Buku masih utuh, berada di Bilik Literasi (Solo). Pembaca tak perlu jijik saat mengetahui sekian halaman kotor. Pada suatu masa, buku itu berjamur. Buku pernah menjadi koleksi SMP di Solo dan termiliki seorang keturunan bangsawan di Solo. Buku dalam tahun-tahun berlalu, berada di tempat-tempat berbeda. Buku masih utuh tapi jejak-jejak kotoran sudah mengering membuat pembaca wajib pelan-pelan membuka halaman demi halaman.
Gambar digunakan di sampul buku berjudul “Jembatan Bambu” buatan Affandi. Buku berjudul 70 Tahun Affandi (1978) makin resmi dengan lukisan buatan Affandi. Buku diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Buku memuat pidato Ali Sadikin disampaikan pada 3 Juli 1977. Kita mengutip: “Pemerintah DKI dalam perayaan ulang tahun yang ke-450 ini merayakan pula hari ulang tahun Bapak Affandi yang ke-70. Tapi, Bapak Affandi sendiri tidak mengetahui, apakah betul ia berusia 70 tahun.” Usia kota dan tokoh berbeda. Sejarah kota masih disempurnakan tanpa “keraguan” berkaitan usia. Affandi itu meragukan dalam urusan ketepatan waktu kelahiran. Sejarah dan biografi dalam kalimat Ali Sadikin dimaksudkan penghormatan. Di situ, Affandi tampak besar meski ia memilih mendirikan museum di Jogjakarta.
Penerbitan buku dalam rangkaian acara melibatkan pelbagai pihak. Dewan Kesenian Jakarta menjadi pihak paling berkepentingan dan memiliki tanggung jawab besar. Affandi telanjur kondang di pelbagai negara tapi pihak-pihak di Indonesia terlambat dalam memberi penghormatan. Buku itu perwujudan kecil dan sederhana.
Tiga orang bertugas membuat buku: Ajip Rosidi, Zaini, dan Sudarmadji. Kerja keras dan sadar ada hal-hal terbatas. Buku tetap terbit, tipis saja. Buku ingin melanggengkan Affandi di hadapan para pembaca, dari masa ke masa.
Di tulisan Sudjojono, ada episode perkenalan antara dua pelukis terpenting di Indonesia: “Saya kenal Affandi pada suatu hari libur di zaman Belanda.” Perkenalan di Jakarta, kota terus bergolak. Ingatan tatapan mata Sudjojono: “Sebagai pemuda, dia sederhana sekali dalam segala-galanya. Pakaiannya di rumah sering kebesaran untuk badannya yang kurus itu, sampai-sampai kalau berjalan kelihatannya macam lap kering kena angin. Tak pernah saya lihat dia agak parlente pakai dasi, meskipun saya tahu dia tidak ogah melihat muka wanita cantik.”
Mochtar Lubis, wartawan dan pengarang, turut mengenang: “Pertama kali saya mendengar tentang Affandi ialah ketika dalam minggu pertama proklamasi kemerdekaan, setelah 17 Agustus 1945. Bung Sjahrir membuka sebuah pameran seni lukis modern Indonesia di aula Universitas Indonesia. Tentunya agak aneh bagaimana sebuah bangsa yang sedang dalam revolusi sempat mengadakan pameran seni lukis. Akan tetapi, pameran itu punya arti yang dalam dan besar.” Peristiwa mendengar nama sudah mungkin masuk dalam ingatan sejarah.
Dua nama tenar ikut menuli tentang Affandi. Pada masa 1970-an, Affandi itu nama besar, tak mungkin terbiarkan memasuki usia 70 tahun tanpa pesta tulisan, selain pameran lukisan.
Buku terbit dengan kerja tiga orang menanggung beban berat. Ajip Rosidi, Zaini, dan Sudarmadji menerangkan: “… dari 40 orang yang dihubungi oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menulis, hanya beberapa orang saja yang memenuhi permintaan tersebut.” Kegagalan itu mengakibatkan buku tipis. Masalah lain berkaitan tulisan jenis dokumentasi: “Kebanyakan tulisan tentang Affandi, berupa berita, sehingga kurang bermanfaat untuk diterbitkan kembali. Juga resensi-resensi yang ditulis sehubungan dengan sesuatu pameran, kebanyakan kurang tahan zaman.” Tiga orang itu menderita dan kecewa. Tanggung jawab tetap dipenuhi dengan penerbitan buku, 120 halaman saja.
Keraguan Ali Sadikin dalam pidato memang wajib terjawab. Ajip Rosidi dalam buku berjudul Hidup Tanpa Ijazah (2008) mengingat percakapan bersama Affandi: “… sebenarnya dia di Cirebon lahir tahun 1907, bukan 1910. Jadi, tahun 1977, dia akan genap berusia 70 tahun. Tapi tanggal dan bulannya tidak ketahuan karena tak ada catatan tentang hal itu.”
Ajip Rosidi berbagi cerita di balik penerbitan buku berjudul Affandi 70 Tahun. Kita mengetahui setelah puluhan tahun berlalu dari acara dan tahun terbit.
Ajip Rosidi menjelaskan: “Buku penghormatan terhadap Affandi aku susun bersama Zaini dan Sudarmadji berjudul Affandi 70 Tahun. Di samping itu, Akademi Jakarta menugaskan Popo Iskandar menulis buku tentang ekspresionisme Affandi berjudul Affandi, Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme. Keduanya terbit sebelum acara syukuran ulang tahun Affandi yang ke-70 di Taman Ismail Marzuki.”
Ikhtiar bersama itu mewujud dengan suka cita dan keterlibatan pelbagai pihak. Ajip Rosidi menganggap ada capaian dalam keberanian mengadakan beragam acara dan penerbitan buku.
Dua kalimat penting turut menjadikan buku Affandi 70 Tahun pantas tercatat dalam sejarah dan perkembangan perbukuan di Indonesia sering mengadakan terbitan demi 70 tahun: “Sebelumnya, tidak ada pelukis Indonesia yang ulang tahunnya diselenggarakan secara besar-besaran oleh seorang gubernur dan mendapat tempat dalam pers secara luas, baik pers cetak, radio maupun televisi. Juga pada waktu itu masih jarang orang yang mengadakan syukuran usianya menjadi 70 tahun.”
Buku masih utuh dan memiliki jejak-jejak berjamur itu pantas masuk daftar sejarah perbukuan di Indonesia demi usia 70 tahun. Pada masa berbeda, buku-buku cap 70 tahun sering terbit untuk persembahan intelektual, politisi, ulama, seniman, pengusaha, dan lain-lain. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/demi-70-tahun-b241804p/