humanisme kultural yang mengembangkan potensi manusia, dengan juga memanfaatkan nilai-nilai sejarah, sistem perilaku etis, ekspresi estetis dan non-estetis, serta karya budaya.

Dalam proses kita “menjadi Indonesia” diantara dinamika informasi-komunikasi global kiwari ini, logika tersebut bisa menjadi titik simpul ajaran, hikmat, dan kebijaksanaan, yang menyajikan kearifan akan arah pengenalan realitas terdasar kemanusiaan kita, yang bertopang dan bertumpu pada prinsip ketuhanan sebagai sumber realitas terdalam.

Ini yang membantu proses pertumbuhan kualitas kemanusiaan, mengukuhkan tegaknya “alif kedirian” atau kedaulatan manusia dan bangsa Indonesia, baik di ranah politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan: sesuatu yang dibutuhkan bangsa ini.

Judul                          : Daulat Kebudayaan, Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan

Penulis                      : Irfan Afifi

Penerbit                    : Pojok Cerpen dan Tanda Baca

Cetakan                     : Pertama, Februari 2023

Jumlah halaman   : xxiv + 168 halaman

ISBN                           : 978-623-5869-09-4

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/daulat-kebudayaan-pertemuan-antara-budaya-dan-agama-b248182p/