Demokrasi lokal pada level desa merupakan pilar demokrasi yang paling penting karena melibatkan partisipasi masyarakat pada level paling bawah, massif, dan menunjukkan perilaku politik yang mencerminkan demokrasi pada level atasnya. Jika demokrasi lokal tingkat desa ini ditata secara lebih baik, maka hal ini akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara umum.
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 memberikan amanat pada desa untuk melakukan pembangunan demokrasi di desa. Pada pasal 67 UU Desa ditegaskan bahwa Desa berkewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa, mengembangkan kehidupan demokrasi, dan mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa. Pasal 26 UU memberi wewenang pada kepala desa untuk mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
Demokrasi yang berbasis pada partisipasi dan kesadaran yang dilakukan pada masyarakat desa dipandang sebagai pintu masuk menuju kemajuan desa. Sayangnya, perhatian pemerintah desa terhadap pembangunan demokrasi dan politik ini masih belum kelihatan. Bahkan kegiatan pemetaan potensi sosial-politik desa saja, masih banyak desa yang belum memiliki data-base. Pada hal pembacaan terhadap potensi sosial-politik di desa amat penting untuk menyusun rencana pembangunan untuk meningkatkan kualitas demokrasi desa.
Pada kenyataannya, berbagai kegiatan yang berkaitan dengan demokrasi dan politik sendiri bukanlah hal yang asing dari desa. Selain pemilihan umum yang dikordinir oleh KPU (baik Pileg, Pilpres, dan Pilkada), juga ada pemilihan pada tingkat desa (Pilkades) atau level yang lebih bawah (misal Pemilihan Kepala Dusun, Pemilihan Ketua RT, dll).
Di satu sisi, penyelenggara momentum pemilu di luar Pilkades, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai daerah juga membutuhkan kerjasama dengan pihak pemerintahan desa untuk mendukung proses kegiatan, misalnya Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan dan merekrut panitia pemilihan tingkat desa dan TPS pada Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Biasanya segala biaya kegiatan momentum elektoral yang dikordinir KPU tidak membuat pemerintah desa mengeluarkan biaya pelaksanaannya.
Dalam penguatan demokrasi formal-prosedural (pemilu), sebenarnya pemerintahan desa tidak perlu menunggu datangnya tahapan pemilu dan anggaran kegiatan yang melekat dari tahapan pemilu yang dikordinir oleh KPU. Sebab demokrasi elektoral itu sendiri sebenarnya akan lebih berkualitas jika berbagai kebutuhannya sudah dipersiapkan dari program-program pembangunan yang berkaitan dengan sumber daya manusianya, termasuk perangkat lunak yang dibutuhkan.
Program pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang sudah digagas oleh KPU RI, misalnya, ternyata juga tidak bisa berjalan dengan mulus karena terhambat dengan masalah administrasi kependudukan yang basis datanya juga ada di desa. Problem laten yang muncul dari pemilu ke pemilu seperti tidak validnya data ternyata salah satunya adalah terkait dengan data kematian. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa penduduk yang pada pemilu sebelumnya sudah dicoret sebelumnya ternyata namanya muncul lagi pada daftar pemilih berikutnya yang basis datanya adalah dari Kementerian Dalam Negeri.
Usut punya usut, ternyata pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten tidak akan mengubah status hidup atau matinya penduduk yang bersangkutan jika tidak ada akte kematian yang diurus oleh pihak keluarga dari penduduk yang meninggal. Sedangkan akte kematian ini basisnya adalah administrasi kependudukan di desa. Karena kurangnya sosialisasi tentang akte kematian atau minimnya orang yang mengurus akte kematian, maka data orang mati di desa tak dihapus oleh Disdukcapil.
Akibatnya adalah data penduduk yang sebenarnya sudah mati akan masih tercantum namanya di data penduduk potensial pemilih Pemilu yang diberikan pemerintah (melalui Kemendagri selaku pihak yang membidangi masalah kependudukan) sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara. Ketika pemutakhiran data pemilih dilakukan di lapangan (coklit), ternyata petugas pemutakhiran di desa yang dikordinir KPU harus menyoreti lagi penduduk yang “hidup kembali”.
Di sini, di luar tahapan pemilu dan tanpa tergantung pada anggaran dari KPU, peran pemerintah desa untuk membuat masyarakat mau mengurus akte kematian cukup penting untuk membantu proses pemutakhiran data pemilih.
Kegiatan lainnya di luar tahapan pemilu bisa juga dilakukan dengan kerjasama baik dengan KPU maupun instansi-instansi pemerintahan yang memang membidangi pembangunan demokrasi dan politik seperti Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). Beberapa kegiatan bisa direncanakan dan dibiayai dari anggaran desa.
Misalnya, program kemitraan yang bisa dilakukan bersama misalnya, pemerintahan desa bisa berkordinasi dengan KPU Kabupaten melakukan pemutakhiran data berkelanjutan berbasis pada dinamika data kependudukan tingkat desa. Desa bisa membiayai petugas administrasi kependudukan di mana salah satu outputnya adalah menghasilkan data pemilih di desa yang siap dipakai oleh KPU.
Kegiatan ini untuk mengetahui dinamika pemilih yang berguna untuk mempermudah pemutakhiran data pemilih bagi pemilu yang akan datang. Dengan menempatkan SDM untuk menangani kebutuhan data pemilih dinamis berbasis pada data kematian, perpindahan, pertambahan usia, serta perubahan status pekerjaan TNI/Polri ini akan menjadikan data pemilih dapat diperbarui secara berkala. Bukan hanya momentum pemilu yang dikordinir KPU saja yang memanfaatkan, tapi juga untuk perbaikan data pemilih dalam pemilihan tingkat desa atau dusun (Pilkades, Pilkasun, atau Pemilihan Kerua RT).
Pemerintah desa juga harus punya terobosan untuk membuat kemudahan mengurus akte kematian bagi penduduknya. Misalnya, bisa mengordinir pengurusan akte kematian di Dinas Disdukcapil tanpa menyusahkan warga mengurus sendiri ke dinas tersebut. Tempat yang jauh dari tempat tinggal penduduk, serta perasaan bahwa tidak ada manfaat dan keuntungan dengan pengurusan akte kematian, adalah sebab dari malasnya warga menguruskan akte kematian dari saudaranya yang meningggal. Apalagi warga di desa pinggiran yang letaknya amat jauh dari pusat kota.
Pemerintah daerah (Kabupaten utamanya) selaku pembina pembangunan di desa seharusnya juga harus berperan aktif dalam mendesain program agar pembangunan demokrasi dan politik di desa itu bisa berjalan dengan maksimal. Potensi kerjasama antar instansi yang sama-sama punya kepentingan untuk meningkatkan kualitas penduduk yang berkaitan dengan demokrasi dan politik bisa dibuat. KPU Kabupaten, Bakesbangpol, dan Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa kabupaten bisa membantu meyusun data base politik dan demokrasi tingkat desa (seperti Partai Politik dan Pengurus Partai Politik tingkat Desa, Perolehan Suara Partai Politik tingkat desa dari pemilu ke pemilu, profil dan sejarah politik desa dari waktu ke waktu, dll).
Pemerintah desa dituntut untuk membangun dengan mempertimbangkan pembacaan akan potensi yang ada. Pembacaan dan pemetaan dalam hal potensi sosial politik di desa juga harus diperhatikan. Pembuatan peta geo-politik desa dan peta potensi sumberdaya manusia yang terkait dengan demokrasi dan politik juga akan memudahkan pemajuan bidang itu. Potensi-potensi itu punya manfaat yang kadang diabaikan, pada hal efeknya untuk memudahkan kegiatan peningkatan kualitas demokrasi agar berjalan maksimal.
Ambil contoh ketika saat pemilu datang, ada program sosialisasi di tingkat desa. Agar kegiatan sosialisasi bisa punya efek maksimal, maka pihak yang diundang di desa untuk mendapatkan sosialisasi adalah tokoh-tokoh masyarakat, termasuk yang dari organisasi masyarakat dan organisasi politik. Pada saatnya mau mengundang, ternyata pihak desa tidak punya database. Yang terjadi adalah ketidaktahuan tentang siapa sasaran sosialisasi yang sebenarnya yang pantas diundang. Akhirnya, yang dinundang adalah yang sebatas dikenal oleh kepala desa dan perangkatnya.
Pada hal dengan memiliki peta persebaran ormas dan orpol tingkat desa, mestinya akan lebih tahu siapakah yang seharusnya diundang. Siapakah yang punya potensi untuk diundang yang punya pengaruh ketika diharapkan untuk menyebarkan informasi yang disampaikan di acara sosialisasi. Ini adalah permasalahan peta SDM yang seringkali dianggap remeh. Pada hal sebenarnya kalau mau diperlakukan secara serius akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan manfaat-manfaat ikutannya.
Pembangunan demokrasi dan politik di desa dituntut tidak tergantung pada momentum elektoral saja. Pemerintah desa juga harus didorong untuk mendesain program pembangunan di bidang demokrasi dan politik. Pendidikan kewargaan, pendidikan politik, latihan kepemimpinan untuk karangtaruna dan organisasi-organisasi tingkat desa, juga melalui berbagai kegiatan lain yang dapat membantu meingkatkan kualitas demokrasi dari desa.
Sebab, jika kualitas demokrasi dan politik di desa maju, maka kualitas demokrasi di Indonesia juga otomatis akan mengikutinya. Tidak ada yang tidak sepakat bahwa Desa adalah basis bagi maju tidaknya negara. []