Debat Islam Nusantara Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Post Kolonial

Dewasa ini, Islam Nusantara terus bergulir menjadi wacana yang dibahas di berbagai kalangan dengan beragam perspektif. Sebagian masyarakat banyak yang mengemukakan pendapatnya tentang islam nusantara dari berbagai perspektif.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan islam Nusantara? Pertanyaan ini kembali mengawali diksusi webinar debat Islam Nusantara bertajuk Islam Nusantara: Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Post Kolonial yang merupakan lanjutan dari webinar sebelumnya dengan tema Islam Nusantara: Perspektif Filosofis-Historis Kritis yang diselenggarakan oleh Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.

QURBAN NU CARE

Pada webinar seri perdebatam bertajuk Islam Nusantara: Perspektif Filosofis-Historis Kritis yang dilaksanakan pada Rabu (14/7/2021) yang dihadiri sekitar 155 peserta. Webinar Islam Nusantara ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Dr. Amin Mudzakkir (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI FIN-UNUSIA Jakarta), Prof. Masdar Hilmy, M.A., Ph.D. (Dewan Penasihat, ISNU Jawa Timur), dan Teuku Kemal Fasya, M.Hum (Universitas Malikus Saleh, Aceh)

Webinar seri perdebatan bertajuk Islam Nusantara: Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Post Kolonial diawali dengan sambutan Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Dr. Ahmad Suaedy, MA.Hum dan Mahmud Syaltout, Ph.D. (Paramadina Graduate School of Diplomacy).

Mahmud Syaltout, Ph.D. mengatakan bahwa Islam Nusantara dari perspektif sosial kritis atau perspektif analitik kita jumpai berbagai macam berita menarik seputar Islam dan Islam Nusantara melalui sosial media. Jika kita mencari keyword di google tentang Islam dan Islam Nusantara, Islam Nusantara memiliki push rank lebih besar dibanding kata Islam yang bisa kita lihat di sosial media Facebook dan Youtube.

Namun dari segi akademis dan last trend saat ini, perbandingan antara Islam dengan Islam Nusantara cenderung turun mulai Desember 2020 hingga saat ini. Banyak sekali problematik yang berkaitan dengan Islam Nusantara yang menjadi PR tersendiri bagi kita kaum Nahdliyin baik dari segi ilmu sosial kritis dan post kolonial.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Artinya, kita bisa memahami konsepan Islam Nusantara berdasarkan dua sudut pandang, yakni International Development dan Nasional Development. Berdasarkan internasional Development bisa diketahui banyak negara-negara dunia yang belum begitu memahami dan mengenal konsepan Islam Nusantara. Sebagian negara yang penduduknya beragama islam cenderung memahami konsepan islam secara umum bukan konsepan Islam Nusantara. Hal ini menjadi salah satu penyebab Islam Nusantara kurang dikenal bahkan kurang menarik.

Berdasarkan National Development, bisa diketahui melalui jumlah santri dan pesantren yang terdapat di Indonesia, berapa besar Culure yang terdapat di suatu daerah atau provinsi di Indonesia (misal penerapan tahlil, qunut ketika salat subuh). Struktur cultural inilah yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang dapat dibuktikan berapa banyak pengurus NU di setiap provinsi. Namun makin ke sini, mayoritas provinsi di Indonesia cenderung menggunakan gagasan Islam Moderat. Hal ini juga menyebabkan menurunnya minat masyarakat terhadap konsepan Islam Nusantara. Sampai saat ini, Islam Nusantara secara konsepan masih banyak muncul perdebatan dan perlunya pembenahan terkait problematik tersebut.

Baca juga:  Mendaras Alquran di Pesawat

Menurut Prof. Masdar Hilmy, bagaimana Islam Nusantara berkembang berdasarkan sudut pandangan post kolonial? Dan bagaimana dialektika pemikiran di kalangan internal NU terkait pembaharuan konsep Islam Nusantara pasca kolonial di Indonesia saat ini. Jika dikaitkan dengan dengan konsepan Islam Nusantara merupakan salah satu strategi dari komunitas Nahdliyin untuk mengartikulasikan bahwa gagasan Islam Nusantara merupakan representasi pendirian yang otentik sekalipun secara manifestasi memiliki wadah yang berbeda dengan wadah yang diartikan oleh kelompok islam lainnya.

Berkaitan dengan konteks post kolonial terdapat research yang luar biasa. Artinya isu tentang Islam dan post kolonial merupakan satu tema yang sudah banyak dibahas oleh para ahli dan diterbitkan dalam bentuk buku dan jurnal. Namun hal ini hanya bertumpu pada kajian di negara-negara  yang merupakan bekas jajahan Inggris (misal di Asia Selatan). Pembahasan mengenai Islam dan Post Kolonial masih sedikit dibahas di Indonesia. pembahasan Islam Nusantara masih menjadi sebuah pertanyaan di kajian Islam secara umum.

Membahas Islam dan Post Kolonial tak dapat dipisahkan dari adanya pertarungan antara kelompok progresif di kubu NU dan regresif NU. Kelompok progresif mengaspirasikan satu imajinasi tentang kondisi ideal tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan secara induktif dan antroprosentris tapi juga kontekstual. Sementara kelompok penentang terhadap gagasan progresif menggunakan argumentasi yang deduktif .

Di kalangan anak muda NU, dialektika antara kelompok progresif dan regresif sangat terlihat yang kemudian dimanefasikan dalam pertarungan wacana antara kelompok muda yang tergabung dalam epistemic bloc pemuda NU seperti LKIS, JIL, Lakpesdam, Fahmina, Puan Amal Hayati. Dan lainnya. Kelompok epistemic bloc ini merupakan simpul kerangka pikiran para pemuda NU yang juga diikat oleh perjumpaan mereka dengan pengetahuan baru (ilmu sosial, hermeneutyika, pemikiran islam kritis, dan lainnya).

Berbicara post kolonial yang terjadi di Indonesia dapat dismpulkan menjadi dua hal. Pertama, post kolonial diartikan sebagai periodisasi waktu, dan kedua, post kolonial dianggap sebagai wacana akademik yang merujuk pada narasi-narasi tentang polarisasi kuasa antar pihak kolonial dan bangsa yang terjadi dikalangan NU.

Baca juga:  Mengintip Tradisi Yalda di Pelosok Iran

Gagasan post kolonial merupakan satuan proses yang berevolusi dan menjadi satu diskursif menjelang akhir tahun 80-an, awal 90-an, awal 2000-an hingga saat ini. Jadi gagasan post kolonial di kalangan generasi muda NU merupakan hasil transformasi akibat perjumpaan mereka dengan pengetahuan baru (ilmu sosial, hermeneutyika, pemikiran Islam, dan lainnya) yang bersifat modern. Sementara dalam kajian keislaman ada beberapa nama yang sangat inspiratif yang menjadi objek kajian NU yaitu, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri, An-Na’im dan lainnya

Para tokoh inspiratif tersebut membagi keterkaitan Islam dan post kolonial menjadi dua bagian. Pertama konsep intelektual, konsep ini menjelasan bahwa masyarakat belajar keislaman secara otodidak dan non mainsteram, artinya masyarakat mempelajari ilmu pengetahuan khususnya keislaman dapat dipelajari sendiri. Dan kedua konsep mainsteram, konsep ini mengharuskan masyarakat atau generasi muda untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan keislaman harus di pesantren. Di Indonesia sekitar tahun 70-an para ulama dan kyai mengarahkan generasi muda yang ingin menuntut ilmu dan keislaman harus di pesantren atau lembaga pendidikan berbasis islam. Pemikiran gagasan masintream inilah yang kemudian dipecahkan oleh sosok Gus Dur yang berperan penting sebagai sumber inspirasi bagi generasi muda NU.

Diskusi Islam post kolonial diwarnai oleh perdebatan yang luar biasa antara para pengusung progresif Islam dengan para penentangnya. Keduanya sama-sama membentuk epistemic bloc tetapi tidak menutup kemungkinan bisa bertemu karena diikat oleh Web of Interest yang bersifat tangible dan intangible yang berbeda. Perlakuan mereka terhadap kedua sumber Islam (al-Quran dan Hadis) juga berbeda. Penganjur progresif, kedua sumber tersebut hanya sebatas sebagai sumber inspirasi. Para penentang, kedua sumber tersebut sebagai rujukan langsung.

Sementara Amin Muzakkir menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang moderat dan diharapkan mampu untuk menangani Islam radikal baik tingkat nasional maupun internasional. Umumnya masyarakat dalam memahami Islam Nusantara hanya memahami dari segi paradigma kultural yang menjadi problematik tersendiri. Paragdisma ini yang dapat menghilangkan kemampuan Islam Nusantara terhadap Islam ril yang umumnya berlaku di masyarakat. Akibatnya Islam Nusantara tidak dapat berbicara jauh mengenai keislaman yang sifatnya politik/struktural.

Baca juga:  Islamic Book Fair Minus Literasi Sejarah Penerbit Keislaman?

Teuku Kemal Fasya mengatakan pemahaman Islam Nusantara perlu dipahami sebagai bagian dari kosmologi islam yang secara instrinsik memang berbeda. Islam Nusantara dapat dilihat sebagai bagian dari persebaran sejarah dan kebudayaan Islam di Nusantara, dan tidak dijadikan sebagai pertentangan ideologi-teologis. Perlbagai karya pemikiran islam baik tafsir, fiqh, tasawuf, filsafat, sastra, dan kebudayaan yang dihasilkan oleh pemikir Islam di Nusantara sudah menunjukkan adanya fakta tentang Islam Nusantara, yang dalam konteks Islam NU dideklarasikan dengan klaim Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Diam-diam terdapat gerakan penolakan terhadap slogan Islam Nusantara terkait dengan upaya penyingkiran Islam toleran-kultural oleh Islam radikal-politik di Indonesia.

Berbicara mengenai Islam Nusantara menjadi bagian dari persebaran sejarah. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudra Pasai. Sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai, Malikusalleh (1267-1292) adalah seorang raja Hindu sebelumnya yang bernama Meurah Silue. Naiknya Malikusalleh sebagai sultan pertama dalam sejarah kerajaan Islam Nusantara membawa nuansa Islam Melayu yang tidak meniru Arabesque. Islam Samudra pasai bernuansa akulturatif, sinkretik, dan inklusif. Artinya bahwa sejak zaman Kerajaan Samudra Pasai, Islam berkembang menjadi Islam Nusantara bukan penganut Arabseque.

Wacana Islam politik komtemporer ikut mengacaukan wacana Islam di Nusantara. Islam toleran, moderasi beragama, dan gerakan Islam Nusantara dituding sebagai gerakan deislamisasi. Disebutkan Islam Nusantara ada pelemahan terhadap politik identitas Islam di Indonesia sebagai bagian lanjutan dari Islam Liberal dan sekulerisasi. Menguatnya lagi gerakan revivalisme politik Islam dengan tokoh seperti Habib Riziq yang sangat menekankan Arabisasi Islam untuk menggusur Islam Nusantara yang pernah dimunculkan oleh Gus Dur.

Islam Nusantara sebagai exit strategy wacana kolonialisme berperan sebagai upaya peneguhan atas konsep yang digali oleh umat Islam Indonesia untuk membentuk sendiri bahasa dan standar keilmiahan Islam yang selama ini dikontruksikan oleh pihak asing/antropolog berkontruksi Barat. Islam Nusantara adalah cara menolak mode of discourse Eropa/Barat melihat dunia Islam sebagai the other word.

Wacana Islam Nusantara sebenarya meneguhkan wajah Islam toleran, inklusif, dan moderat di Indonesia. wacana Islam Nusantara adalah bagian untuk menyelamatkan kebhinekaan di Indonesia termasuk sebagai jalan untuk melindungi minoritas dari penistaan, stigmatisasi, dan terror yang mengatasnamakan kepentingan “Islam mayoritas”. Penerapan pendidikan tradisional pesantren menjadi gerakan yang menghidupkan nilai-nilai Islam Nusantara. Pematangannya dilakukan di dunia perguruan tinggi Islam hingga penguatan epistimologis tentang wacana Islam Nusantara.

https://alif.id/read/redaksi/debat-islam-nusantara-perspektif-ilmu-sosial-kritis-dan-post-kolonial-b238941p/